Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti
PEMEKARAN provinsi baru di Papua saat ini menjadi sebuah kado istimewa yang ter-cover melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua Atas Uundang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya Otsus Jilid II). Otsus Jilid II menjadi dasar jaminan, legitimasi harkat dan martabat orang asli Papua. Namun, dalam implementasinya sampai dengan saat ini, tidak sesuai dengan harapan yang dirindukan dan diharapkan mayoritas masyarakat Papua.
Berbagai gelombang penolakan yang terjadi di internal masyarakat Papua hingga saat ini adalah ekspresi aneka persoalan yang membelit provinsi paling timur Indonesia itu tidak kunjung diselesaikan oleh pemerintah. Penolakan tersebut mengandaikan tidak ada titik temu resolusi konflik Papua. Padahal, beberapa kajian ilmiah kompherensif pernah pula dilakukan dan diusulkan kepada pemerintah pusat sebagai pertimbangan menyelesaikan konflik Papua.
Misalnya, hasil kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future (2009) yang dimotori Dr Muridan S. Widjojo, dkk. Hasil kajian itu sesungguhnya bisa jadi salah satu model penyelesaian konflik di Papua secara mendasar dan komprehensif. Selain itu, Jaringan Damai Papua (JDP) yang dimotori Dr Neles Kebadabi Tebay Pr (Alm), imam diosesan Keuskupan Jayapura dan putra asli Papua dari Kabupaten Dogiyai, wilayah adat Meepago.
JDP merupakan sebuah lembaga yang ia dirikan untuk menjembatani dialog Jakarta-Papua dalam rangka menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia (HAM), politik, dan ideologi Papua. Neles menulis buku Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua (2009). Namun, hingga saat ini dialog Jakarta-Papua mandeg. Konflik kekerasan masif lalu memangsa korban tak hanya masyarakat sipil namun juga aparat.
Kondisi itu juga menjadi alasan lain penolakan rencana pemekaran wilayah oleh masyarakat Papua menjadi beberapa daerah otonom baru (DOB). Penolakan itu tak hanya terjadi di Papua namun juga merambat ke sejumlah elemen warga asal Papua lainnya seperti di Jawa, Bali dan daerah-daerah lainnya.
Momok menakutkan
Pemekaran tanah Papua seakan jadi momok menakutkan, monster pembunuh maut yang siap memangsa laiknya dalam film-film horor. Ini menandakan bahwa banyak masalah di Papua belum diselesaikan, lalu kembali masyarakat dibebani dengan urusan baru yaitu pemekaran di tengah persoalan Bumi Cenderawasih yang masih membelit.
Kita lihat saja. Sejumlah warga masyarakat Papua di Paniai yang terhimpun dalam Front Persatuan Rakyat (Fopera) melakukan aksi demo damai menolak pemekaran Provinsi Papua Tengah di wilayah adat Meepago dan Papua secara keseluruhan. Pemekaran dinilai sebagai petaka bagi seluruh rakyat Papua dari sektor kehidupan apapun (suarapapua.com, Senin, 14/3).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sejak hadirnya Otsus Papua tahun 2001 sampai dengan Otsus Jilid II tidak memberikan dampak signifikan bagi warga masyarakat, khususnya orang asli Papua. Apalagi jika pemekaran menanjak hingga enam provinsi baru.
Undang-Undang Otsus Papua lahir untuk menyelesaikan konflik di Papua. Ada tujuh nilai dasar dalam Otsus Papua yang menjadi mandat konstitusi yang wajib dilaksanakan. Tujuh nilai dasar dimaksud sebagai berikut. Pertama, perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua. Kedua, demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi.
Ketiga, penghargaan terhadap etika dan moral. Keempat, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusai. Kelima, penegakan supremasi hukum. Keenam, penghargaan terhadap pluralisme. Ketujuh, persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Tujuh butir di atas dalam implementasinya belum memberikan dampak signifikan bagi masyarakat dan tanah Papua.
Selama 20 tahun hingga gerbang Otsus Papua Jilid II, masyarakat lokal sudah tahu, sadar, dan menyaksikan sendiri berbagai kebijakan yang pernah dilakukan oleh pemerintah pusat menyelesaikan konflik Papua di bawah payung hukum Otsus Papua. Namun, dari setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat hingga saat ini, pola dan pendekatan masih sama dan senafas. Masih berkutat pada pola security approach, pendekatan keamanan dengan intensi mensejahterakan rakyat tanah Melanesia. Pola pendekatan itu yang selama ini masih dirasakan sebagai trauma kolektif dan momok menakutkan. (Bersambung)