Sebulan Jejak Jurnalistik Odiyaiwuu.com - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Sebulan Jejak Jurnalistik Odiyaiwuu.com

Loading

PERJALANAN sebulan usia sebuah media seperti Odiyaiwuu.com, bagi saya belumlah apa-apa. Apalagi sebuah media yang lahir di era reformasi. Belumlah memberi arti bagi seribu satu aneka harapan publik, terutama warga yang bermukim mulai dari kota hingga lekuk ngarai, jurang, beranda honai hingga lereng gunung di tanah Papua.

Plus isu-isu sosial kemasyarakatan yang disajikan media bersangkutan. Namun, hemat saya, kerja jurnalisme adalah kerja keabadian. Ia adalah kerja merawat peradaban umat manusia yang hidup di bawah kolong langit. Para penulis, sastrawan, wartawan atau jurnalis adalah dia yang berada dalam dekapan kerja kepenulisan, literasi atau dunia jurnalistik.

Pramoedya Ananta Toer. Nama ini tentu tak asing di telinga masyarakat literer kita. Kalau para wartawan atau penulis Indonesia tak kenal Pram –nama beken dan sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer– sungguh terlalu. Kebangetan, kata anak milenial. Terlalu ndeso kalau tak mengenal Pram dan karya-karya yang fenomenal menembus sekat-sekat benua dan samudera menyapa para pengagum karya bernasnya.

Lalu apa relasi Pram dan Odiyaiwuu.com? Muara jawaban bukan mendikotomi dua entitas itu. Pram dan aneka karya karyanya adalah legenda hidup dunia literasi bangsa yang segera menjadi patokan semangat para jurnalis pemula. Para wartawan, jurnalis muda –termasuk para jurnalis Odiyaiwuu.com– adalah pewaris semangat Pram, tentu juga para sastrawan dan penulis besar lain yang dimiliki Indonesia, termasuk dari tanah Papua.

Sebagai icon sastrawan dan penulis veteran hingga ajal menjemput, Pram layak diangkat di sini. Tentu bukan kebetulan atau pengkultusan atas seseorang sekelas Pram. Malah lebih dari itu. Indonesia juga tahu nama Prof Dr Gregorius Perawin Keraf alias Gorys Keraf. Gorys lahir di desa nelayan Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten (Pulau) Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Gorys Keraf adalah Guru Besar Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang lahir dari sebuah desa nelayan di bibir pantai menghadap Laut Sawu, selatan Lembata, pulau tempat paus (mamalia laut) “berbulan madu”. Desa nelayan ini juga banyak melahirkan misionaris, penulis dan wartawan kelas dunia seperti Beding bersaudara: Marcel Beding (Kompas), Alex Beding SVD, Bosko Beding SVD, Moses Hodehala Beding SVD, Bruno Ulanaga Dasion SVD, Dr Alex Sony Keraf, Dr Mance Dasion, Dr Jakobus Blikololong, Dr Ignas Sinu Bataona SH, Michael Blido Beding, Sesilinda Indah Lestari Beding, Dr Agustinus Raja Dasiona MA, Dr Josef Bataona, dll.

Gorys Keraf menulis sejumlah buku karya di bidang linguistik untuk meramaikan literatur Tanah Air bagi pencerdasan dan pencerahan bagi seluruh anak bangsa. Anak-anak mulai dari SD hingga perguruan tinggi tentu tahu karya fenomenal Gorys Keraf. Sebut saja buku Tata Bahasa Indonesia, Diksi dan Gaya Bahasa, Komposisi, Argumentasi dan Narasi, Eksposisi dan Deskripsi, dan ain-lain.

Gorys Keraf dan orang-orang yang besar dalam dunia literasi bukanlah datang dari kondisi kampung halaman dengan aneka buku atau fasilitas penunjang serba ada. Malah sebaliknya. Mereka adalah orang-orang dengan semangat membaja dan rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi, membaca dan mereflesikan apa yang mereka baca dari beragam sumber. Membaca pun bukan sekadar berakhir membaca. Ia (membaca) bergerak terus pada refleksi tentang kehidupan.

Siapa sangka Pram bakal menjadi seorang pembaca sekaligus penulis besar kebanggaan Indonesia. Ya, itu tadi. Pram bukan sekadar membaca namun merefleksikan tentang hidup dan kehidupan orang-orang, masyarakat yang ia dengar, akrabi atau baca tatkala ia berada di balik jeruji besi atau tempat buangan. Boleh jadi kebesaran nama Pulau Buru juga terhipnotis dari seorang penulis sekelas Pram lalu dunia geger tentang sebuah pulau mugil dalam gugusan Kepulauan Maluku dengan pesona yang menyihir: tentang bentang alam yang eksotik dan suara para penghuninya yang menempel di dinding hati lalu mengaduk rasa.

Kata (kata-kata) bagi Pram laksana kitab suci para penulis atau jurnalis pemula. Paling kurang ada 50 karya (sastra dan prosa) hasil olah dari dasar hati da jiwa paling mendalam. Karya-karya Pram itu sudah dialihbahasakan ke dalam 41 bahasa asing. Tak berlebihan menyebut Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis yang jago menghipnotis khalayak. Bicara sastra Indonesia, Pram adalah jagoannya sastra Indonesia.

Pram menulis tanpa beban. Gaya kepenulisannya mengobrak abrik rasa, tajam, dan penuh kritik tanpa beban. Ia selalu disegani karena karya dan diksi-diksi yang ia gunakan kadang ibarat pisau: menyayat. Kerap diksinya (meminjam kata-kata sastrawan Putu Wijaya): menggorok leher tanpa menyakiti. Beberapa karya Pram yang fenomenal yaitu Anak Semua Bangsa, Bumi Manusia, Jejak Langkah hingga Rumah Kaca.

Ia menyemangati pembaca (plus para penulis dan wartawan, tentunya) dengan frasa yang sangat apik dan melankolis. “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari,” kata Pram. Ia juga menantang pembaca dengan kata-kata “provokatif”-nya. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah,” lanjut Pram.

Tahun 1970-an, Buruh, pulau di utara Mauku laksana perawan yang berpotensi memangsa hati sang pujaan. Buru masih dikelilingi belukar. Tangan manusia belum menjamahnya demi menggelembungkan pundi-pundi Indonesia, terutama Maluku maupun kawasan timur lainnya. Tapi Buru kala itu adalah tempat pembuangan tahanan politik G30S.

Tahun 1970-an Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Sumitro mengajak sejumlah akademisi dan wartawan ke Buru, tempat pembuangan tahanan politik kala itu. Namun, tahun 1965 Pram sudah menjadi tahanan di Buru. Dalam hitungan, saya masih bertahan dalam rahim ibuku setelah sang bunda pecah ketuban di tengah hutan lalu saya mengenal dunia.

Pada 13 Oktober 1965, Pram dibawa aparat dari rumahnya di Utan Kayu, Jakarta Timur menuju Buru, pulau yang menginspirasi Pram dalam jejak literasi selanjutnya. Jejak itu yang juga menjadi warisan kita generasi muda. Paling kurang dalam “honai” kecil bernama Odiyaiwuu.com, kita melangkah bersama. Saya masih ingat ungkapan Yakobus Dumupa, pendiri Odiyaiwuu.com melalui grup terbatas: sampai saat ini masih “gas”; belum ada instruksi untuk “rem” sejak media ini diluncurkan 12 Mei 2021 dari sebuah kandang ternak, di wilayah adat Mee. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :