Sekali Lagi Tentang Orang Asli Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Sekali Lagi Tentang Orang Asli Papua

Moksen Idris Sirfefa, Pengamat Politik dan Pemerhati Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Moksen Idris Sirfefa

Pengamat Politik dan Pemerhati Papua

MAJELIS Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD) baru saja memutuskan/menetapkan Abdul Faris Umlati (AFU) bukan orang asli Papua (OAP). Dengan demikian dia tidak berhak menjadi kandidat calon gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi Papua Barat Daya November 2024 mendatang.

Di musim Pilkada 2024 ini, sentimen-sentimen primordialisme makin mendapat angin. Dengan euforia otonomi khusus Papua, sesama OAP saling menafikan. Mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di luar wilayah adatnya ditolak dimana-mana. Terjadi penyempitan makna OAP. Di sebagian kalangan masyarakat Papua, 

OAP adalah mereka yang berasal dari wilayah adat tertentu dan berhak menjadi kepala daerah di wilayah adatnya. Misalnya, OAP dari wilayah adat Lapago hanya berhak mencalonkan diri di wilayah adat Lapago saja dan tidak berhak mencalonkan diri sebagai gubernur di wilayah adat Meepago atau di wilayah adat Tabi-Saireri dan seterusnya. 

Fenomena ini sungguh sangat memprihatinkan. Ke depan, misalnya, penduduk Raja Ampat yang berasal dari wilayah adat Saireri tak bisa mencalonkan diri sebagai gubernur Papua Barat Daya karena mereka bukan OAP dari wilayah adat Raja Ampat. Kondisi ini bisa terjadi di wilayah-wilayah adat Papua lainnya.

AFU dan Raja Ampat

AFU adalah mantan bupati dua periode di Kabupaten Raja Ampat (2016-2021, 2021-2024). Tentu saja dia memiliki akses dan elektabilitas yang tinggi di wilayahnya, sehingga ia bisa menjabat bupati dua periode. 

Tetapi ketika AFU keluar dari Raja Ampat dan ingin berkontestasi di level yang lebih tinggi, ia terhambat dengan ‘regulasi’ otonomi khusus Papua yang mensyaratkan calon gubernur di seluruh tanah Papua harus OAP. 

Dengan syarat itu, maka berdasarkan hasil ‘verifikasi faktual’, AFU bukan OAP dan batal sebagai calon gubernur Papua Barat Daya. Suatu keputusan yang menurut hemat saya terlalu prematur.

Nama Raja Ampat sendiri jelas bukan nama yang original Papua. Nama itu menunjukkan wilayah ini adalah wilayah kerajaan yang berafiliasi dan mempunyai hubungan kekerabatan dengan kesultanan Tidore dan tiga kesultanan di Maluku Utara lainnya yaitu Kesultanan Bacan, Jailolo, dan Ternate atau yang terkenal dengan sebutan Moloku Kie Raha.

Kepulauan Raja Ampat sejak dahulu adalah tanah kosong yang kemudian dihuni oleh para migran dari Biak-Numfor (kepulauan Schouten) Tidore, Seram dan orang Halmahera. Walau demikian, sejak zaman Belanda hingga kini Raja Ampat adalah satu kesatuan geografis, administrasi pemerintahan maupun kultur dengan tanah Papua dan orang-orang Papua. 

Pertanyaannya, apakah MRPBD sudah melakukan kajian komprehensif dan mendalam dari aspek sejarah, sosial dan antropologi lalu mengambil keputusan menetapkan Abdul Faris Umlati (AFU) bukan OAP dan gugur sebagai kandidat calon gubernur Papua Barat Daya? 

Wilayah Kesultanan Tidore

Raja Ampat yang dalam klasifikasi wilayah adat di Papua termasuk di dalam wilayah adat Doberai pada dasarnya juga tidak benar. Wilayah ini tidak termasuk wilayah adat Doberai. Raja Ampat (sesuai dengan namanya) adalah wilayah afiliasi kesultanan Tidore yang menganut kepemimpinan tradisional Raja/Kerajaan. Seperti yang dikemukakan oleh Mansoben (1995) bahwa salah satu tipe kepemimpinan tradisional di Papua adalah raja atau kerajaan. 

