Potret Buram Pendidikan
OPINI  

Potret Buram Pendidikan

Yulius Pekei, Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Universitas Cenderawasih

Loading

Oleh Yulius Pekei

Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Universitas Cenderawasih

PROSES pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik yang terarah pada pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan akan menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan pendidikan. Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua aspek yaitu kualitas komponen dan pengelolaannya. Kedua aspek tersebut saling bergantung satu sama lain.

Meski seluruh komponen cukup baik ketersediaan akses sarana-prasarana serta biaya cukup, namun jika tidak ditopang pengelolaan yang handal maka pencapaian tujuan tidak optimal. Kenyataan ini terlihat di Kabupaten Deiyai. Buktinya, banyak sekolah kosong dan ditumbuhi rumput yang tinggi. Saatnya ujian tiba, pesertanya membengk. Potret dan wajah pendidikan ini bila pengelolaan baik tetapi di dalam kondisi serba kekurangan hasilnya tidak optimal.

Pengelolaan proses pendidikan meliputi ruang lingkup makro, menengah, dan mikro. Pengelolaan proses dalam lingkup makro berupa aneka kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang dituangkan dalam sejumlah regulasi seperti UU, Peraturan Pemerintah, SK Menteri dan Dirjen serta dokumen-dokumen pemerintah lainnya di tingkat nasional.

Pengelolaan dalam ruang lingkup menengah merupakan implikasi kebijakan-kebijakan nasional kedalam kebijakan operasional dalam ruang lingkup wilayah di bawah tanggung jawab Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Deiyai. Pengelolaan dalam ruang lingkup mikro merupakan aplikasi kebijakan pendidikan yang berlangsung di dalam lingkungan sekolah ataupun kelas, sanggar-sanggar belajar, dan satuan-satuan pendidikan lainnya dalam masyarakat.

Dalam ruang lingkup ini kepala sekolah, guru, tutor, dan tenaga pendidikan memegang peran penting di dalam pengelolaan pendidikan guna menciptakan kualitas proses dan pencapaian hasil pendidikan. Misalnya seorang guru wajib menguasai pengelolaan kegiatan belajar mengajar, termasuk di dalamnya pengelolaan kelas dan siswa.

Proses pendidikan

Tujuan utama pengelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses dan pengalaman belajar yang optimal. Sebab berkembangnya tingkah laku peserta didik sebagai tujuan belajar hanya dimungkinkan adanya pengalaman belajar yang optimal itu. Di sini jelas bahwa pendayagunaan teknologi pendidikan memegang peranan penting. Pengelolaan proses pendidikan harus memperhitungkan perkembangan iptek. Karena itu setiap guru wajib mengikuti dengan saksama berbagai inovasi pendidikan terutama yang diseminasikan secara luas oleh pemerintah serta PPSI, belajar tuntas (mastery learning), pendekatan CBSA dan keterampilan proses muatan lokal dalam kurikulum dan lain-lainnya agar dapat diambil manfaatnya.

Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberi arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatanpendidikan. Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan lainnya.

Dapat dikatakan bahwa seluruh komponen dari seluruh kegiatan pendidikan dilakukan semata-mata untuk pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian, kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan tersebut dianggap menyimpang, tidak fungsional, bahkan salah sehingga harus dicegah.

Di sini terlihat bahwa tujuan pendidikan bersifat normatif. Artinya, mengandung unsur norma bersifat memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik. Sehubungan dengan fungsi tujuan penting itu, menjadi suatu keharusan bagi pendidik memahaminya. Kekurangpahaman pendidik terhadap tujuan pendidikan berbuntut kesalahpahaman di dalam melaksanakan pendidikan. Gejala demikian yang oleh Langeveld disebut salah teoritis (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 37:2000).

Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian. Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua aspek yaitu kualitas komponen dan pengelolaannya.

Kedua aspek tersebut satu sama lain saling tergantung. Walaupun komponen-komponennya cukup baik, seperti tersedianya prasarana dan sarana serta biaya yang cukup. Juga ditunjang dengan pengelolaan yang andal sehingga pencapaian tujuan tidak akan tercapai optimal. Demikian pula bila pengelolaan baik tetapi dalam kondisi serba kekurangan akan membawa hasil yang tidak optimal.

