Penyelenggara Pemilu yang Merasa Dirugikan Putusan DKPP Dapat Menggugat ke PTUN - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Penyelenggara Pemilu yang Merasa Dirugikan Putusan DKPP Dapat Menggugat ke PTUN

Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum, Putra asli Papua dan Doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Trisakti, Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum

Doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Trisakti, Jakarta

INDONESIA sebagai negara hukum menempatkan hukum sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara yang berlaku bagi seluruh aspek kehidupan di Indonesia. Hal tersebut tersirat dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, negara Indonesia adalah negara hukum.

Demikian halnya dalam pesta demokrasi untuk memilih para pemimpin terbaik melalui Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia tinggal menunggu waktu. Penetapan waktu penyelenggaraan Pemilu sudah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 2024. Dengan terbitnya peraturan ini, tidak bisa ditawar lagi terkait penundaan Pemilu 2024.

Pemilu yang akan berlangsung merupakan sarana kedaulatan rakyat yang akan berlangsung secara demokratis untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum).

Pasal 2, 3, dan 4 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menyebutkan, KPU selaku lembaga negara yang diberikan wewenang untuk menyelenggarakan Pemilu di Indonesia, dalam tugasnya harus berdasarkan pada tujuan, asas-asas dan prinsip dalam penyelenggaraan Pemilu.

Praktik Penyelenggara Pemilu

Jika dalam praktiknya ditemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia selaku lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 24 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, DKPP akan menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam menangani pelanggaran kode etik bagi setiap anggota KPU yang terindikasi melakukan pelanggaran kode etik.

Demikian pula jika pada pelaksanaan Pemilu tahun 2024 yang akan datang, ditemukan pelanggaran kode etik hingga berunjung pada pemberhentian tetap oleh DKPP sebagai ketua merangkap anggota dan anggota KPU, kini dapat dilakukan upaya hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal yang juga telah dilakukan beberapa anggota KPU berikut.

Kasus Eva dan Arif

Hal tersebut tidak terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi pada 2021 dalam pokok perkara, mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 458 ayat 13 UU Nomor 7 tahun 2017 dalam Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021, di mana Dra Evi Novita Ginting Manik, M.SP diberhentikan karena pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu terkait kasus perolehan suara calon legislatif Paratai Gerindra Dapil Kalimantan Barat VI dan Arif Budiman, SS, SIP, MBA diberhentikan dari jabatanya sebagai Ketua KPU oleh DKPP karena dinilai melanggar kode etik dengan mendampingi Evi menggugat pemecatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Walaupun putusan Sidang Etik DKPP selama ini menjadi polemik lantaran frasa ‘final dan mengikat’ dalam Undang-Undang Pemilu. Namun, pada akhirnya Evi telah direhabilitasi nama baik dengan diaktifkan kembali hingga akhir masa jabatan April 2022.

Pengaktifan Kembali Anggota KPU Papua 2018-2023 Pasca Putusan DKPP

Keputusan KPU RI nomor 504/SDM-13.Kpt/05/KPU/VII/2021 tentang Pengaktifan Kembali anggota KPU Provinsi Papua periode 2018-2023 dan amar putusan Tata Usaha Negara (TUN) Nomor 107/G/2021/PTUN-JKT mengabulkan permmohonan penggugat dalam pokok perkara: mengabulkan permohonan penggugat, menyatakan tidak sah Surat Keputusan Pemilihan Umum Nomor 170/HK.06.4.kpt/05/KPU/III/2021 tentang Pemberhentian Tetap Ketua Merangkap Anggota dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua periode 2018-2023, tanggal 8 Maret 2021 menjadi dasar dan bukti bahwa putusan DKPP bukanlah akhir dari suatu putusan yang bersifat ‘final dan mengikat’ namun dapat melakukan upaya hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Putusan DKPP Anggota KPU Papua 2018-2023

Demikian pula putusan DKPP yang diregistrasi dengan Perkara Nomor 162-PKE-DKPP/XI/2020, yang menjatuhkan putusan atas dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu atas nama Theodorus Kossay, Melkianus Kambu, dan Fransiskus Letsoin sebagai Ketua merangkap Anggota dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua periode 2018-2023.

Keputusan DKPP tersebut menjadi objek putusan KPU RI melalui Surat Keputusan Pemilihan Umum Nomor 170/HK.06.4.kpt/05/KPU/III/2021 tentang Pemberhentian Tetap Ketua Merangkap Anggota dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua periode 2018-2023.

Atas keputusan DKPP tersebut para pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini Theodorus Kossay, Melkianus Kambu, dan Fransiskus Letsoin, melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta. Dari upaya hukum tersebut melalui amar putusan Tata Usaha Negara (TUN) Nomor: 107/G/2021/PTUN-JKT mengabulkan permmohonan penggugat dalam pokok perkara mengabulkan permohonan penggugat, menyatakan tidak sah surat keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 170/HK.06.4.kpt/05/KPU/III/2021 tentang Pemberhentian Tetap Ketua Merangkap Anggota dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua periode 2018-2023, tanggal 8 Maret 2021.

DKPP Bukan Lembaga Peradilan

Gugatan tersebut lantaran para teradu merasa dirugikan dalam keputusan DKPP sehingga melakukan upaya hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena DKPP bukan lembaga peradilan dan DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara. Jadi ketiga lembaga yang disebutkan di atas memiliki kedudukan yang sama dan sederajat. Tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang superior. Sehingga frasa ‘bersifat final dan mengikat’ dalam Pasal 458 Ayat 13 UU nomor 7 tahun 2017 dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.

Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013

Hal tersebut juga berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 yang menyatakan, ‘Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana yang dimakssud dalam Pasal 112 Ayat 12 UU 15/2011, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum apakah ‘final dan mengikat’ yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut adalah sama dengan ‘final dan mengikat’ dari putusan lembaga peradilan.

Untuk menghindari ketidakpastian hukum atas adanya ketentuan tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa ‘final dan mengikat; DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan ‘final dan mengikat’ dari lembaga peradilan pada umumnya. Hal itu karena DKPP adalah perangkat internal penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang Undang-Undang. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN.

Dengan penjelasan di atas, Mahkamah dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 31/PUU-XI/2013 menyatakan frasa” bersifat final dan mengikat ‘yaitu harus dimaknai bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, yang seharusnya dibaca sebagai satu kesatuan dengan pertimbangan hukum yang menyatakan: adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final yang dapat merupakan objek gugatan di peradilan TUN’.

Putusan MK Nomor 32 / PUU-XIX /2021

Selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 juga putusan MK Nomor 31/PUU-XIX/2021, di mana Dra Evi Novita Ginting Manik, M.SP dan Arif Budiman, SS, SIP, MBA melakukan judicial review yang diajukan dan amar putusannya mengabulkan permohonan para pemohon terkait pengujian konstitusionalitas berlakunya Pasal 458 Ayat 13 UU 7/2017 yang tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum terhadap para pemohon dan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan. Sifat putusan DKPP yang final dan mengikat telah mengakibatkan tidak adanya mekanisme koreksi atas putusan DKPP secara langsung yang dianggap cacat yuridis.

Selain itu, berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XIX/2021 yang berpendapat: permohonan para pemohon sepanjang berkaitan dengan dapat atau tidaknya putusan DKPP menjadi objek PTUN sepanjang sejalan dengan pertimbangan hukum putusan a quo adalah beralasan menurut hukum.

Sedangkan bagi Mahkamah melalui putusan a quo menegaskan kembali dalam amar putusan perkara a quo, bahwa hakikat pertimbangan hukum putusan perkara 31/PUU-XI/2013 berkenaan dengan tafsir atas Pasal 458 Ayat 13 UU 7/2017 yang selanjutnya harus menjadi tafsir tunggal yang tidak bisa dimaknai lain selain sebagaimana yang ditegaskan dalam amar putusan a quo.

Dalam amar putusan MK Nomor 31/PUU-XIX/2021 yang berbunyi, ‘Mengabulkan permohonan para pemohonan untuk sebagian dan menyatakan ketentuan Pasal 458 Ayat 13 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, putusan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 10 mengikat Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN’.

Maka cukup jelas terhadap Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan keputusan DKPP tersebut dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima atau merugikan putusan DKPP dimaksud dengan mengajukan gugatan pada peradilan TUN. Oleh karena itu, terhadap putusan Peradilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

Mengikuti seleksi

Anggota KPU yang sudah melakukan gugatan dan permohonan para pihak dalam amar putusan: mengabulkan permohonan para penggugat oleh putusan Pengadilan TUN yang bersifat konkrit, individual, dan tetap dapat mengikuti tahapan seleksi anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/kota, sebagaimana dalam ketentuan Keputusan KPU Nomor 117 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, dalam Bab V perihal Pelaksanaan Tahapan Seleksi oleh Tim Seleksi, pada huruf A terkait persyaratan calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota  halaman 19 angka 5 dan angka 6 berbunyi sebagai berikut.

Angka 5 menyebutkan, ‘selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf A angka 1, calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat tidak pernah dikenai sanksi pemberhentian tetap dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Angka 6 menyebutkan, ‘ketentuan sebagaimana dimaksud angka 5 dikecualikan bagi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang dipulihkan haknya oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap’.

Dari penjelasan di atas cukup jelas. Pertama, yang tidak membolehkan ikut seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah sanksi pemberhentian tetap oleh DKPP bukan lembaga peradilan Tata Usaha Negara, Kedua, yang bisa ikut seleksi anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota adalah calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang dipulihkan nama baik dan haknya oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal, anggota KPU Provinsi Papua periode 2018-2023 yang telah melakukan gugatan ke peradilan TUN dan menang dalam amar putusan: mengabulkan permohonan para pihak serta pemulihan hak konstitusionalnya. Jadi sudah ada dasar hukum yang jelas, konkrit dan final bahwa anggota KPU Provinsi Papua periode 2018-2023 yang sudah diberhentikan DKPP tetap dapat mengikuti seleksi anggota KPU Papua Pegununugan untuk periode 2024-2029.

Dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dan Keputusan KPU RI tentang Pengaktifan Kembali Anggota KPU sebagaimana dibahas di atas sudah cukup jelas bahwa para penggugat yang mengajukan gugatan ke PTUN akibat putusan DKPP RI yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incrach) dalam amar putusan TUN dengan mengabulkan permohonan para penggugat dan pemulihan hak konstitusionalnya.

Maka jelas bahwa anggota KPU Provinsi Papua 2018-2023 memiliki hak dengan calon anggota KPU lainnya untuk mengikuti seleksi anggota KPU Provinsi Papua Pegunungan periode 2024-2029. Tulisan ini bertujuan memberikan edukasi, pemahaman serta prespektif bagi masyarakat yang belum memahami tentang perkembangan pasca putusan MK Nomor 32 tahun 2021 yang relevansinya dengan kode etik penyelenggara Pemilu.

Tinggalkan Komentar Anda :