JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Majelis hakim pengadilan hak asasi manusia (HAM) memvonis bebas Isak Sattu, purnawirawan yang menjadi terdakwa tunggal kasus pelanggaran HAM di Paniai Papua yang terjadi pada 7-8 Desember 2014. Vonis bebas tersebut menyulut reaksi kalangan senator di Senayan.
Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Dr Filep Wamafma SH, M.Hum, CLA mengatakan, ia sangat menyayangkan putusan ini terjadi di tengah menurunnya kepercayaan tingkat masyarakat Papua tentang penegakan hak asasi manusia.
“Saya cukup menyayangkan putusan ini. Dari awal saya berharap agar kasus ini bisa menjadi titik preseden bagi tegaknya marwah penegakan hukum HAM di Papua. Ternyata ekspektasi saya berlebihan. Vonis bebas ini secara psikologis melemahkan semangat para pegiat HAM untuk mengembalikan martabat dan harga diri orang asli Papua yang sudah lama bertumpah darah,” kata ujar Filep Wamafma kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Jumat (9/12).
Filep, senator muda asal Papua Barat itu menegaskan, secara prosedural, hakim sudah menjalankan tugasnya. Namun sebagaimana tugas hakim yaitu menemukan kebenaran materil, maka dirinya meragukan putusan tersebut sungguh menyelesaikan kasus Paniai berdarah.
Adanya dissenting opinion saja sudah menunjukkan ketidaksepahaman hakim dalam menemukan kebenaran materil kasus ini. Karena itu, doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Hasanudin Makassar itu mengharapkan agar ada upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan hakim tersebut. Hal itu setidaknya berkaitan dengan perbedaan pendapat yang terjadi dalam proses pengadilan ini.
“Publik juga paham bahwa yang kita sama-sama cari ialah keadilan. Jika ujungnya bebas, lalu siapa yang jadi kambing hitam lagi? Atau jangan-jangan malah kasus ini akhirnya tetap dibuat jadi gelap, misterius. Saya pikir harus ada upaya hukum berupa banding, agar kita sama-sama membuktikan bahwa dissenting opinion dalam kasus ini sungguh beralasan,” kata Filep tegas.
“Teman-teman media tentu tahu, bahwa saya sangat concern terhadap penegakan HAM di tanah Papua. Kasusnya Mispo Gwijangge misalnya, menjadi contoh paling nyata. Lalu sekarang, di kasus Paniai berdarah, melihat vonis bebas seperti ini, saya lalu bertanya-tanya, sebenarnya yang tidak serius menegakkan hak asasi manusia orang Papua itu siapa?” lanjut Filep retoris.
Filep, penulis buku Otsus Papua juga memberikan kritiknya terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk turut memperhatikan kasus ini lantaran sangat krusial berkaitan dengan penegakan keadilan HAM bagi masyarakat bumi Cendrawasih.
“Kasus HAM di Papua seperti menumpuk, seolah tidak bisa selesai. Sudah selesai di Komnas HAM, ditolak di kejaksaan, begitu saja terus. Maka saya minta pemerintah daerah harus ikut memonitor kasus ini. Jangan cuma Komnas HAM. Afirmasi penegakan HAM harus diperlihatkan pemda supaya orang asli Papua tahu bahwa pemda hadir merasakan kegelisaan dan kecemasan bersama masyarakat,” ujar Filep lagi.
“Sebagai wakil rakyat, saya akan tetap mengawal semua perjuangan HAM untuk orang Papua. Jadi saya minta tolong supaya pemerintah juga serius. Generasi Papua di masa depan akan banyak bicara soal HAM jika penegakan HAM berujung anti-klimaks,” kata Filep.
Insiden Paniai berdarah merupakan kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Kasus itu saat ini sempat disidik pihak Kejaksaan Agung. Pengusutan kasus itu sempat mandeq setelah berkas penanganan perkara itu bolak-balik dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) selaku penyelidik dan Kejaksaan Agung selaku penyidik.
Presiden Joko Widodo pun menyampaikan bahwa dirinya telah memerintahkan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memproses kasus tersebut sesuai sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Kepastian itu dikatakan Jokowi dalam momentum peringatan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember 2021.
“Salah satunya tadi disampaikan Komnas HAM, kasus Paniai Papua 2014. Berangkat dari berkas penyidikan Komnas HAM, kejaksaan tetap melakukan penyidikan umum untuk terwujud prinsip keadilan dan kepastian hukum,” kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta seperti diberitakan CNNIndonesia.com, Sabtu (11/12 2021).
Komnas HAM menetapkan peristiwa Paniai merupakan kasus pelanggaran HAM berat. Keputusan ini didasarkan pada temuan Tim Ad Hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai, dan diputuskan dalam sidang paripurna. “Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna, peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengutip Tempo.co, Sabtu (15/2 2020).
Pasca tiga minggu insiden Paniai perdarah, Presiden Jokowi mengatakan telah membentuk tim investigasi terkait kasus penembakan warga sipil tersebut. “Tim kecil ini diharapkan bisa mendapatkan data valid dan mencari tahu akar masalahnya seperti apa,” kata Jokowi di hadapan para relawan Jokowi di Jayapura, Sabtu (27/12 2014).
Dalam peristiwa Paniai berdarah, 17 orang lainnya luka-luka. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan lima orang tewas yaitu Otianus Gobai (18), Simon Degei (18), Yulian Yeimo (17), Abia Gobay (17) dan Alfius Youw (17).
Komnas HAM sempat menyayangkan sikap Kejaksaan yang kerap mengembalikan berkas penyelidikan kasus tersebut. Pada Juni 2020 lalu, mereka menyebut bahwa pengusutan kasus tersebut berpotensi mandek seperti yang lain.
Adapun berkas hasil penyelidikan Komnas HAM ini telah dikirim kepada Kejaksaan Agung pada 11 Februari 2020. “Kami berharap segera ada proses sampai ke pengadilan. Harapan besar dari korban dan masyarakat Papua secara umum agar kasus ini dapat mendatangkan keadilan,” kata anggota tim Ad Hoc Kasus Paniai Komnas HAM, Sandrayati Moniaga. (Emanuel You, Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)