Le Cocq dan Refleksi 130 Tahun Misi Katolik di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Le Cocq dan Refleksi 130 Tahun Misi Katolik di Papua

Ibrani Gwijangge, Pr, Pastor Rekan Katedral Timika dan Imam Katolik Pertama asal Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ibrani Gwijangge, Pr

Pastor Rekan Katedral Timika dan Imam Katolik Pertama asal Kabupaten Nduga

SETELAH Pastor Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville (selanjutnya, Le Cocq) menginjakkan kaki di semenanjung Fak-fak pada 22 Mei 1894, hingga 22 Mei 2024, usia Misi Gereja Katolik masuk di tanah Papua mencapai 130 tahun. Perkembangan gereja Katolik selama satu abad lebih ini, Pulau Papua telah dibagi dalam lima wilayah kegembalaan uskup atau kerap disebut lima regio keuskupan Papua. 

Kelima regio keuskupan itu yakin Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Regio Agats, Keuskupan Regio Timika, Keuskupan Regio Jayapura, dan Keuskupan Regio Sorong-Manokwari. Populasi umat Katolik Papua urutan kedua setelah Kristen Protestan yang dibawa oleh dua orang misionaris asal Belanda dan Jerman yaitu Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler di Mansinam pada tahun 1855.

Siapakah Pater atau Pastor Le Cocq d’Armandville, SJ yang membawa misi Katolik di Papua ini? Profil di bawah ini merupakan catatan Renol Letsoin dalam komsoskms.org.  Le Cocq lahir di Delf-Belanda pada 29 Maret 1846. Ia memiliki nama lengkap Cornelis Yohan Le Cocq d’Armanville yang berarti Si Jago dari Armanville atau dalam bahasa Prancis berarti Bagaikan Tiupan Sangkakala.

Jejak panggilan

Jejak panggilan menjadi imam terbilang panjang. Le Cocq masuk Novisiat Serikat Jesus (SJ) tahun 1865-1867. Ia ditahbiskan sebagai imam Serikat Jesuit (SJ) pada 8 September 1876. Le Cocq menekuni ilmu-ilmu: bahasa, kebudayaan, filsafat-teologi, dan perawatan orang sakit. Ia memilih menjadi misionaris di Hindia Belanda tahun 1878. 

Pengalaman Misi di Hindia Belanda dimulai dari Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dan di Pulau Seram, Ambon, Maluku sejak 9 November 1891. Le Cocq tiba di Fakfak, Papua tepatnya di Kampung Sekeru pada 22 Mei 1894. Dari Langgur rencana ke Mimika dimulai bersama Bruder Zinken dan Bruder te Boekhorst sejak April 1895. Dari Kapaur ke Mimika menggunakan Kapal Al Bahanasa sejak 5 Maret 1896. Selama 13 hari melayani di Pantai Mimika dimulai 14-26 Mei 1896. Sayangnya, kapal itu tenggelam di Pantai Mimika pada 27 Mei 1896 lalu merenggut nyawa Le Cocq.

Dari sekilas data yang terhimpun di atas, tokoh umat bersama para Uskup dan pastor se-Regio Papua menyimpulkan, tanggal 22 Mei 1894 adalah awal mula agama Katolik masuk di tanah Papua. Dengan menetapkan  kota Fakfak sebagai pintu masuk pengabaran Injil bagian selatan Papua menuju ke bagian timur dan utara Papua. 

Sang misionaris Le Cocq adalah perintisnya dan telah dijuluki sebagai si jago dan kesatria yang telah meniupkan sangkakala Kristus bagi orang Papua. Waktu misinya tidak lama ketika terhitung dari tahun 1894-1896 untuk terus meniupkan sangkakalanya dalam menjelajahi daerah-daerah baru, mencari dan menemukan manusia Papua. 

Daerah pesisir Pantai Selatan Papua memang dikenal dengan amukan ombak yang ganas dan iklim yang ekstrim pula. Di darat Le Cocq harus menelusuri bebatuan licin, curah hujan yang tidak menentu, binatang buas yang ganas dan manusia selatan yang kekar dan seram. Pertanyaan sederhananya: apa yang sebenarnya ia mau capai dari misi yang membahayakan ini? 

