Oleh Victor Ruwayari
Komisioner KPU Kabupaten Sarmi Periode 2014-2024
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 secara nasional akan digelar pada 27 November 2024. Tahapan dan proses pilkada kini tengah berlangsung. Siapapun pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih nanti itulah pemimpin. Saat ini masyarakat di setiap daerah mendukung dan menjagokan pasangan calon masing-masing.
Pilkada adalah bagian dari demokrasi dan mekanisme politik untuk tata kelola pemerintahan yang demokratis dengan indikatornya masyarakat yang inklusif dengan partisipasi politik yang terbuka untuk semua kalangan, kelompok marginal dan minoritas.
Secara teoritis, pelaksanaan pilkada adalah momentum peletakan dasar bagi bangunan kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi di tingkat lokal.
Esensi demokrasi pada tingkat lokal didasarkan pada prinsip local choice dan local voice. Institutional set up-nya adalah saat di mana suara rakyat terartikulasi secara langsung melalui berkesempatan memilih secara sesuai kehendaknya agar kekuasaan lahir dan terbentuk dari bawah.
Memahami demokrasi pilkada tidak bisa dilihat secara parsial. Perlu diimbangu antara demokrasi substansial dan prosedural. Mengapa? Pilkada tidak sekadar prosesi, ritus politik tetapi medan pertarungan antar kekuatan politik di masyarakat. Relasi proses politik pilkada dengan ragam pilihan kebijakan publik (public policy choice) terletak pada janji politik (visi dan misi) kandidat terpilih dalam dokumen perencanaan daerah.
Dokumen inilah pada gilirannya menjadi bahan rujukan untuk penyusunan rencana pembangunan daerah dan alokasi anggarannya (RPJMD, RKPD, dan APBD). Dalam banyak kasus, kendala yang terjadi yakni ada disparitas antara janji politik semasa debat kandidat dengan realisasi berbagai dokumen daerah.
Pasalnya, janji politik memiliki derajat relevansi dengan produk kebijakan publik di daerah. Jargon yang diusung pasti menawarkan kebaikan dan terasa nikmat didengarkan.
Cita-cita yang dirumuskan dalam visi misi hendaknya bukan sekadar utopis, tapi realistis dengan kemampuan untuk diwujudkan atau diimplementasikan sehingga publik merasakan langsung manfaat pilihannya sebagai kepala daerah.
Terlepas dari latar belakang seorang kepala daerah entah birokrat, pengusaha atau politisi namun aspek terpenting adalah memiliki integritas menepati visi misi yang merupakan janji politik. Hal ini penting mengingat mengabaikan janji dalam politik bukan fenomena khas Indonesia.
Dengan demikian secara moral janji adalah harus sungguh dipegang untuk direalisasikan. Bila janji diabaikan, demokrasi perwakilan mengalami disconnect electoral. Relasi antara wakil dan yang diwakilinya terputus. Demokrasi elektoral membuka peluang bagi setiap warga negara menjadi pemimpin publik.
Esensinya seorang pemimpin adalah kesediaan dan kerelaan untuk mewakafkan diri dan jiwanya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan perlu pemimpin mumpuni dan berintegritas sehingga mampu memperbaiki sistem dan budaya secara holistik. Memperbaiki sistem tanpa perbaikan budaya kerja membuat orang bersiasat. Begitu pula budaya kerja tanpa dukungan sistem yang baik sulit terwujud sinergi kolaboratif.
Begitu banyak teori kepemimpinan publik yang bisa dipelajari, namun yang terpenting adalah konkritisasi pelaksanaannya. Konsep yang tersusun dengan baik dan rapi dalam visi misi tidak menjamin dapat terwujud tanpa political will pemimpin. Dengan kemauan kuat akan menemukan banyak jalan. Sebaliknya, ketidakmauan akan membuka ruang mencari aneka alasan.
Pemimpin adalah suluh kehidupan setiap harapan masyarakat memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan. Oleh karena itu yang harus dilakukan para pemimpin agar dapat membawa perubahan di antaranya piawai mencari peluang.
