Oleh Lamadi de Lamato
Juru Bicara Gubernur Lukas Enembe 2014-2016
Hidup yang singkat namun bermanfaat lebih baik
dari pada hidup yang panjang namun menjadi beban bagi orang
MEMBACA pesan masuk WhatsApp beberapa orang, disebutkan bahwa mantan Gubernur Papua Lukas Enembe pada 26 Desember 2023 telah pergi untuk selama-lamanya.
Spontan sebagai seorang Muslim, saya mengucapkan, innaa lillaahi wainnaa ilahi roojiuun. Kesedihan atas kehilangan Lukas Enembe, tokoh Papua ini, membuat saya menitikkan air mata. Bagaimana tidak, sejak tahun 2016 hingga ia sakit dan meninggal, saya bahkan belum menjumpainya.
Ada penyesalan, sekaligus rasa bersalah terhadap dirinya, pemimpin yang saya kenal puluhan tahun lalu dari kenalan yang tidak disengaja. Wajah Lukas Enembe begitu bersahaja saat berdiri di depan Hotel Syahid, Jakarta.
Tubuhnya yang gempal dan senyumannya yang khas membuat saya ingin menyapanya dan mengenalnya sekilas. Seketika saya teringat masa kecil saya di Abepantai puluhan tahun yang lalu tentang seorang teman kecil saya yang berasal dari Pegunungan Papua.
Saya pikir perkenalan itu hanya basa-basi. Dia meminta nomor ponsel saya, lalu saya pergi dan dia melanjutkan aktivitasnya di Hotel Syahid yang saat itu sedang mengikuti kegiatan Partai Demokrat. Tak disangka, 3 hari setelah itu, ponsel saya berdering, ternyata Lukas Enembe.
Dia mengajak saya bertemu dengannya. Singkat cerita, pada pertemuan itu, saya diminta berangkat ke Papua untuk membantu menulis biografinya. Saat itu, Lukas baru saja kalah dalam Pilgub Papua dari Barnabas Suebu dan sedang tanpa jabatan. Dan tawaran itu saya terima karena baru pertama kali saya kembali ke Papua sejak puluhan tahun berada di perantauan.
Kisah Sedih Seorang Lamato
Saya tidak menyangka, nama kecil Lukas Enembe adalah Lamato. Nama yang mirip dengan akhiran nama saya. Sejak saya di Papua, saya membaca catatannya dalam bentuk diary yang sangat lengkap dan tersusun rapi.
Untuk ini, saya menghormati keahliannya seperti seorang arsiparis profesional yang hebat. Dari catatannya saya menemukan kisah hidup Lukas Enembe sebagai anak pegunungan yang sangat mengharukan dan membuat saya menangis membaca kisah perjuangannya.
Dari Tolikara Lukas ke kota Jayapura, SMP dan SMA di Sentani. Lukas harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sambil menyelesaikan sekolahnya. Di desanya, Lukas sudah menunjukkan sedikit bakatnya sebagai pemimpin.
Seringkali bersama teman-temannya bermain upacara bendera. Lukas sering menjadi penanggung jawab teman-temannya sebagai pemimpin upacara. Lukas juga memakai pakaian saat bermain, sedangkan teman-temannya yang lain banyak yang masih telanjang dan memakai koteka.
Yang mengharukan tentang kemiskinan dan ketangguhan istrinya, Yulce Wenda. Onno yang notabene adalah anak pertamanya, hanya diberi hadiah ulang tahun berupa boneka yang diambilnya dari tempat sampah. Yulce adalah sosok perempuan yang mampu menyikapi kemiskinan yang dialaminya dengan luar biasa. Saat itu Lukas masih kuliah di Gorontalo, kemudian pindah ke Unsrat Manado.
Yulce tak henti-hentinya menunjukkan ketangguhan yang luar biasa saat Onno sakit dan meninggal dunia. Wanita ini berjalan bermil-mil hanya untuk sampai ke terminal Jayapura dari Angkasa. Dia menggendong Onno yang sudah meninggal. Setiap kali ada yang bertanya, apa yang terjadi dengan anak Anda? Yulce hanya tersenyum sambil menitikkan air mata.
Lagi-lagi karena kemiskinan, keluarga ini tidak bisa berbuat apa-apa terhadap anaknya yang sakit dan meninggal. Saat itu Lukas Enembe masih berstatus pegawai kecil yang masih bertugas di Merauke. Kabar meninggalnya Onno nyaris membuat Lukas ingin bunuh diri karena merasa bersalah sebagai pria yang masih hidup dalam kemiskinan.
Anak Koteka jadi Gubernur
Slogan ini mulai diprotes karena hanya menimbulkan dikotomi di kalangan Orang Asli Papua (OAP). Namun sejujurnya slogan tersebut muncul karena sarat makna dari pengalaman hidup Lukas Enembe sebagai anak asal Tolikara Pegunungan Tolikara.
Apa yang saya lihat dari kisah teman kecil saya dari pegunungan yang sering mendapat stigma buruk juga dirasakan oleh Lukas Enembe saat masih bersekolah, bersosialisasi hingga kuliah. Stigma bodoh, tidak mampu, terbelakang, dan lain-lain kerap dialamatkan pada Lukas Enembe yang berasal dari pegunungan.
Setahun lebih saya rajin menjahit materi-materi penting dari cerita yang saya peroleh dari Lukas Enembe, hingga buku ini selesai dengan segala keterbatasannya. Buku tersebut menjadi magnet tersendiri ketika diterbitkan.
Bedah buku di hotel Swisbelt pun ramai dan banyak yang menangis histeris saat mengetahui isi suka dan duka Lukas Enembe yang begitu pedih dan mengharukan. Saya yang tidak dikenal tiba-tiba menjadi populer sebagai penulis.
Terlepas dari itu semua, saya juga harus mengakui bahwa selama saya mengenal Lukas Enembe hingga ia pulang selamanya pada tanggal 26 Desember 2023, atau sehari setelah perayaan Natal Kristen, Lukas Enembe sepertinya sudah memilih hari yang tepat untuk pamit sebagai pemimpin yang hebat kepada rakyatnya. Sehari setelah kegembiraan itu berakhir, dia pergi dengan tenang dalam rasa sakit dan stigma yang telah ditimpakan padanya.
Lukas Enembe adalah sosok yang sangat baik, dermawan dan pluralis serta pembawa perubahan. Sebelum saya bertemu dengannya, saya bermimpi bahwa saya berada di bawah gunung yang bersinar terang. Impian itu terwujud karena saya bertemu dan menjadi bagian kecil dari keharuman dan pancaran kepemimpinan Lukas Enembe dalam membangun Papua selama 20 tahun di birokrasi.
Stigma buruk sejak kecil dan 20 tahun lebih di birokrasi begitu keras menghujani dirinya. Lukas Enembe, engkau luar biasa dalam melawan segala stigma buruk dengan karya besar yang telah engkau bangun dan tinggalkan untuk Tanah Papua. Hidupmu memang singkat tapi karyamu abadi untuk anak cucu yang kamu tinggalkan!