Oleh Ben Senang Galus
Pengamat pendidikan, tinggal di Yogyakarta
PROSES belajar dapat terjadi di mana saja sepanjang hayat. Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi. Sekolah merupakan tempat kebudayaan, karena pada dasarnya proses belajar merupakan proses pembudayaan (baca: budaya Papua).
Dalam hal ini, proses pembudayaan di sekolah adalah untuk pencapaian akademik siswa, untuk membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan dan tradisi yang ada dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa.
Pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal atau proses akulturasi. Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi budaya dan adopsi budaya, tetapi juga perubahan budaya.
Aneka perubahan
Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya aneka perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya, transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya, sehingga pada akhirnya menjadi bangsa yang berbudaya, bangsa beradab.
Dalam kaitan dengan pendidikan, daya upaya memajukan anak bangsa Papua hendaknya berlandaskan garis hidup bangsanya atau berdasarkan kebudayaan bangsanya dan ditujukan untuk mengangkat derajat serta memerdekakan manusia Papua sebagai anggota sebuah persatuan bangsa Papua.
Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah berdiri sendiri (zelfstandig), tidak bergantung kepada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfsbeschikking). Lebih jauh, dalam hidup merdeka tersebut, sangat ditekankan pentingnya harmoni yaitu suatu keadaan persatuan seluruh bangsa Papua yang selaras.
Untuk mencapai ini, masing-masing anggota persatuan atau institusi formal maupun informal harus ingat bahwa ia hidup bersama-sama dengan orang lain yang juga berhak menuntut kemerdekaannya. Oleh karena itu, golongan yang berbeda harus mengatasi perbedaan tersebut dan mementingkan peri kehidupan bersama demi masa depan bangsa Papua yang berdaulat.
Selain itu, pengajaran yang diberikan kepada anak didik tidak bersifat paksaan bahkan perilaku memimpin kadang tidak perlu dilakukan atau ditirukan. Sebagai gantinya, para pendidik, entah orang tua, sekolah atau lembaga adat sekalipun, harus mencontohkan kepada anak hal yang baik dan hal yang buruk.
Demikian pula orang tua atau para tetua adat hendaknya menjaga dan melindungi kehidupan anak. Para guru seharusnya tidak mengajarkan pengetahuan mengenai dunia secara dogmatik.
Sebaliknya, mereka hanya berada di belakang anak didik sambil memberi dorongan untuk maju, secara halus mengarahkan ke jalan yang benar, dan mengawasi kalau-kalau anak didik menghadapi bahaya atau rintangan. Anak didik harus memiliki kebebasan untuk maju menurut karakter masing-masing dan untuk mengasah hati nuraninya.
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik, hedonistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktik pendidikan yang berkiblat ke negara asing.
Dengan kata lain, praktik pendidikan yang kita laksanakan di Papua tidak atau kurang cocok dengan budaya asing. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktik pendidikan yang berwajah Papua atau berwajah kepapuaan.
Institusi pendidikan
Sekolah atau lembaga apa pun, termasuk lembaga adat honai di samping mempunyai tugas untuk mempersatukan budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestarikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan anak didik dan bangsa Papua ke depan.
Fungsi sekolah atau institusi yang terlibat dalam mendinamisasikan perkembangan anak didik Papua berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi yang dilakukan.
Pertama, sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat Papua dari masyarakat seluruh daerah Papua. Kedua, sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa Papua dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beragam demi kepentingan masa depan Papua.
Untuk memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai kepapuan, dan hendaknya kebijakan ini melibatkan seluruh masyarakat Papua, termasuk masyarakat Papua diaspora.
Oleh karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu menjadi yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya Papua.
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang “moral Ninomiya Kinjiro” merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktik pendidikan untuk mengembangkan etos kerja.
Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeli alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol.
Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya Papua yang bisa dimanfaatkan dalam praktik pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.
Agenda ke depan
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Papua mandeg. Kenapa mandeg? Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah kepapuan harus disertai dengan peningkatan kualitas penelitian pendidikan.
Pertama, agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah kepapuan bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya Papua (local genius termasuk locus loci) yang memiliki nilai positif bagi praktik pendidikan Papua.
Misalnya, nilai honai, kerja keras, tanggung jawab, kejujuran, kesantunan, dan sebagainya adalah nilai yang mendukung keadilan sosial masa depan Papua. Tanpa mempertahankan nilai-nilai tersebut generasi muda Papua ke depan akan mengalami krisis kebudayaan.
Kedua, agenda penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah atau lembaga nonformal lainnya.
Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik?
Ketiga, agenda penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah hidup dan humanisme Papua. Misalnya, konsep “bangsa yang cerdas”. Apa maknanya bangsa yang cerdas?
Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?
Keempat, agenda penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah (dalam keluarga dan di masyarakat). Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.
Kelima, agenda penelitian yang memusatkan pada local genius. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara local genius dengan mutu kehidupan anak? Keenam, agenda penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang.
Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada Papua umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut?
Ketujuh, agenda penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan, baik di desa maupun di kota. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah, televisi, handphone (medsos), sekolah dengan surat kabar atau radio, dan seterusnya.