Selain itu, cerdas dalam membangun daerah dan piawai dalam mengembangkan potensi ekonomi dengan mengintegrasikan ilmu membangun daerah dalam prinsip-prinsip pemasaran secara tepat dengan meng-adjust kebijakan pemasaran sektor publik.
Pertama, mampu menjual apa yang menjadi andalan daerahnya. Kedua, mampu menjual idenya, gagasan, programnya, dan strateginya dalam membangun daerahnya. Pertama, mengubah perilaku yang merugikan ke arah yang menguntungkan anggota masyarakat.
Sebagai bentuk komitmen, konsistensi dan integritas kandidat kepala daerah pemenang pilkada menempatkan dirinya core sistem pemerintahan baru. Ia memiliki beragam impian, segudang rencana, setumpuk ide cemerlang dan berjibaku mewujudkan janji politik di level kebijakan publik. Tanpa mencari-cari alasan menjadi seorang apatis, perubahan menjadi hal yang complicated dan sulit.
Argumentasi ini lahir bukan tanpa alasan. Meski komitmen perubahan akan berlangsung di permukaan pranata sosialnya. Bukan kedalaman mental, moral dan perilakunya. Dengan menyandarkan pada the saliency theory yaitu kandidat kepala daerah pemenang pilkada merupakan tulang punggung pemerintahan pasca pilkada.
Oleh karena itu sesudah pilkada ranah politik lokal dengan komando kepala daerah terpilih lekas bersalin menjadi arena pemerintahan yang bekerja memasuki semacam black box yakni visi, misi dan program.
Termasuk tidak melupakan masalah alokasi dan distribusi sumber daya publik agar berkonversi ke dalam aksi lapangan sebagai momen pembuktian janji dilunasi atau sebatas utopia. Kala pembuktian tak terjadi tidak menutup kemungkinan akan mendegradasi kepercayaan publik terhadap demokrasi elektoral.
Guna menelaah realitas dari janji politik dimaksud, penulis menawarkan selain memanfaatkan the saliency theory. Teori ini merujuk Klingemann (1999) dalam Fadillah Putra (2005: 177-178) sebagai analisis untuk melihat kaitan antara janji politik dengan tiga model kebijakan publik.
Pertama, model agenda. Model ini digunakan dengan cara menguji efek kemenonjolan berbagai isu dalam janji-janji politik kandidat terhadap prioritas alokasi anggaran dan kebijakan pada pemerintahan pasca pilkada.
Kedua, model mandat di mana alat ini digunakan dengan cara mengamati pengaruh tambahan janji-janji politik terhadap produk kebijakan alokasi anggaran.
Ketiga, model ideologi, yang ditempuh dengan melihat relevansi antara janji politik yang disampaikan kandidat dengan jalinan ideologi yang selama ini diyakini dalam jangka waktu panjang.
Dalam praktek antara janji politik dengan kebijakan publik persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada sekian banyak variabel yang menyebabkan kesan garis lurus dari the saliency theory dan ketiga model tersebut. Namun, idealnya tidak terlalu jauh menyimpang dari realitasnya.
Melihat kompleksitas permasalahan yang dihadapi salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan daerah adalah leadership kepala daerah yang diukur dari tiga hal, yaitu integritasnya (bebas KKN) inovasinya berupa terobosan yang akan dilakukan serta kemampuan manajerial yang baik untuk mengelola birokrat memiliki integritas tinggi.
Untuk mencapai posisi tersebut, jadilah pemimpin yang amanah dan terpercaya. Pemimpin tidak bermetamorfosa menjadi penjual obat di pinggir jalan yang menawarkan obat tanpa bermerek. Pemimpin mesti menunaikan janjinya karena itulah jalan memperoleh kemuliaan di hadapan masyarakat dan Tuhan. Inilah sesungguhnya tanggung jawab pemimpin usai helatan pilkada.