Oleh Alpius Uropmabin
Wakil Sekjen PMKRI Cabang Jayapura Periode 2022-2023
TAHUN 2024 Provinsi Papua dan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, baik gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati maupun walikota-wakil walikota. Puncak pemungutan suara pilkada serentak 2024 akan berlangsung pada Rabu, 27 November pekan depan.
Pilkada serentak kali ini merupakan momen strategis rekrutmen pemimpin dan proses pelembagaan demokrasi dalam sejarah politik tanah air, termasuk tanah Papua setelah mendulang sukses sebelumnya pada pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Legislatif (Pileg), baik DPR RI, DPD RI maupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Enam provinsi di tanah Papua juga akan melaksanakan pilkada serentak tahun ini. Tentu pula menjadi sejarah baru mengingat pilkada gubernur-wakil gubernur menyertakan empat provinsi daerah otonom baru (DOB) hasil pemekaran dari induknya masing-masing. Misalnya, Provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan dari induknya, Papua serta Papua Barat Daya dari Papua Barat.
Catatan ini fokus pada Papua, provinsi ‘induk semang’ provinsi lainnya setelah ‘cerai’ menjadi daerah otonom. Salah satu tujuan catatan ini yaitu memberikan pemahaman politik kepada pemilih, termasuk pemilih muda atau pemilih pemula.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua selaku penyelenggara pilkada beberapa waktu sebelumnya menetapkan rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) pilkada 2024 sebanyak 750.959 pemilih. Dari 750.959 pemilih, 60 persen adalah pemilih muda dengan usia 17 sampai 26 tahun (papua.antaranews.com, 18 Oktober 2024).
Mayoritas pemilih dari kalangan berusia muda atau pemilih pemula, tentu termasuk kelompok yang menjadi sasaran kampanye politik guna mendulang efek elektoral.
Anak muda, terutama yang baru akan mengikuti Pemilu pertama kali umumnya belum memiliki afiliasi dengan partai politik maupun pasangan calon (paslon) tertentu sehingga akan menarik simpati paslon maupun tim pemenangan mendukung kemenangan paslon tersebut.
Di sisi lain, pemilih pemula layak jadi target strategis untuk pendidikan politik. Mereka perlu diarahkan untuk berpartisipasi di Pemilu sebagai pemilih cerdas. Dalam konteks penggunaan hak politik menjadi pemilih rasional dan kritis adalah peran pemilih pemula yang paling diharapkan.
Sehingga untuk dapat mencapai tujuan tersebut, Pemilu harus didukung dan dikawal oleh semua elemen untuk dapat memastikan Pemilu berjalan umum, bebas, rahasia jujur dan adil.
Politik uang
Salah satu isu yang terus menghantui integritas dalam pelaksanaan momen demokrasi di Papua adalah politik uang (money politics). Literasi politik bagi pemilih muda menjadi kewajiban bahkan keharusan guna memberikan edukasi politik agar pemilih segmen ini semakin cerdas memilih pemimpinnya.
Di saat bersamaan secara tidak langsung pemilih pemula ikut bergandengan tangan merawat proses demokrasi, khususnya rekrutmen pemimpin di daerahnya masing-masing lima tahun ke depan. Politik uang suka atau tidak suka adalah musuh demokrasi dan monster pembunuh demokrasi paling nyata dalam rekrutmen pemimpin politik.
Politik uang mengubah arena politik menjadi pasar transaksi antara kepentingan pribadi dan kelompok di sisi lain kepentingan publik di sisi lain. Politik uang kerap menjadi taruhan kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politik pragmatis.
Pada gilirannya, menjebak demokrasi dalam lorong gelap kekuasaan. Dalam konteks ini, kepentingan publik kerap terabaikan dan kebijakan yang dihasilkan cenderung mendukung pihak tertentu yang memiliki kuasa, terutama topangan finansial.
Praktik politik uang di Papua sering mencuat dalam frasa klasik tong coblos dia, soalnya dia kasih uang rokok dan banyak diksi lain yang gunakan saat berdiskusi dengan masyarakat di tingkat kampung atau desa (grassroot) untuk mengubah orientasi pilihan politiknya agar mereka pilih siapa yang memberi mereka uang atau bama.
Untuk mengatasi potensi terjadinya potensi munculnya praktik politik uang di kalangan pemilih pemula memerlukan partisipasi masyarakat mengedukasi kelompok ini menentukan pilihan politik mendapatkan pemimpin.
Mengapa? Sekali lagi, jumlah pemilih pemula berusia 17 hingga 26 tahun pada pilkada kali ini menyentuh angka 60 persen. Angka yang —sekali lagi— tentu punya efek elektoral.
Untuk mendorong kelompok pemula menjadi pemilih rasional atau kritis, dibutuhkan proses pemberian edukasi dan literasi politik. Tak sebatas itu, pemilih pemula juga diingatkan berani menyaring berita-berita akurat dan menolak hoaks karena hal itu akan benih buruk tumbuhnya demokrasi di tengah masyarakat.
Peduli masa depan
Pemungutan suara yang akan berlangsung 27 November adalah peluang emas bagi warga Papua, terutama kaum muda selaku pemilih milenial. Mereka perlu menunjukkan kepedulian sebagai pemilih cerdas demi masa depan daerah yang lebih baik.
Karena itu, tak ada pilihan lain bagi pemilih muda atau milenial sebagai kelompok sosial yang cerdas untuk berani mengatakan tidak untuk politik uang. Kesadaran ini berangkat dari cara pandang di mana saat uang menjadi faktor dominan dalam politik praktis pilkada, cita-cita meraih kebaikan umum (bonum commune) menjauh.
Politik uang juga pemicu korupsi dan praktik politik beradab. Para politisi yang mencari pendanaan besar-besaran kerap terjebak dalam jaringan korupsi. Mereka, politisi, menawarkan konsesi yang tidak bermanfaat bagi kepentingan publik hanya untuk mendulang topangan finansial. Pola ini sungguh merusak nilai demokrasi masyarakat Papua.
Politik uang sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi di Papua. Politik uang melahirkan pemimpin yang hanya berpikir pragmatis dan peduli terhadap kelompok atau golongannya. Di saat bersamaan, mereka, pemimpin segera dikendalikan pemodal lalu abai memajukan masyarakat dan daerahnya.
Paling kurang ada beberapa langkah mencegah potensi bahkan praktik politik uang di pilkada Papua 2024. Pertama, mendorong pemilih pemula menjadi pemilih rasional dan kritis. Literasi politik menjadi kebutuhan bagi pemilih pemula.
Kedua, mendorong partisipasi aktif pemilih pemula untuk menggunakan hak politik dengan penuh tanggung jawab sebagai bagian proses peralihan kepemimpinan baru di pilkada Papua kali ini.
Ketiga, suara pemilih pemula sangat penting pada pilkada Papua 2024 sehingga mereka didorong terus untuk menggunakan hak pilihnya di bilik suara pada 27 November mendatang. Dengan itu, ia juga bersama pemilih lainnya memiliki ruang menciptakan perubahan yang lebih baik di Papua.
Keempat, dengan kampanye menolak politik uang atau penyebaran informasi hoaks, misalnya, kualitas demokrasi bermuara. Ada pemahaman utuh bahwa politik uang merusak demokrasi di Papua.
Upaya menciptakan demokrasi yang bersih, jujur, adil, berwibawa, bermartabat dan harmonis lalu terwujud keadilan dan perdamaian serta persatuan adalah tugas masyarakat Papua dan seluruh elemen di provinsi itu. Hal yang tentu sangat diimpikan dan dirindukan pada pilkada Papua 2024.