KRISIS kemanusiaan akibat konflik bersenjata di Papua semakin mengkhawatirkan. Ribuan warga, terutama di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Maybrat, dan berbagai wilayah konflik lainnya, terpaksa mengungsi akibat bentrokan antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM). Mereka kehilangan rumah, akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, serta kebutuhan dasar lainnya. Situasi ini adalah panggilan mendesak bagi negara untuk segera bertindak dan mengutamakan penyelesaian masalah pengungsi di Papua.
Para pengungsi terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dalam kondisi yang sangat sulit. Mereka melarikan diri ke hutan, berpindah ke wilayah tetangga, bahkan sampai ke luar kabupaten demi menyelamatkan diri. Namun, di tempat-tempat pengungsian, mereka hidup dalam kondisi yang memprihatinkan—tanpa akses memadai terhadap pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, maupun tempat tinggal yang layak. Yang lebih menyedihkan, perhatian dari negara terhadap nasib mereka masih sangat minim, seolah-olah mereka bukan bagian dari rakyat yang seharusnya mendapatkan perlindungan.
Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Para pengungsi ini bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan warga negara yang hak-haknya harus dijamin. Mereka berhak atas perlindungan, rasa aman, dan kesejahteraan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta berbagai regulasi hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Negara tidak boleh membiarkan mereka menderita di tanah airnya sendiri.
Salah satu persoalan utama yang dihadapi para pengungsi adalah kurangnya perhatian serius dari pemerintah pusat maupun daerah. Banyak dari mereka harus bertahan hidup dalam kondisi memprihatinkan, mengandalkan bantuan yang sering kali tidak mencukupi. Padahal, seharusnya pemerintah dapat mengalokasikan sumber daya untuk memastikan kebutuhan dasar para pengungsi terpenuhi, mulai dari tempat tinggal yang layak, akses terhadap pangan, kesehatan, hingga pendidikan bagi anak-anak yang terdampak.
Lebih jauh, Papua memiliki status Otonomi Khusus yang seharusnya menjamin perlindungan hak asasi manusia bagi orang asli Papua. Otonomi Khusus bukan hanya soal pembangunan ekonomi, tetapi juga harus menjadi instrumen perlindungan bagi warga dari dampak konflik berkepanjangan. Keberadaan dana Otonomi Khusus semestinya dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan kemanusiaan, termasuk untuk membantu para pengungsi yang saat ini hidup dalam ketidakpastian.
Negara juga perlu mengambil pendekatan yang lebih berimbang dalam menangani konflik di Papua. Selama ini, pendekatan militeristik justru memperparah penderitaan masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata. Diperlukan strategi penyelesaian yang lebih manusiawi, berbasis dialog dan keadilan, agar konflik tidak terus berulang dan semakin banyak warga yang menjadi korban.
Pemerintah pusat dan daerah harus berkoordinasi untuk memastikan bahwa pengungsi mendapatkan hak-hak mereka. Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, serta pihak terkait lainnya harus segera merancang kebijakan yang konkret dalam menangani para pengungsi Papua, termasuk skema pemulihan jangka panjang bagi mereka. Selain itu, lembaga-lembaga hak asasi manusia dan organisasi kemanusiaan perlu dilibatkan untuk memastikan transparansi dan efektivitas dalam penanganan pengungsi.
Menutup mata terhadap penderitaan para pengungsi Papua sama saja dengan mengabaikan amanat konstitusi. Negara harus hadir, bukan sekadar dengan janji, tetapi dengan tindakan nyata yang menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap nasib warga negaranya. Sebab, kesejahteraan dan perlindungan bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali, adalah esensi dari keberadaan sebuah negara yang berdaulat dan berkeadilan. (Editor)