JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Kasus Elias Ramos Petege dengan Michella Putri (nama rekaan), gadis pilihannya, seorang wanita Muslim kian hangat. Petege, pria lajang asal Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua, mengalami kesulitan menikahi Michella karena terhambat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ramos akhirnya mengajukan judicial review atau uji materiil terhadap Undang-Undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dan kasus tersebut kian menghangat dalam sidang yang masih berlangsung hingga saat ini.
Menurut psikolog Dr Risa Permanadeli, pernikahan beda agama tidak bisa dihindari di negara majemuk dan heterogen seperti di Indonesia. Oleh sebab itu, Risa menilai sudah saatnya negara membuka peluang untuk membolehkan pernikahan beda agama.
“Artinya setiap warga negara, setiap orang dalam perjalanan menempuh kehidupan di negara ini akan selalu memiliki kemungkinan dan peluang untuk bertemu dengan orang lain yang berbeda,” kata Ramos mengutip Risa melalui keterangan tertulis dari Jayapura Minggu (3/7).
Menurut Risa, perbedaan tersebut baik terkait suku, bahasa, tradisi, kepercayaan, agama atau mungkin hal yang sangat sepele. Hal sepele itu misalnya soal selera apalagi dengan kehidupan modern di mana semua elemen bertemu seperti arus globalisasi.
“Saya mengajukan judicial review karena negara dalam hal ini pemerintah tidak menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara dalam kebebasan untuk memilih agama, kebebasan memilih dan menentukan pasangan hidupnya, hak atas membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah,” ujar Ramos Petege kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta Senin (7/2).
Menurut Ramos, pemerintah melalui UU itu tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai perkawinan beda agama sesuai Pasal 2 UU tersebut sehingga pada implementasinya mengalami tantangan atau penolakan atas perkawinan beda agama. Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 dan 28 UUD 1945. Aturan yang tegas itu, katanya, berpotensi mengandaskan cintanya dengan Putri, gadis berdarah Arab warga negara Indonesia, menuju bakhtera rumah tangga sebagai pasangan suami-isteri (pasutri) yang sah.
“Setelah mengajukan judicial review, saya berharap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengabulkan atau menerima gugatan saya selaku pemohon agar hak asasi kami sebagai warga negara terlindungi dan terjamin, terutama hak memiliki pasangan berbeda agama yang sudah saling mengasihi dan mencintai satu sama lain sehingga hak-hak kami sebagai warga negara dilindungi negara,” kata Ramos lebih lanjut.
Menurut Ramos, gugatan ini bukan untuk dirinya sebagai pribadi selaku warga negara tetapi agar semua warga negara yang cintanya kandas berlabuh di hati gadis pilihannya gara-gara beda agama.
Pihaknya berharap agar para hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara ini secara adil berdasarkan konstitusi, dan bukan berdasarkan kitab suci agama tertentu. “Cinta tak bisa ditentukan oleh iman, tetapi pilihan atas kehendak bebas sesuai hati nurani dan dijamin UU,” tandas Ramos.
Alasannya, perkawinan dengan wanita pilihannya merujuk juga pada arti dan esensi perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
“Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional,” kata Ramos menambahkan.
Risa meminta MK mengabulkan permohonan pemohon dengan membolehkan pernikahan beda agama. Hal ini untuk melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara yang hidup yang harus hidup di dalam perbedaan untuk satu tujuan bersama menjadi Indonesia.
Menurut Ramos gugatan dilayangkan setelah niatnya menikahi kekasihnya seorang penganut Muslim kandas karena terhambat UU Perkawinan.
“Setelah menjalin hubungan selama tiga tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda,” kata Ramos dalam permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Perkara kasus ini masih diadili dan proses persidangan masih berlangsung. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)