Sebelum masuk pada pemahaman kita tentang isu AFU bukan OAP, saya ingin menjelaskan konteks sosial-antropologisnya lebih dahulu. Di sini dimulai dengan melihat struktur pemerintahan tradisional Kesultanan Tidore agar kita dapat memahami persoalan yang melilit AFU itu. 

Secara tradisional, Kesultanan Tidore terbagi dalam tiga klasifikasi wilayah kesultanan. Wilayah dimaksud sebagai berikut. Pertama, Yado Gam, terdiri dari Yado Soasio se Sangaji se Gimalaha, Nyili Gamtumdi, Nyili Gamtufkange, dan Nyili Lofo-lofo. Kedua, Nyili Papo ua atau Nyili Gulu-Gulu terdiri dari Kolano Radja Ampat atau Kolano Ngaruha, Kolano Papo ua Gamsio, dan Kolano Mafor Soa Raha.

Pada tahun 1453 Sultan Tidore ke-12, Ibnu Mansur bersama Sangaji Patani, Syarmadan, dan Kapitan Waigeo, Gurabesi memimpin ekspedisi ke daratan ‘tanah besar’ (Papua). Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora berangkat ke ‘tanah besar’ beserta pulau-pulau dengan melewati Patani, Gebe, dan Waigeo. 

Ekspedisi ini berhasil membentuk kekuasaan kesultanan di Papua bagian barat dan para raja (kolano) itu berkhidmat ke Sultan Tidore yaitu (1) Wilayah Raja Ampat atau Kolano (aksen Papua: Korano) Ngaruha, meliputi Kolano Waigeo, Kolano Salawati, Kolano Umsowol atau Lilinta (di Seram Timur) dan Kolano Waigama. 

Kemudian, (2) Wilayah Papo ua Gamsio (Papua Sembilan Negeri) meliputi Sangaji Umka, Gimalaha Usba, Sangaji Barei, Sangaji Boser, Gimalaha Kafdarum, Sangaji Warijo, Sangaji Mar, Sangaji Rumadas dan Gimalaha Marasai. Kata “Papo ua” seringkali disalah artikan oleh sebagian penulis Papua, antara lain Pigay (2000) dan Raweyai (2002) berarti “Tidak Tergantung/Tidak Bergantung” atau “Tidak Menyatu” (Not Integrated) dengan Kesultanan Tidore. Ini pengertian yang salah. Makna yang benar dari “Papo ua” berasal dari kata Tidore, “Popo ua” yang artinya ‘tidak memakai celana pendek (celana popok)’ alias telanjang.

Ketiga, Wilayah Mafor Soa Raha (Mafor Empat Negeri) meliputi, Sangaji Rumberpon, Sangaji Rumansar, Sangaji Angaradifa dan Sangaji Waropen. Para penulis Belanda seperti van der Aa, van der Geus, Kamma, Haga, Modera, Valentijn dan Wichmann, mengakui pengaruh kekuasaan kesultanan Tidore yang begitu kuat di Papua dari abad ke-16 hingga abad ke-19. Mulai Kaap de Goede Hoop (tanjung Yamursba) hingga semenanjung Bonpland (tanjung Skouw) di sudut timur dari teluk Humboldt (teluk Youtefa) yang terletak pada garis 140⁰ 47′ BT di pantai utara, Teluk Wondama, Teluk Geelvink seterusnya ke arah barat, barat daya dan tenggara sampai batas garis bata 141⁰ BT di pantai selatan, termasuk daerah Onin (Fakfak) dan Koiwai (Kaimana) adalah milik kesultanan Tidore.

Pada abad ke-17, wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore telah mencapai sebagian besar daratan pantai utara dan selatan Papua. Misalnya perjanjian Ternate dan Tidore yang difasilitasi Inggris tahun 1814 tentang batas-batas kekuasaan kedua kesultanan Islam itu atas daerah-daerah di tanah Papua. Juga pengakuan Belanda pada tahun 1846 tentang batas-batas wilayah kekuasaan Sultan Tidore di tanah Papua, yang selanjutnya dipertegas di dalam teks proklamasi  AJ van Delden pada peresmian Fort du Bus pada 24 Agustus 1828 di Kampung Lobo, Kaimana.

Setelah gagal membangun koloni Fort du Bus di Lobo, pada 8 Oktober 1898, Belanda mendirikan dua pos koloni baru di Fakfak dan Manokwari. Kedua pos ini merupakan pos pemerintahan pertama kolonial Belanda di Papua. Untuk itu pemerintah Belanda harus membayar f. 6000 kepada Sultan Tidore untuk memenuhi permintaan yang diajukan sejak 1848. 

Empat tahun berikutnya, Belanda mendirikan pos pemerintahan di Merauke pada 14 Februari 1902. Belanda pun mengakui bahwa wilayah pos pemerintahan Merauke ini masih menjadi wilayah kedaulatan Tidore dan sebagai ganti rugi, Belanda memberi kompensasi sebesar f. 6000 per tahun kepada Sultan Tidore. “…werden in 1900 met spoed voor f. 6000 jaars van Tidore de in 1848 op ge drongen op de zuidkust afgekocht…” (R.W. Gadis,1953 : 27).

Tahun 1699 seorang bajak laut Inggris, William Dampier yang melayari kepulauan Raja Ampat telah menemukan perkampungan orang Biak-Numfor, Halmahera, Tidore, Ternate, Seram dan Buton di pulau Waigeo dan Batanta. Hal yang sama pula dijelaskan oleh seorang naturalis, biolog dan antropolog, Alfred Russel Wallace yang singgah di Misool dan Waigeo pada tahun 1860, dimana navigatornya yang bernama La Udin, dapat berkomunikasi dengan sangat baik dengan penduduk setempat.

Percampuran ras (cross culture affiliation) dan kawin campur (assimilation) di Papua sudah berlangsung jauh, ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun yang lalu. Dengan pendekatan studi genetika (DNA/Deoxyribonucleic Acid) misalnya, kita akan memperoleh banyak irisan gen OAP yang tidak juga ‘asli’ Papua. 

Misalnya artis Edo Kondologit yang orang Tehit itu punya kaitan gen dengan buyutnya dari Formosa/Taiwan. Selain itu, nama “Raja Ampat” pun secara geneologis bukan ‘asli’ Papua tapi dari pengaruh Kesultanan Tidore. 

Para migran ini akhirnya memiliki hak ulayat di Raja Ampat selain penduduk asli Raja Ampat yakni orang Maya yang mendiami Pulau Waigeo. Wacana “Papua bukan tanah kosong” adalah istilah yang terkait dengan hak ulayat adat. Tapi realitas membuktikan bahwa sampai abad ke-21 ini masih banyak pulau di kepulauan Raja Ampat yang masih kosong (tak berpenghuni). 

Kalau pengertian ‘tanah kosong’ secara hak ulayat itu berarti klaim adat dari satu, dua atau lebih klan yang berdekatan dengan wilayah itu karena bisa jadi wilayah tersebut merupakan tempat mencari ikan atau tempat berkebun penduduk setempat.

Hak ulayat adalah klaim hukum adat bagi mereka yang mula-mula menempati suatu wilayah. Bukan seperti Ratu Wilhelmina yang tinggal di Negeri Belanda kemudian mengklaim Papua milik Belanda. Istilah Doberai, Bomberai dan lain-lain adalah produksi pengetahuan mutakhir yang diresmikan penggunaannya di Papua pada paruh era 90-an dalam perencanaan pembangunan daerah oleh Bappeda Provinsi Irian Jaya.

Selain Waigeo dan Batanta, pulau besar lainnya di Raja Ampat adalah Misool dan Salawati serta pulau-pulau kecil yang merupakan tanah kosong (pulau-pulau tak berpenghuni) lalu datang para migran membuka kampung dan bertempat tinggal disana. Tentu orang Moi, Maybrat, Tehit, Imyan, termasuk sebagian masyarakat di pesisir utara-selatan Teluk Berau (Teluk Mc Cluer) yang mana di masa lalu wilayah mereka termasuk dalam wilayah kerajaan Sailolof yang berpusat di Salawati merupakan penduduk asli daratan besar. 

