Oleh Hyero Ladoangin
Pengamat Kebijakan Publik
MENARIK untuk mencermati paradigma berpikir para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai otoritas pembentuk Undang-Undang (legislator). Dalam sebuah video sidang di DPR RI yang membahas pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua, ada penggalan kalimat yang disampaikan oleh salah satu anggota DPR RI Dapil Papua sebagai berikut.
Kewenangan DPR (dalam pembentukan UU) tidak bisa dipengaruhi dengan surat atau aspirasi siapapun. Karena otoritas kita (DPR) hanya sebatas mendengar masukan, saran. Keputusan politik ada di tangan DPR. Dan itu tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Frasa di atas sedikit memberi gambaran benderang kepada publik bagaimana logika dan cara berpikir legislator kita, meskipun mungkin saja tidak semua seperti itu. Ada konsekuensi serius yang dihadapi jika proses pembentukan UU DOB di Papua mengikuti logika berpikir seperti yang disampaikan dalam video tersebut.
Penulis sengaja membagi penggalan kalimat tersebut menjadi dua bagian untuk memperjelas fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat (representative) dalam persepektif pembentukan Undang-Undang (legislasi).
Prinsip demokrasi
Meminjam terminologi Harris Soche dalam Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia (1985), prinsip demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan rakyat. Karena itu kekuasaan pemerintahan melekat pada rakyat, juga merupakan hak asasi manusia (HAM) bagi rakyat untuk mempertahankan, mengatur, dan melindungi diri dari setiap paksaan dalam suatu badan yang diserahkan untuk memerintah.
Dalam term prinsip demokrasi Soche hendak mengatakan bahwa dalam negara demokrasi, kekuasaan pemerintahan itu melekat pada rakyat meskipun sudah ada badan yang diberikan wewenang untuk memerintah. Karena tidak mungkin bagi seluruh rakyat untuk menjalankan kekuasaan itu, maka dibentuk sebuah lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat.
Hal ini sejalan dengan sila ke-4 Pancasila, falsafah dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Namun, harus diingat bahwa rakyat tetap memiliki kekuasaan untuk mempertahankan, mengatur, dan melindungi dirinya.
Hal lainnya, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa pembentukan UU mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam prosesnya. Dalam bahasa yang lain, pembentukan UU harus bersifat bottom up, bukan top down.
Dengan demikian maka fungsi representasi oleh DPR dikategorikan dalam dua jenis. Pertama, sebagai representasi keberadaan atau representative of presence. Dalam hal ini DPR tampil sebagai lembaga dengan segala kewenangannya dalam melaksanakan fungsi-fungsi prosedural seperti antara lain bersama Pemerintah membentuk UU, mengawasi pelaksanaan UU, dan fungsi-fungsi prosedural lainnya.
Kedua, sebagai representasi ide atau representative of idea. Dalam hal ini DPR hadir untuk melaksanakan fungsi-fungsi substantif, sebagai penyambung lidah rakyat. Sebagai representasi ide, DPR meneruskan kehendak rakyat secara ‘apa adanya’ dalam hal aspirasi untuk mempertahankan, mengatur, dan melindungi dirinya.
Dalam perspektif representative of presence, DPR dilihat sebagai sebuah lembaga dengan segala kewenangan yang melekat. Sementara dari perspektif representative of idea, DPR dilihat sebagai penyambung lidah rakyat, mendengarkan semua aspirasi dari rakyat kemudian mencari resultan terbaik dari semua aspirasi tersebut.
Masukan publik
Kembali ke penggalan kalimat dalam video tadi, untuk bagian pertama substansinya adalah aspirasi dan masukan dari publik. Dalam hal ini DPR seharusnya hadir sebagai representative of idea yang mendengar aspirasi rakyat dan meneruskannya dalam rapat untuk mendapatkan resultan, bukan sebaliknya menganggap aspirasi rakyat seperti angin lalu, cukup dengar tapi tidak perlu dijadikan pertimbangan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa yang dimaknai sebagai partisipasi publik dalam pembentukan UU? Apakah sekadar formalitas mendengar tapi tidak perlu menjadi menjadikannya sebagai dasar pembentukan UU? Anggota DPR itu dipilih untuk mewakili rakyat duduk dalam lembaga DPR.
Namun demikian, bukan berarti dengan sendirinya pikiran orang-orang yang duduk itu sudah mewakili pikiran rakyat yang memilihnya. Mewakili rakyat untuk duduk dalam sebuah lembaga dan membawa aspirasi dari orang yang diwakili adalah dua hal yang berbeda.
Bagian kedua dari penggalan kalimat substansinya kewenangan DPR secara kelembagaan dalam hal prosedur pembentukan UU. Dalam hal ini DPR tampil sebagai representative of presence yang menjalankan kewenangan prosedural pembentukan UU sehingga harus independen. Tetapi harus diingat bahwa dalam menjalankan fungsi prosedural tersebut, yang diperjuangkan adalah aspirasi rakyat.
Publik juga tentu memaklumi bahwa sebagai lembaga politik, DPR tidak dapat dihindarkan dari kepentingan politik. Namun, kepentingan politik tersebut tidak boleh menegasikan susbstansi demokrasi yakni aspirasi rakyat.
Hemat penulis, dari perspektif representative of idea, dalam kalimat pertama dalam video, anggota DPR yang berbicara ini keliru dalam memahami dan memaknai fungsinya. Malah yang terdengar adalah ia menunjukkan arogansi personal dan kelembagaan, meskipun di kalimat kedua. Benar bahwa dari perspektif representative of presence, DPR secara kelembagaan berwenang untuk membentuk UU.
Dalam bahasa Henry B. Mayo (Budiardjo, 1992:61), dijelaskan bahwa dalam menjalankan sistem politik demokratis, pemerintahan yang mengambil suatu kebijakan umum ditetapkan oleh kebanyakan dari wakil rakyat dan diawasi secara efektif oleh masyarakat atau rakyat.
Henry ingin menjelaskan bahwa wakil rakyat sebagai representative of presence dengan kewenangan membentuk UU harus diawasi secara efektif oleh masyarakat. Pengawasan masyarakat ini dalam bentuk aspirasi yang harus didengar dan dijadikan sebagai dasar pembentukan UU itu sendiri.
Sejalan dengan pendapat Henry, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 91 tahun 2021 telah dengan jelas memperkuat posisi rakyat dalam pembentukan UU, yaitu syarat aspirasi publik yang bermakna dalam pembentukan UU.
Dalam konteks pembentukan UU DOB di Papua, pengabaian terhadap aspirasi masyarakat Papua membawa konsekuensi UU yang dibentuk cacat formil.