Oleh Dr Socratez Yoman MA
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua
PARA teolog, pengkhotbah, pendeta, dan gembala gereja umumnya, dari waktu ke waktu dan abad ke abad hingga kini masih mempersalahkan dan merendahkan perempuan. Bahkan lebih ekstrim, perempuan dianggap kaum yang lemah. Alasannya, perempuan dinilai penyebab kejatuhan manusia ke dalam kuasa iblis dan dosa. Pandangan teologi lain melihat bahwa Hawa tidak taat, melanggar perintah Tuhan.
Tetapi, menurut teologi yang saya pahami dan yakini, selama ini pandangan teologi yang merendahkan martabat perempuan adalah keyakinan yang keliru dan salah. Dalam keyakinan yang keliru ini, kebanyakan teolog mengabaikan kehebatan, kekuatan, dan ketokohan Hawa di taman Eden yang berhadapan langsung dengan iblis. Keunggulan atau kelebihan dan peran dalam diri Hawa jarang dibahas dan dikotbahkan. Hawa dipersalahkan dengan alasan sebagai penyebab kejatuhan manusia ke dalam kuasa iblis dan dosa.
Pandangan teologi ini lemah dan tidak dapat dibenarkan karena pada saat Hawa dicoba iblis, sikap Hawa sangat jelas, yaitu ia tidak diam atau menghindar. Tapi, Hawa melakukan perlawanan atau penolakan atas tawaran atau godaan dari iblis. Walau akhirnya, Hawa jatuh ke dalam kuasa iblis dan dosa.
Kita harus kita akui dan hormati Hawa adalah perempuan hebat dan luar biasa. Karena ia tidak langsung menerima tawaran dan godaan iblis. Tapi, Hawa dengan berani dan berdiri teguh dan mempertanggungjawabkan kepada iblis tentang perintah Tuhan. Hawa sudah berusaha dan berjuang dengan memegang teguh pada perintah Tuhan dan menyampaikan kepada iblis. “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman, jangan kamu makan atau raba buah itu, nanti kamu mati” (Kejadian 3:2, 3).
Pertahanan dan kekuatan Hawa dirobohkan iblis dengan empat alasan yang digunakan secara cerdik dan licik serta kebohongan kelas tinggi. Pertama, “Sekali-kali kamu tidak akan mati” (Kejadian 3:4). Kedua, “Matamu akan terbuka” (ay.5). Ketiga, “Kamu akan menjadi seperti Allah (ay.5). Keempat, “Kamu tahu tentang yang baik dan yang jahat” (ay.5). Empat alasan yang dipakai iblis sebagai dasar untuk menggodai Adam dan Hawa sepertinya sangat teologis dan rasional dan menggiurkan bagi Hawa. Karena itu, tidak ada alasan untuk menyudutkan, merendahkan Hawa sebagai penyebab kejatuhan manusia dan simbol kaum yang lemah. Yang menghancurkan dan merusak martabat kemanusiaan sebagai gambar Allah dan memutuskan hubungan Allah dengan manusia ialah iblis bukan Hawa. Kita harus lawan kuasa iblis dan dosa yang dengan tipu daya, licik dan cerdik menggoyahkan dan menjatuhkan Adam dan Hawa.
Belajar dari tugas suci dan mulia yang dilaksanakan Hawa patut dihormati. Karena Hawa sudah berjuang untuk taat dan setia pada perintah Allah. Walaupun akhirnya Hawa kalah dan gagal dengan empat siasat godaan yang dipakai iblis. Dalam posisi Hawa seperti ini, wanita atau perempuan tidak boleh diremehkan, direndahkan, dan dihinakan bahkan tidak boleh dianggap perempuan yang lemah.
Pengalaman Hawa, kelebihan, kekuatan, keberanian, ketaatan dan kesetiaannya pada perintah Allah menjadi berkat bagi perempuan-perempuan hebat dan luar biasa saat ini. Jadi, perempuan bukan penyebabkan kejatuhan manusia dalam dosa. Perempuan bukan kaum lemah.
Perempuan memiliki kemampuan dan kehebatan serta kesanggupan yang hebat di luar batas-batas jangkauan hikmat dan kemampuan yang dimiliki laki-laki. Karena perempuan adalah pemegang kelangsungan kehidupan manusia. Dengan kekuatan perempuan yang hebat, memelihara kehidupan manusia dari janin dirahim selama delapan hingga sembilan bulan sampai kita menjadi orang-orang dewasa yang hebat.
Ya dan amin serta benarlah lagu karya SM Moehtar ini: “…Kasih ibu kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia….“. Nyanyian berjudul, Di Doa Ibuku Namaku Disebut ciptaan Peter P. Bilhorn dan dipopulerkan Natashia Nikita dalam album yang dirilis tahun 1995 masih relevan untuk kita.
Lirik lengkap itu sebagai berikut. “…Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang. Tiada duka kukenal, tak kunjung mengerang. Di sore hari nan sepi… ibuku bertelut. Sujud berdoa ku dengar namaku disebut. Di doa ibuku, namaku disebut. Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut. Seringlah kini kukenang, di masa yang berat. Di kala hidup mendesak dan nyaris ku sesat. Melintas gambar ibuku, sewaktu bertelut. Kelak di sana kami pun bersama bertelut. Memuji Tuhan yang dengar namaku disebut. Di doa ibu, namaku disebut. Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut. Di doa ibu, namaku disebut. Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut. Ada namaku disebut…..”
Lagu ini mengisahkan sisi spiritual seorang ibu yang menjalani kehidupan ini dalam perannya sebagai ibu bagi anaknya. Anak yang terlahir dari separuh raganya, separuh napas, separuh warisan genetika yang lengkap dengan kandungan unsur jiwa, rasa, kecerdasan intelektual, emosional, sosial hingga kecerdasan spiritual.
Bila kita sebagai laki-laki kita pernah mendampingi isteri kita ketika melahirkan anak bagi kita, maka kita akan tahu betapa besar jalan dan pengorbanan yang dilalui oleh isteri kita pada momen-momen melahirkan itu. Lagu ini mengingatkan kita bahwa kita jangan meremehkan dan merendahkan serta melupakan perjuangan Hawa di taman Eden dalam menghadapi pencobaan dan godaan iblis. Kita juga patut menghormati dan mengakui kekuatan-kekuatan yang dimiliki perempuan dalam dunia realitas saat ini yang turut serta berpartisipasi dalam kemajuan keluarga, gereja, masyarakat dan bangsa.
Jangan remehkan dan rendahkan martabat kemanusiaan perempuan. Hawa hebat dan luar biasa pada zamannya dan perempuan-perempuan saat ini juga hebat dan luar biasa dalam zaman dan sejarah mereka. Mereka semua pengukir sejarah kehidupan manusia. Tuhan Yesus memberkati seluruh perempuan di planet ini. Doa dan harapan penulis agar refleksi ini menjadi berkat dan membuka perspektif baru.