JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Tim Seleksi (Timsel) Calon Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Papua Tengah periode 2023-2028 mencoret nama Ance Boma dalam daftar 10 besar calon anggota Bawaslu Papua Tengah.
Timsel kemudian mengganti nama Ance Boma dengan nama Hugo Victor Tanamal Iwanggin, calon lain dari luar Papua Tengah untuk dikirim ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia.
Kasus tersebut mencuat dalam Webinar bertajuk Hak Perempuan Papua Jangan Dibungkam yang digelar Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik pada Minggu (4/6) malam.
“Keberpihakan pemenuhan hak-hak politik perempuan asli Papua bukan saja di atas kertas. Tapi, benar-benar menyata dalam praktik politik di tengah masyarakat Papua,” ujar Ketua Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik Melkior NN Sitokdana melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Minggu (4/6).
Dalam diskusi tersebut, kasus Ance Boma, perempuan asli Papua yang dicoret dalam 10 besar nama yang lulus seleksi lalu menggantinya dengan calon non Papua menujukkan perempuan Papua masih dianggap remeh atau warga kelas dua. Kasus yang dialami Ance merupakan contoh buruk demokrasi di tanah Papua.
Selain itu, langkah Timsel Calon Anggota Bawaslu Provinsi Papua Tengah mencoret nama Ance dalam 10 besar yang lulus seleksi kemudian menggantinya dengan calon dari luar Papua menunjukkan negara melalui institusi pengawas Pemilu belum memberikan perhatian serius atas pemenuhan hak-hak politik perempuan orang asli Papua.
Padahal, perempuan memiliki hak konstitusi yang tidak boleh diabaikan oleh keputusan negara. Kasus Ance Boma, mantan KPU Kabupaten Paniai, menunjukkan negara tidak mengakomodir keterwakilan perempuan.
Pegiat HAM Perempuan dan Anak Indonesia Sylvana M Apituley mengingatkan agar tidak boleh hanya karena politik elektoral lalu hak-hak perempuan Papua dihilangkan. Namun, saatnya hak-hak mereka diperjuangkan.
“Ruang demokrasi harus benar-benar mengakar dan berbasis gender. Perempuan juga memiliki kemampuan dan kapasitas dalam politik sehingga harus dipertimbangkan dan didengar suaranya oleh negara. Dengan demikian, kehadiran perempuan dalam politik elektoral menjadi bagian dalam pengambilan politik,” ujar Sylvana.
Menurut Sylvana, kasus yang dialami Ance Boma menunjukkan diskriminasi dan marginalisasi sistem pengambilan keputusan dari ruang masyarakat hingga ruang negara masih terjadi. Padahal, keterwakilan perempuan tidak boleh diabaikan tetapi harus diakomodir.
Sementara itu, tokoh Gereja dan anropolog Papua Pendeta Dr Benny Giyai menilai, ada “bias pendatang” dalam kasus yang menimpa Ance Boma. Negara melalui institusi terkait diingatkan, bila ada afirmasi bagi orang asli Papua, terutama kaum perempuan, maka hal itu harus jadi priotitas.
“Nama Ance Boma jelas-jelas sudah lulus 10 besar calon anggota Bawaslu Provinsi Papua Tengah. Namun, jadi pertanyaan ialah mengapa harus diganti secara tiba-tiba di tengah jalan. Kita harus kritisi kebijakan yang tidak memihak. Jangan diam. Dari situ kita bisa lihat, negara tidak berpihak kepada kita,” ujar Pendeta Benny Giyai.
Pegiat HAM Perempuan dan Anak LBH APIK Jayapura Novita Opki menegaskan, hak-hak perempuan harus direbut kembali. Jangan membiarkan sistem di negara ini membungkam hak dan suara perempuan. Ia mengajak kawan-kawan perempuan Papua agar terus menyarakan kebenaran demi mendapat hak perempuan yang dizalimi
“Advokasi perlu terus dilakukan. Perempuan tidak boleh lagi dijadikan objek. Perempuan Papua harus terjun dalam ruang pengambilan keputusan politik demi kebaikan bersama,” ujar Novita.
“Jangan lagi ada pembungkaman ruang demokrasi bagi perempuan Papua ketika berkontestasi dalam ruang politik elektoral. Kami meminta Timsel Anggota Bawaslu Provinsi Papua Tengah segera mengembalikan Ance Boma, 10 nama calon anggota Bawaslu Papua Tengah yang dinyatakan lulus namun diganti dengan nama calon lain dari luar tanah Papua,” ujar Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pengurus Pusat Pemuda Katolik Alfonsa Jumkon Wayap. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)