Oleh Sepi Wanimbo
Wakil Ketua Umum Ikatan Pengusaha Milenial Indonesia (IPMI) Papua Pegunungan
PENDIDIKAN adalah senjata tercanggih di muka bumi. Ketika kemajuan pendidikan baik, pembangunan akan lebih pesat di berbagai sektor. Pendidikan berkualitas dimulai dari honai.
Honai adalah rumah tradisional khas tanah Papua adat milik beberapa suku besar di wilayah pegunungan Papua seperti Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Tolikara, Nduga, Puncak Jaya, Puncak, Mamberamo Tengah, dan Yalimo.
Dalam pemahaman masyarakat tanah Papua, honai juga merupakan sebuah organisasi yang diberikan, didirikan, dibangun oleh Tuhan sendiri. Di dalam honai bukan sekadar terbangun relasi, ikatan yang kuat, kokoh antaranya kepala keluarga disebut laki-laki/suami, istri dan anak-anak. Namun, terjalin pula relasi dengan sanak saudara dan kerabat lainnya yang hidup harmonis antara sesama keluarga besar dalam honai.
Dalam organisasi kecil ini biasanya ada pemimpin yang selalu mengatur, mengurus. Pemimpin itu adalah kepala keluarga yang sangat setia, jujur, polos, transparansi mengatur istri, anak, saudara, kerabat, sahabat, sekeluarga dalam honai.
Oleh sebab itu, semua orang yang tinggal dalam honai terikat dalam relasi hidup yang harmonis, sehat, dan berbahagia dalam rumah maupun dalam persekutuan pelayanan satu sama lain sesuai profesinya masing-masing.
Tentu dalam honai laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai mama menjadi contoh yang baik, menjadi teladan yang baik lalu dengan setia, fokus, rendah hati mendidik anggota keluarga dalam terang Firman Tuhan.
Kemudian, setia menasihati, mendorong, memotivasi, dan melayani penuh kasih sayang kepada anak-anak, sahabat, kerabat se-honai agar terbentuk sebagai generasi emas berkarakter, mempunyai kualitas ilmu yang tinggi.
Kesadaran tentang arti penting pendidikan, peran ayah dan ibu dalam honai juga menjadi praksis dalam realitas kehidupan sehari-hari. Ayah dan ibu membiasakan diri mengantar anak ke gereja mengikuti ibadah, sekolah minggu, ibadah keluarga, dan lain-lain.
Tidak hanya itu. Setiap hari ayah dan ibu sebelum melakukan aktivitas hariannya terlebih dahulu mengantar anak ke sekolah dan menjemputnya setelah pelajaran berakhir. Dengan demikian, anak-anak mendapat perhatian sehingga terus berpacu dalam belajar sehingga semakin berkualitas.
Zaman dahulu beda dengan sekarang. Kini, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju dan modern. Berbagai peristiwa yang terjadi di belahan bumi lain akan diketahui anak-anak di tanah Papua. Sebaliknya, apa yang terjadi di tanah Papua dengan mudah diketahui dalam hitungan detik.
Artinya zaman sekarang bukan lagi membuat kita tinggal kegelapan tetapi kita sudah ada di era keterbukaan informasi yang masif. Karena itu, kini banyak generasi emas Papua jadi korban pergaulan. Kemajuan informasi dan teknologi tak jarang membawa generasi muda dalam jebakan negatif seperti mengkonsumsi narkoba, minuman keras (miras), seks bebas, dan lain-lain.
Saat ini generasi muda sedang mengkonsumsi narkoba dan terjebak penyakit sosial lainnya. Ujungnya, membuat mereka jadi pribadi yang malas belajar, malas membantu orangtua, malas ke gereja, malas ke sekolah atau kampus. Kondisi ini bukan membuat mereka semakin maju dalam bidang pendidikan, malah sebaliknya yaitu mengalami kemunduran sangat jauh.
Virus penyakit sosial ini benar-benar mematikan manusia Papua. Oleh karena itu saat ini tak ada pilihan lain selain meninggalkan kebiasaan buruk seperti di atas kemudian mendekatkan diri kepada Tuhan agar hidup semakin diperbaharui oleh Tuhan.
Ketika kita menjauhi dari hal-hal buruk, meninggalkan kebiasaan yang kurang baik lalu mendekatkan diri dengan Tuhan, bergaul dengan orang memiliki kemampuan kualitas ilmunya tinggi, orang-orang yang rendah hati, di situlah kita akan tumbuh dan berkembang semakin dewasa di tengah kehidupan sosial.
Maka saat ini orang asli Papua jangan menutup matamu, satukan hati, bangkitlah dari honai untuk menyelamatkan identitas, bangsa, bahasa, budaya, dan menyatukan visi menentukan masa depan dari sekarang, bukan besok.
Letakkan pena kecil di atas kertas putih melalui catatan, goresan sehingga pena kecil itu akan hidup selamanya. Semoga catatan kecil ini menyadarkan kita semua lalu membuka mata hati rohani untuk menentukan masa depan gereja dan bangsa Papua.