Termasuk pula penduduk ‘Kepala Burung’ (Vogelkop), yang berada di kawasan Tamrau. Mulai tanjung Yamursba (kaap de Goede Hoop), Karondifer (Sausapor, Abun, Fef) yang kemudian memiliki ikatan sosial dengan orang-orang Raja Ampat karena hubungan sosial ekonomi (ekonomi laut dan ekonomi daratan) dan kawin-mawin. 

Kepulauan Raja Ampat di era pelayaran hongi (hongi tochten), selain orang Maya di Waigeo juga para migran dari kawasan Mansarai (Biak-Numfor), Teluk Cenderawasih (Geelvinkbaii,), Amberpon, Rumberpon, Wondama, Waropen, Buton, Seram, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah (wilayah Gamrange), bajak laut Tobelo, orang Ternate, orang Bacan dan orang Tidore-lah yang mendiami kepulauan Raja Ampat sehingga terbentuk kawasan (adat) meltingpot dengan tradisi dan kebudayaan yang khas (tidak dapat disebut wilayah adat Doberai atau non-Doberai tetapi mesti dicari klasifikasi dan penyebutan nama wilayah yang tepat). 

Secara geografis karena kawasan ini berdekatan dan memiliki kesamaan budaya dengan masyarakat di kepulauan Maluku, khususnya Maluku Utara, maka kita dapat menyaksikan dalam upacara-upacara adat sering ditampilkan jenis kebudayaan yang khas Moloku Kie Raha seperti mendayung ‘perahu kora-kora’ atau tarian ‘lalayon’ menjadi subkultur Papua.

Pentingnya Wawasan Kepapuaan

Menutup tulisan ini, saya ingin menggugah saudara-saudaraku anggota MRP di seluruh tanah Papua. Anda sekarang dipercaya menjadi palang pintu adat orang Papua, maka Anda diwajibkan memahami semua pengetahuan tentang kepapuaan secara detail dan komprehensif. Landasan berpikir, postulat, dan argumentasi Anda harus didasarkan pada ilmu pengetahuan, tidak boleh pakai “ilmu rai-rai” atau “ilmu cerita-cerita” saja.

Kini pemerintah nasional dan daerah mempunyai pekerjaan rumah besar meredefinisi OAP, cakupan dan klasifikasinya. Terpenting lagi batasan masa mukim di Papua. Misalnya keturunan dari para migran dari luar Papua yang sudah seratus tahun atau lima ratus tahun (empat hingga tujuh generasi) datang ke Papua apakah mereka masih disebut non-OAP? 

Secara internal pun di Papua masih terjadi penolakan-penolakan atas sesama OAP yang menjadi calon kepala daerah di luar wilayah adatnya. Bagaimana kalau OAP marga Mayor, Wamafma, Mambraku dari Raja Ampat mencalonkan diri sebagai kandidat gubernur PBD di masa-masa yang akan datang?

Hari ini siapakah yang berani mengatakan marga Sanoy, Tamima, Arfan, Macap, Mayalibit, termasuk Umlati bukan OAP? Maukah semua anggota MRPB duduk bersama anggota klan tersebut dan melakukan mubahalah (sumpah adat), makan tanah? Siapa yang mati dan siapa yang selamat!

Ke depan para anggota representasi kultural yang duduk di MRP harus diuji wawasan sejarah, sosiologi, antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya yang baik sebelum ditetapkan sebagai anggota MRP. Jangan asal mewakili suku dan komunitas tertentu saja tapi tidak memiliki pemahaman keilmuan yang luas dan mumpuni.

Pengetahuan tentang Papua dalam berbagai perspektif harus menjadi syarat utama bagi setiap anggota MRP di seluruh tanah Papua. Hal ini penting agar keputusan-keputusan MRP mampu memberi rasa keadilan dan persamaan bagi semua OAP maupun non-OAP di dalam hukum dan pemerintahan.

Keputusan-keputusan MRP harus memperkuat fondasi kohesivitas sosial di Papua. Bukan malah melemahkan keragaman sosial orang Papua. Sebab unsur-unsur primordialisme suku bangsa, ras, etnis dan agama di Papua yang beragam itu jika tidak dikelola dengan baik, akan makin menciptakan segregasi sosial yang mengarah pada perpecahan. 

Tinggalkan Komentar Anda :