Oleh Dr Ir Agus Sumule
Dosen Universitas Papua, Manokwari
PERSOALAN peningkatan mutu sumberdaya manusia (SDM) Papua sudah menjadi concern berbagai pihak di dalam dan di luar Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Berbagai seminar dan lokakarya sudah dilakukan untuk mencari pemecahan atas masalah yang penting ini.
Hanya saja, yang dihasilkan dari seminar-seminar itu sejauh ini tidak lebih dari sejumlah rekomendasi yang jarang ditindaklanjuti dengan berbagai langkah strategis-praktis di lapangan. Padahal, peningkatan mutu SDM adalah persoalan yang rumit dan kompleks dan keberhasilannya memakan waktu yang lama.
Salah satu usulan yang paling populer disuarakan oleh berbagai kalangan untuk menjawab rendahnya mutu SDM Papua adalah dengan menyelenggarakan kembali model pendidikan berpola asrama (PPA).
Dengan menggunakan contoh keberhasilan sejumlah elit politik, birokrasi hingga wirausahawan Papua dewasa ini, yang dulunya dididik melalui model PPA, diharapkan dengan mengintroduksi kembali model PPA persoalan peningkatan mutu SDM Papua dapat dicapai segera.
Harus diakui, model PPA memiliki banyak keunggulan. Pertama, disiplin diri siswa dapat dibina secara ketat. Kedua, mutu akademik (penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi) siswa relatif lebih tinggi.
Ketiga, penguasaan nilai-nilai moral dan agama lebih mantap. Keempat, kualitas gizi siswa lebih baik. Kelima, siswa lebih mampu bekerjasama dan bersosialisasi dengan orang lain yang memiliki latar belakang sosial berbeda: etnis, agama, tingkat sosial-ekonomi, dan lain-lain.
Sebaliknya, model PPA pun memiliki kelemahan yang cukup serius –terutama apabila kita meletakkannya dalam kerangka penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu untuk semua lapisan masyarakat di semua lokalitas penduduk, entah di perkotaan atau di pedesaan.
Kelemahan-kelemahan dimaksud sebagai berikut. Pertama, model PPA hanya akan mampu menjangkau sejumlah kecil siswa Papua. Kedua, apabila dikelola secara tidak taktis, model PPA bisa saja mengakibatkan hanya sejumlah kecil elit yang menikmati fasilitas pendidikan yang mahal dan bermutu sementara rakyat kebanyakan harus bergulat dengan mutu pendidikan yang jauh dari memadai.
Ketiga, model PPA kurang memberdayakan potensi yang ada di masyarakat. Padahal peranan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan mestinya cukup signifikan.
Dalam kaitan itulah perlu dicari suatu “model-tengah”, yaitu model penyelenggaraan pendidikan yang mengakomodasi aneka keunggulan model PPA. Namun, pada saat yang sama mampu mengeliminir kelemahan-kelemahannya. Tujuannya adalah agar sebanyak mungkin siswa Papua mampu menikmati pendidikan yang bermutu secara berkesinambungan.
Model SSH: suatu alternatif
Sekolah Sepanjang Hari (SSH) dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendidikan yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan PPA (disiplin tinggi, mutu akademik tinggi, gizi baik, dan berkemampuan tinggi untuk bekerjasama dengan orang lain yang berlatar belakang berbeda). Namun, dengan tidak mewajibkan siswa untuk hidup bersama secara terus-menerus dalam batasan-batasan fisik bangunan yang dikenal selama ini dengan sebutan asrama.
Dalam model SSH, “asrama” adalah sekolah itu sendiri. Hanya saja, siswa lebih lama beraktivitas di sekolah dibandingkan jam sekolah normal. Di dalam model SSH, siswa datang lebih pagi ke sekolah dan pulang ke rumah di sore hari. Dengan penambahan jam seperti ini, diharapkan berbagai fungsi asrama dapat diakomodir, sehingga tujuan-tujuan PPA dapat dicapai.
Pentingnya PSNG dalam pelaksanaan SSH
Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan model SSH adalah tersedianya pengasuh siswa dalam jumlah dan mutu yang memadai. Pengasuh ini dapat dikategorikan dua jenis, yaitu guru formal dan pendamping siswa non-guru (PSNG).
Oleh karena tugas guru formal dalam pendidikan sudah jelas, maka bagian ini tidak akan menguraikannya lebih lanjut. Yang akan dibahas secara mendalam adalah alasan diperlukannya PSNG dan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Karena beratnya beban guru formal dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar (apalagi di daerah-daerah yang tenaga gurunya terbatas), maka model SSH mengusulkan agar tugas-tugas di luar kelas dilakukan oleh PSNG.
PSNG dengan demikian adalah pendamping dalam penyelenggaraan SSH untuk tugas-tugas di luar kelas. PSNG di dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh kelompok-kelompok masyarakat desa yang umumnya adalah kaum perempuan.
Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka PSNG sebaiknya adalah mereka yang memenuhi kualifikasi berikut. Pertama, memahami dengan baik prinsip-prinsip pendidikan anak. Kedua, mampu mengajarkan dan menegakkan disiplin sesuai tujuan SSH.
Ketiga, dapat mengajar/mendidik anak secara informal (misalnya melalui pembelajaran dalam perpustakaan) dan melalui permainan. Keempat, mampu mengorganisasi masyarakat desa (khususnya kaum wanita) untuk berperan serta secara aktif di dalam SSH.
Semua pelaksanaan kegiatan siswa di luar kelas dikelola dan merupakan tanggung jawab PSNG. Tugas-tugas PSNG di antaranya sebagai berikut. Pertama, memastikan bahwa semua fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas tersedia dengan baik.