Dalam catatan kerabatnya dilukiskan, “tak jarang Pater Le Cocq menahan demam, diare dan sakit di gubuknya yang kecil atau di kapal kecil yang membawanya terombang-ambing dalam pelayanan kepada umat di pulau-pulau kecil.” Kedua bruder yaitu Brude Zinken dan Bruder te Boekhorst yang ikut bermisi dari Langgur (Maluku) ke Papua merasa sangat melelahkan. Bahkan tubuh Le Cocq lemah, demam dan kerap jatuh pingsan di papan yang ditata seadanya. 

Memang dalam kondisi tubuh yang lemah tidak mematahkan semangat juang Le Cocq di medan yang rumit. Bekal ilmu yang dimiliki terus menuntunnya untuk sampai pada penerangan akal budi dan iman suku bangsa Papua. Rupanya pintu masuk alam raya dapat ditelusuri tetapi pintu masuk Sabda Allah ada pada pengertian akal budi dan perasaan manusia Papua yang dijumpai. Inilah pentingnya mempelajari bahasa setempat, guna mengenal kebudayaan pribumi agar dapat menanam benih Sabda Allah di hati yang bimbang dan rapuh. 

Pekerjaan perintisannya antara lain ia lakukan dengan mengumpulkan, mengajar, membaptis, dan mengobati yang sakit. Dalam catatan pertamanya, jumlah warga asli Papua orang yang dibaptis adalah 159 orang. Rasul Paulus seorang perintis di Korintus, pernah menegaskan, “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1 Kor, 3:6). 

Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri.

Sempat Le Cocq memikirkan tentang nasib masa depan umatnya yang baru dirangkul dan dibaptis kepada superiornya, Pastor Keijzer, ketika ia hendak dipindahkan atas kondisi kesehatan yang semakin menurun. Le Cocq mengatakan, ”Selama belum ada pater yang mengganti saya di sini, dan mengambil alih pekerjaan, saya akan menderita batin karena jiwa-jiwa yang kutinggalkan. Dimanapun saya berada, saya tidak akan menemukan sesuatu yang dapat menyembuhkan derita saya.” 

Total memberi hati

Bagi jiwa-jiwa di tanah Papua itulah Le Cocq kemudian tidak meninggalkan Papua selamanya lalu pulang Eropa atau wilayah misi lainnya. Imam Tuhan ini sungguh memberi hati dan diri yang total dan abadi bagi umat Katolik dan orang-orang yang dikasihinya hingga maut menjemputnya di selatan Mimika.

Le Cocq yang menanam, Keuskupan Regio Papua menyiram, tetapi Allah yang memberi Pertumbuhan. Pertumbuhan gereja tak lepas dari upaya manusia tetapi Tuhan menambahkan dan menggenapi apa yang diperjuangkan manusia. Penting untuk kita renungkan apa yang diungkapkan Le Cocq, sang peniup sangkakala: “di manapun saya berada, saya tidak akan menemukan sesuatu yang dapat menyembuhkan derita saya.” Pesan ini secara langsung ditujukan bagi penggantinya, misionaris selanjutnya sampai sekarang untuk pekerjaan menyiram apa yang telah ditaburkan. 

Pada prinsipnya orang Papua memiliki jiwa resiprositas, di mana adanya jalinan saling menguntungkan, pemberianmu akan dikembalikan. Alam memberi kesuburan, manusia memiliki tanggung jawab untuk merawat dan menjaganya. Seorang kerabat memberikan sesuatu kebaikannya, maka kerabat yang menerimanya harus mengembalikan kebaikan itu, maka terjadilah harmonisasi di antara mereka. 

Perjuangan Le Cocq bagi orang Papua memiliki satu hutang yang tak dapat dibalas dengan nilai apapun karena terputusnya nila resiprositas itu. Namun, dengan rendah hati memberikan penghormatan adalah satu cara mengobati rasa hutang yang tak pernah dilunasi. 

Salam dari kami anak Mimikawee. Bagimu, Pastor Le Cocq, kesatria iman, sang jago dari d’Armandville yang telah meniupkan sangkakala Surga bagi tanah Papua. Deru angin dan ombak hantarkan semangatmu untuk merawat umat yang engkau telah taburkan benih Sabda Allah. Damailah di sisi-Nya, Pater Le Cocq. Selamat Merayakan HUT ke-130 Misi Katolik di tanah Papua. 

Tinggalkan Komentar Anda :