Perspektif Pemekaran Daerah Otonom Baru di Tanah Papua (2) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Perspektif Pemekaran Daerah Otonom Baru di Tanah Papua (2)

Methodius Kossay, kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti

KEBIJAKAN pemerintah pusat dan DPR RI mendorong pemekaran DOB di Papua merupakan kebijakan sepihak yang dipaksakan. Kebijakan seperti ini pernah dilakukan pada masa Orde Baru semisal pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) atau program transmigrasi, dan lain-lain.

Kebijakan pemerintah pusat terkait pemekaran sejumlah daerah DOB di Papua saat ini bersifat sentralistik. Menggunakan pendekatan dari atas, top-down, bukan dari masyarakat akar rumput, buttom up. Artinya keputusan kebijakan dibentuk oleh pejabat pemerintah pusat dan implementasi kebijakan tersebut dilakukan secara tersentralistik oleh masyarakat.

Kelemahan dari pendekatan top down adalah kurangnya pelibatan masyarakat dan rendahkanya partisipasi aktif masyarakat dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah pusat. Jika pendekatan top down ini terus dipaksakan, kebijakan tersebut belum tentu memberikan manfaat yang signifikan bagi penduduk asli Papua. Karena kebijakan tersebut, tidak sesuai dengan harapan atau keinginan bahkan memicu konflik baru yang berujung terjadinya pada perpecahan dan kekisruhan.

Kebijakan pemerintah ousat sebagai decision maker tentang pemekaran sejumlah DOB di Papua dilaksanakan tanpa pelibatan rakyat Papua khususnya orang asli Papua sebagai penerima manfaat. Orang asli Papua sebagai penerima manfaat sekadar penonton, bukan pelaku dalam kebijakan tersebut. Tak heran, beberapa hari belakangan ini, gelombang penolakan pemekaran masif muncul hingga lapisan masyarakat Papua melalui aksi unjuk rasa hingga pernyataan sikap melalui media.

Kebijakan pusat

Langkah pemekaran DOB di Papua, sebagai kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik dalam pembangunan kesejahteraan di Papua. Kebijakan tersebut, seharusnya rakyat Papua dilibatkan dalam menyampaikan aspirasinya. Aspirasi tersebut datang dari masyarakat adat yang tersebar di tujuh wilayah adat bukan perwakilan orang asli Papua yang ditunggangi oleh kepentingan politik datang ke Jakarta.

Kebijakan pembangunan di tanah Papua terkait pemekaran DOB, sekilas dilihat yaitu pemerintah pusat memiliki beberapa agenda. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) saat acara Coffee Morning di kantor Menko Pulhukam juga sempat melontarkan ikwal pemekaran.

Aspirasi pembentukan daerah otonom baru dapat dilakukan salah satunya dengan mempertimbangkan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengokohkan NKRI. Juga terkait percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat serta memelihara citra positif Indonesia di mata dunia (Polkam.go.id, Selasa, 30/11/2021).

Jika apa yang diuraikan di atas menjadi dasar pemekaran daerah otonom baru maka konflik Papua akan terus terjadi karena akar utama konfliknya seseungguhnya belum disentuh. Salah satu kelemahan dari pendekatan top down, karena tidak berdasarkan aspirasi murni dari penduduk asli Papua tetapi kehendak sepihak pemerintah. Hal yang juga terjadi era Orde Baru.

Alasan lain tentang pemekaran DOB di Papua datang dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian. Kata Tito, ada beberapa aspirasi pemekaran provinsi baru di Papua dan Papua Barat seperti Provinsi Papua Tabi Saireri, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Barat, dan Papua Barat Daya. Spirit pemekaran Papua, menurut Tito karena wilayah Papua sangat luas dan perlu percepatan pembangunan di tanah Papua serta upaya memperteguh keutuhan wilayah Indonesia.

Jika merujuk dari pernyataan di atas, aspirasi tentang pemekaran DOB di Papua datang dari segelintir oknum elit Papua yang mengatasnaman diri sebagai perwakilan dari masyarakat Papua. Aspirasi perwakilan masyarakat Papua yang mengusulkan tentang DOB tersebut bukan mutlak suara hati nurani dari penduduk asli Papua. Pemekaran DOB, seyogyanya adalah permintaan masyarakat karena itu murni aspirasi penduduk asli.

Informasi lain datang dari Kantor Staf Presiden (KSP) tekait aksi unjuk rasa penolakan oleh mahasiswa. Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani menegaskan, rencana pemekaran provinsi di Papua dan Papua Barat adalah bagian dari upaya pemerintah pemerataan pembangunan. Selama ini pelayanan publik hanya terpusat di ibu kota provinsi (cnnindonesia.com, 11/3).

Role model pemerataan pembangunan seharusnya nampak saat ini baik di Papua maupun Papua Barat. Sayangnya, hingga saat ini, pemerataan pembangunan belum memberikan dampak positif bagi masarakat terutama penduduk asli. Alasan pemerintah pusat tentu juga berpijak amanah 1945 dan Pancasila. Namun, sekali lagi dalam praktiknya tidak sesuai dengan mekanisme dan teknis administrasi dalam ketatanegaraan Indonesia. Karena tolok ukur pemekaran mengacu pada Pasal 76 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua.

Pendekatan percepatan pembangunan kesejahteraan dan keamanan di Papua selama ini kurang memberikan dampak signifikan. Model pendekatan yang selama ini diterapkan di tanah Papua belum mampu meredam eskalasi kekerasan. Bahkan belum mampu mensejahterakan rakyat Papua. Apalagi jika tanah Papua dimekarkan lagi menjadi enam provinsi baru di pulau paling timur Indonesia itu. (Bersambung)

Tinggalkan Komentar Anda :