Emosi dan otot

Memang harus kita akui ada di antara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian di dalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan pejabat.

Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, pemakaian narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai kehidupan sosial. Para pelaku narkoba melibatkan oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar menapa hal itu terjadi. Apakah dunia pendidikan sudah tidak lagi mengajarkan tata etika dan tata krama serta perilaku saling menyayangi di antara siswa atau mahasiswanya? Atau apakah kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Pun apakah ini hasil dari sistem pendidikan selama ini, termasuk akibat perilaku para pejabat kita?

Di lain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan orang-orang yang berlatar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negeri. Parahnya, era reformasi bukannya berkurang tetapi malah meningkat intensitasnya.

Kita sebagai generasi muda tentu merasa prihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus bangsa yang tinggal, hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal strategis meski butuh waktu panjang.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya pendidikan nasional dan nasib generasi penerus? Hubungannya sangat erat.

Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul serta berdaya saing. Sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang sudah disumbangan pendidikan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.

Pendidikan nasional selama ini telah mengenyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mengutamakan kepentingan bangsa, bukan pribadi atau kelompok.

Kenyataanya, bisa dilihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik banyak juga dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Semuanya adalah orang-orang berpendidikan dengan kualifikasi pendidikan mulai Diploma hingga dari S-1. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi.

Ada partai kembar, anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai sekadar memperebutkan posisi tertentu. Pertanyaan retoris segera lahir: bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak?

Tentu publik masih ingat ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan (“bangsat”) dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini ke depan? Apakah mereka tidak sadar tindak tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini di masa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi banyak penyimpang seperti jual-beli gelar akademik. Anehnya, pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan.

Pendidikan bermoral

Kembali ke pendidikan nasional bermoral. Pendidikan bermoral di mana proses pendidikan yang mampu membawa peserta didik ke arah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, dan berbudi pekerti luhur. Muaranya, peserta didik tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.

Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang dimiliki dan dihargai di dunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara bermoral. Cara berarti di mana saat proses tranformasi ilmu pengetahuan mulai SD hingga perguruan tinggi berlangsung, pendidik harus memiliki terlebih dahulu moralitas yang dijadikan panutan peserta didik.

Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD hingga perguruan tinggi memiliki sifat-sifat seperti di atas, negara kita belum tentu morat-marit seperti saat ini.

Kedua, perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan atau perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah diubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan,

Namun kalau pendidik dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti di atas, nampaknya perubahan sekadar utopis. Implementasi di lapangan akan jauh dari harapan dan buntutnya proses pendidikan generasi muda jauh panggang dari api.

Dalam hal ini penulis tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia. Tapi oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri demi generasi cerdas dan unggul yang menjadi cita-cita dan kerinduan kolektif.

Selain itu, anggaran pendidikan yang besar belum tentu mengubah dengan cepat kondisi pendidikan. Malah anggaran yang besar akan berpotensi menggoda perilaku oknum penguna anggaran melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme jika abai kontrol ketat ditopang aspek moralitas bersangkutan.

Ketiga, berlaku adil dan hilangkan perbedaan. Ketika masih di SD ada guru sering memanggil teman saya maju ke depan kelas untuk mencatat di papan tulis atau menjawab pertanyaan. Teman ini siswa pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saat saya kuliah. Saya merasakan sedih, rendah diri, iri, dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain.

Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?

Dengan contoh ini, saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan di antara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial di antara peserta didik, orang tua dan masyarakat.

Para siswa yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena faktor kedekatan. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik tetapi orang tua mereka mencari jalan bagaimana agar anaknya bisa masuk kelas tersebut.

Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang menumbuhkan peserta didik mandiri, bermoral, dewasa, dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau Kembali bahkan perlu dihilangkan.

Dengan demikian perlu ada kontrolan dari dinas pendidikan untuk mengontrol satuan pendidikan agar terwujud proses pendidikan yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Selanjutnya, agar segala usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Muaranya, mereka memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan untuk dirinya dan masyarakat.

Tinggalkan Komentar Anda :