Kedua, mengatur agar siswa dapat hadir tepat waktunya di pagi hari untuk mandi, mengenakan pakaian seragam dan sepatu, mengikuti kegiatan pembinaan rohani, makan pagi, siang dan sore, dan kembali ke rumah
Ketiga, menyiapkan kegiatan-kegiatan pembelajaran bagi siswa ketika mereka memanfaatkan perpustakaan. Keempat, membantu siswa ketika mereka mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru untuk dikerjakan di rumah.
Kelima, memberikan tugas-tugas kepada siswa dalam rangka meningkatkan disiplin, kemampuan akademik dan kohesivitas sosial mereka. Keenam, mengorganisasi masyarakat desa dalam hal-hal seperti: menyediakan bahan makanan lokal, memasak, mencuci pakaian, dan lain-lain.
Tanggung jawab orangtua
Berbeda dengan model PPA, peranan orang tua di dalam SSH sangat besar. SSH tidak mengambil alih tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya; bahkan sebaliknya melalui SSH diharapkan orang tua dapat bekerjasama dengan pihak luar agar mutu pendidikan anak-anaknya dapat meningkat secara signifikan.
Dengan perkataan lain, apabila orang tua tidak bersedia bekerjasama dengan memenuhi tanggung jawabnya, maka SSH tidak akan mungkin berhasil sebagai salah satu alternatif peningkatan mutu SDM Papua di daerah pedesaan.
Secara umum ada dua macam tanggung jawab yang diharapkan dari para orang tua khususnya dan masyarakat desa pada umumnya di dalam model SSH. Yang pertama, menyediakan sumberdaya lokal yang dibutuhkan oleh siswa secara cuma-cuma. Sumberdaya lokal yang dimaksud, misalnya, pertama, bahan makanan: ubi, sagu, sayuran, buah-buahan, ikan, hasil buruan, dan lain-lain.
Kedua, bahan bangunan untuk pembangunan fasilitas SSH (MCK, perpustakaan, rumah PSNG): kayu, pasir. Kemudian, yang kedua, masyarakat setempat berperan serta secara aktif dengan memberikan tenaga dan waktu untuk membantu PSNG dalam tugas-tugasnya.
Dukungan sumberdaya luar dalam SSH
Uraian pada bagian ini secara jelas memberikan implikasi bahwa semua kebutuhan SSH yang dapat disediakan secara lokal harus disumbangkan oleh masyarakat setempat secara cuma-cuma. Hal ini didasarkan atas asumsi yang telah dikemukakan di atas bahwa SSH tidak mengambil alih tugas dan kewajiban masyarakat di dalam pendidikan anak-anaknya.
Dengan demikian, peranan sumberdaya yang berasal dari pihak-pihak luar terbatas pada hal-hal yang tidak bisa dihasilkan sendiri oleh masyarakat setempat. Pihak luar itu bisa berarti pemerintah, institusi/individu/kelompok yang peduli dengan peningkatan SDM Papua, dan sebagainya.
Secara lebih khusus, melalui SSH ini diharapkan akan terbentuk kesetiakawanan sosial di berbagai kalangan pihak luar untuk ikut serta secara sukarela mendukung pelaksanaan SSH.
Hal-hal yang seyogyanya didukung pihak luar untuk penyelenggaraan SSH, antara lain sebagai berikut. Pertama, ikut memberikan kontribusi dana bagi pelaksanaan tugas-tugas PSNG (honorarium, tunjangan hidup, dan lain-lain), selain kontribusi yang berasal dari pendanaan pemerintah.
Kedua, menyediakan perlengkapan pribadi siswa: sabun, sikat gigi, odol, handuk, piring, sendok, gelas/cangkir, pakaian seragam, pakaian lain, kaus kaki, sepatu. Kedua, menyediakan bahan-makanan non-lokal: beras, gula, garam, minyak makan, susu, telur, dan lain-lain.
Ketiga, menyediakan bahan bangunan non-lokal untuk pembangunan fasilitas MCK: pipa, semen, atap seng, paku, dan lain-lain. Namun, apabila pemerintah daerah memiliki dana dan bermaksud mempercepat pembangunan fasilitas-fasilitas ini, hal tersebut dapat pula dilaksanakan.
Ketiga, menyediakan fasilitas perpustakaan dan fasilitas belajar di dalam perpustakaan: buku, majalah, rak, televisi, VCD-player, tikar, bantal, dan lain-lain.
Perlunya studi kelayakan penyelenggaraan SSH
Karena konsep SSH pada dasarnya belum pernah dilakukan secara meluas sebelumnya di Tanah Papua, maka perlu dilakukan survei kelayakan penyelenggaraan SSH pada sekolah-sekolah di kabupaten sasaran. Survei kelayakan tersebut perlu berisi analisis tentang aspek-aspek berikut ini dan aspek-aspek lain yang dipandang relevan.
Pertama, kondisi umum pendidikan di kampung. Kedua, kondisi umum pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di kampung. Ketiga, ketersediaan dan kecukupan FEW-I: Food, Energy, Water, and Internet. Keempat, dukungan masyarakat untuk SSH.
Kelima, dukungan pemerintah lokal (kampung, distrik, kabupaten) untuk SSH. Keenam, benchmark (kondisi awal) para siswa dalam hal kemampuan akademik (membaca, berhitung dan menulis dan kemampuan berbahasa Indonesia; tingkat kualitas gizi; ekspose terhadap modernisasi. Ketujuh, output survei ini adalah laporan tertulis (terpisah untuk setiap kampung atau sekolah) kepada pemda.