Oleh Titus Lao Mohi
Intelektual muda Papua Pegunungan
KEPRIHATINAN kita saat ini adalah tingkat ketergantungan masyarakat Papua khususnya di wilayah pegunungan sangat tinggi. Hal ini terjadi karena banyak persediaan di kios dan toko maupun mall. Beras mudah dijangkau dan yang terpenting ada uang.
Sementara beras didatangkan dari luar pulau Papua dengan memanfaatkan jalur angkutan udara yang biayanya sangat tinggi. Masyarakat (pembeli) tidak tahu dari mana datangnya beras tapi beras menjadi target utama dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Tidak hanya beras tetapi produk makanan instan (mie, supermi, sauris dan sejenisnya termasuk air atau minuman dalam kemasan) menjadi pilihan masyarakat karena cara mengolah menjadi makanan instan (siap saji) sangat mudah. Masyarakat (pembeli) tidak peduli dengan efek samping daripada mengkonsumsi beras dan jenis makanan instan
Pekerjaan berat
Kondisi ini telah memanjakan masyarakat khususnya petani yang moyangnya telah mewariskan lahan kebun untuk dikelola dalam bertahan hidup secara turun temurun. Entah karena apa tetapi bisa saja berkebun yang dianggap sebagai pekerjaan berat. Buntutnya, produktivitas masyarakat dari berkebun sudah mulai menurun.
Daerah perkebunan masyarakat sudah tumbuh pohon besar dan tidak bisa dikelola lagi. Kita tidak sadar kalau moyang kita dan para orangtua dulu bertahan hidup dengan hipere, bingga, keladi, dan lainnya. Tetapi hidup sehat, minum dari mata air dari gunung, tinggi badan dan berotot dan mati setelah tua (batas normal).
Sebaliknya, saat ini kita ketergantungan pada bahan makanan impor. Beras memang dibutuhkan bagi generasi (anak) dalam proses pertumbuhan tetapi tidak cocok bagi usia tua. Karena selama ini banyak dokter sarankan untuk konsumsi makanan lokal.
Memang kita bersyukur di era otonomi khusus (otsus) Papua banyak uang beredar di wilayah gunung. Dengan kondisi ini memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga yang semuanya instan. Orangtua yang hidup di kampung tidak mau berkebun lagi tetapi apabila beras habis datang ke kota belanja kembali ke kampung.
Tanah dijual
Lahan kebun yang adalah warisan moyang tidak diolah lagi. Tanah kosong bisa dijual dalam rangka kepentingan sesaat tanpa mempertimbangkan anak cucu. Sementara tanah adalah mama atau ibu yang memberi susu dan madu (hidup).
Pertanyaan penting adalah apabila para petani di Pulau Jawa sebagai daerah produksi beras gagal panen akibat kondisi alam atau faktor lainnya, bagaimana dengan nasib masyarakat di wilayah pegunungan yang selama ini menggantungkan hidupnya dengan beras?
Begitu pula apabila di Pulau Jawa, Sulawesi dan daerah lain tidak memproduksi beras lagi dan tidak mengirim beras lagi ke wilayah gunung bagaimana orang bertahan hidup? Ini sebuah kondisi riil yang harus diseriusi oleh semua pihak, stakeholder di wilayah tanah Papua.
Kembali ke kebun adalah hal utama untuk bertahan hidup. Hal ini mesti menjadi perhatian serius sebelum terjadi situasi yang tidak bisa dikendalikan lagi ke depan. Jangan sampai orang asli Papua (OAP) mati kelaparan bukan akibat dari wabah atau penyakit. Kalau mati karena kelaparan itu berarti akibat mental malas berkebun. Ingat. Saatnya kembali ke kebun.