Oleh Thomas Krispianus Swalar
Mahasiswa Program Magister Universitas Muhammadiyah Malang
PEMERINTAH melalui Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia Senin (20/5) lalu meluncurkan Program Sastra Masuk Kurikulum. Langkah ini diambil sebagai salah satu upaya memperkenalkan para siswa terhadap beragam karya sastra yang membentang dari masa ke masa.
Sastra Masuk Kurikulum merupakan program turunan dari Episode Merdeka Belajar 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar dan dalam agenda akan berlaku di sekolah-sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka pada tahun Pelajaran 2024/2025. Jika Program Sastra Masuk Kurikulum Merdeka sudah diluncurkan, siap atau tidak mata pelajaran Sastra harus sudah dijalankan tahun pelajaran 2024/2025.
Tentu Sastra tidak lagi menjadi mata pelajaran peminatan yang selama ini berlaku bagi Sekolah Menengah Atas (SMA) yang mempunyai jurusan Bahasa. Ketika diberlakukan tahun 2024, Sastra menjadi mata pelajaran wajib peserta didik mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga SMA. Selama ini Sastra menyatu dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, namun masih sebagian kecil.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo menyebut, langkah memasukkan Sastra dalam Kurikulum Merdeka diharapkan dapat meningkatkan literasi, memperkaya pengetahuan budaya, dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa di Indonesia.
Karya sastra diakuinya menjadi bahan ajar yang berharga karena bisa mengundang pembaca untuk menghayati dunia batin tokoh-tokoh yang merasakan dan memahami sesuatu dengan caranya masing-masing (Solopos.com, 29/5).
Nilai kemanusiaan
Sastra merupakan medium yang dipergunakan untuk mencintai nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai dimaksud seperti berani membela keadilan, melawan penindasan, menumbuhkan spirit asah-asih-asuh antar sesama, menghargai keragaman hingga berbagai nilai luhur lainnya.
Sastra juga menjadi medium merefleksikan kebenaran dalam kehidupan universal. Ia (sastra) setia memberi kenikmatan batin dan rasa indah. Nilai-nilai kemanusiaan itu pula yang selalu menyatu dalam ziarah pendidikan Ki Hajar Dewantara. Karena itu menganjurkan bacaan Sastra pada peserta didik di sekolah setidaknya memiliki implikasi positif dalam beberapa hal.
Implikasi itu misalnya melatih kemampuan berpikir dan daya kritis. Peserta didik leluasa menganalisis dan menafsirkan setiap pesan tersirat di balik teks sastra, mengasah kepekaan emosional, kaya perspektif, tidak menjadi generasi yang anti kritik, senantiasa berpikir inklusif, hingga berani membongkar tampilan dunia yang senantiasa tidak baik-baik saja (detiknews, 28/5).
Benar jika sastra dipahami sebagai medium untuk mencintai nilai-nilai kemanusiaan. Semakin seseorang mengakrabi dan membaca karya Sastra di saat bersamaan semakin menimbulkan kepekaan nurani pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Sumber belajar
Dalam rangka mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, Kemendikbudristek mendorong pemanfaatan karya sastra sebagai sumber belajar penting. Hal ini bertujuan meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, serta mengasah kreativitas dan nalar kritis peserta didik (kemdikbud.go.id)
Hal yang menarik dari pernyataan ini adalah “menumbuhkan empati”. Jika dilihat selama ini kita baru sampai pada tahap simpati. Oleh karena itu, dengan banyak membaca karya sastra seseorang sungguh akan memiliki empati: turut merasakan apa yang dirasakan dan mau berbuat sesuatu yang berguna bagi kepentingan banyak orang.
Jika setiap peserta didik diarahkan untuk mencintai sastra maka kita sedang melatih mereka untuk tidak hanya sekedar bersimpati tetapi kita menanamkan empati pada diri para peserta didik. Langkah yang diambil Kemendikbudristek adalah suatu langkah berani, mengingat perkembangan saat ini semakin tidak terbendung lagi.
Rujukan buku sastra
Membaca berita akhir-akhir ini yang menyatakan Rujukan Buku Sastra Masuk Kurikulum dinilai ada yang tidak layak. Sederet pertanyaan berkelebat. Mengapa tidak layak? Apakah sudah dikaji baik-buruknya aneka rujukan tersebut?
Jawaban ini tentu menjadi tugas dan tanggung jawab tambahan Kemendikbudristek. Dalam penentuan aneka rujukan dimaksud Kemendikbudristek membentuk tim yang akan menangani hal ini.
Dalam menentukan orang-orang yang akan bekerja dalam tim tersebut, Kemendikbudristek perlu melihat dari berbagai aspek berkaitan dengan latar belakang orang-orang yang duduk dalam tim tersebut.
Idealnya, sastra membantu seseorang mengolah rasa estetika. Karena itu, jangan sampai masuknya Sastra dalam Kurikulum Merdeka malah menjebak peserta didik dalam hal-hal yang tidak diinginkan bersama.
Hal-hal tersebut semisal pornografi, pelecehan seksual dan isu agama, ras dan kebudayaan adalah sesuatu yang perlu dihindari. Apalagi imbas dari ini semua adalah kepada peserta didik yang merupakan generasi penerus cita-cita dan perjuangan bangsa dan negara.
Dengan demikian Kemendikbudristek perlu mengevaluasi kembali kerja tim dengan menghadirkan para pakar di bidang sastra. Kita merindukan generasi yang akan melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa dan negara. Generasi ini adalah mereka yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai kemanusiaan.