Perspektif Pemekaran Daerah Otonom Baru di Tanah Papua (1) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Perspektif Pemekaran Daerah Otonom Baru di Tanah Papua (1)

Methodius Kossay, kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti

SEJAK revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pemerintah pusat bergerak cepat melakukan beberapa kebijakan untuk menyelesaikan konflik di tanaa Papua.

Salah satu kebijakan yang hangat diperbincangkan dan menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat umum dan khususnya masyarakat tanah Papua adalah langkah mengenai pemekaran daerah otonom baru (DOB) provinsi. Wacana daerah otonom baru meliputi 6 provinsi. Enam provinsi tersebut yaitu Provinsi Papua Tabi Saireri, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.

Ide Jakarta

Ide pemekaran provinsi di tanah Papua dinilai datang dari pemerintah pusat dan elit politik Papua. Ide dan dasar hukum Jakarta yang melatari pemekaran ialah Pasal 76 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Bunyi Ayat 2 itu yaitu “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kebupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administrasi, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakata Papua”.

Sedangkan Ayat 3 berbunyi, “Pemekaran daerah provinsi dan kebupaten/kota sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah”.

Ketentuan dalam Pasal 76 Ayat 2 jika ditelaah, maka pemekaran yang dilakuan oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tanpa pelibatan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua terutama Bab XXIV Pasal 76. Bab XXIV Pasal 76 menyatakan, “Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi-Provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, keseiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”.

Padahal, salah satu kewenangan MRP adalah sebagai representasi kultur penduduk asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua sebagai wakil rakyat yang mengkamodir aspirasi masyarakat di Provinsi Papua.

Aspirasi masyarat Papua dari para elit politik lokal Papua tidak bisa dijadikan sebagai patokan memekarkan provinsi di Tanah Papua. Pemerintah dan DPR RI harus membuka ruang demokrasi bagi masyarakat Papua dalam menyampaikan aspirasi secara langsung melalui MRP dan DPRP jika mengacu pada UU Otsus Papua sebelum direvisi. Rancangan undang-undangan (RUU) pemekaran provinsi Papua kini sedang dibahas di DPR RI.

Dalam pembahasan RUU di kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, beberapa kabupaten/kota di tanah Papua melakukan berbagai aksi unjuk rasa menolak pemekaran provinsi baru di tanah Papua. Selain aksi penolakan tersebut juga ada beberapa kelompok masyarkat Papua yang mendukung daerah otonom baru.

Pro-kontra

Pemeraran provinsi baru di tanah Papua menuai pro dan kontra di seluruh lampisan masyarakat di tanah Papua khususnya orang asli. Jika ditelusuri pro dan kontra yang terjadi saat ini, menolak DOB di tanah Papua hampir sama ketika itu dilakukan pembahasan Otssus Papua ‘Jilid II’ yang sekarang menjadi Undang-undang nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Hasil revisi otonomi khusus Jilid II sampai dengan saat ini juga masih terus menuai pro dan kontra. Hal ini, dinilai karena setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat tidak pernah melibatkan masyarakat Papua khususnya OAP untuk mendengarkan aspirasinya.

Di dalam Pasal 76 Ayat 3 sebagaimana yang diuraikan diatas mengatakan, “Pemekaran dilakukan tanpa melalui tahapan daerah persiapan.” Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat memiliki kompleksitas probems yang seharunya menjadi perhatian yang penuh dalam memekarkan provinsi baru di tanah Papua. Tanpa memenuhi persyaratan dasar seperti kewilayaan, kapasitas daerah dan persyaratan administratif maka akan menimbulkan probem baru.

Dasar dalam pembentukan daerah persiapannya sebagai berikut. Pertama, usulan dari Gubernur Provinsi Papua kepada pemerintah pusat, DPR RI, atau DPD RI setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayaan, dan persyaratan administratif. Kedua, perimbangan kepentingan stategis nasional.

Ketiga, jangka waktu daerah persiapan selama tiga tahun untuk daerah persiapan yang dibentuk berdasarkan usulan daerah dan maksimal lima tahun untuk daerah persiapan yang dibentuk dengan pertimbangan kepentingan strategis nasional. Keempat, persyaratan-persyaratan dasar kewilayaan dan persyaratan administrasi usulan pembentukan daerah persiapan dinilai oleh pemerintah pusat.

Kelima, parameter persyaratan administrasi. Tahapan daerah persiapan semestinya menjadi mekanisme dan melalui pengkajian yang kompherensif dalam rangka pemekaran provinsi di Papua. Jika pemekaran tetap dilakukan dan dipaksakan tanpa mekanisme yang kompherensip dengan legalitas yang sesuai dengan adminitrasi negara maka akan menimbulkan eskalasi konflik yang tidak bisa terbendung. Yang diuntungkan dari pemekaran ini adalah para elit politik yang memiliki kepentingan dan para investor.

Dalam prespektif administrasi pemerintahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, menjadi indikator utama penyelenggaraan tata tertib administrasi terkait pemekaran provinsi di Papua.

Muara pemekaran

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan daerah bertujuan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan tata kelola pemerintahan, meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah dan memelihara keunikan adat istiadat, tradisi dan budaya daerah.

Selain itu beberapa syarat pembentukan daerah yang atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Proses pembentukan daerah didasari pada tiga persyaratan yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Pertama, persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan daerah. Kedua, persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Ketika syarat ini adalah syarat wajib dengan mekanisme prosedural yang harus dipenuhi dalam pembentukan atau pemekaran suatu wilayah. Dalam konteks Papua, tidak melalui mekanisme yang diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pembentuk kebijakan sebagai roh model menjalankan amanat konstitusi.

Namun, dalam praktiknya tidak sesuai antara das sein dan das sollen. Seharusnya usulan pemekaran baru datangnya dari aspirasi murni suara penduduk asli Papua itu sendiri. Namun usulan tersebut ditunggangi oleh kepentingan politik dan kepentingan elit politik di tanah Papua yang ingin mendapatkan status kekuasaan atas pembentukan daerah otonom baru. (Bersambung)

Tinggalkan Komentar Anda :