Papua di Antara Dua Nasionalisme - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Papua di Antara Dua Nasionalisme

Yakobus Dumupa, Mahasiswa Program Doktor Antropologi, Universitas Cenderawasih, Jayapura. Foto: Istimewa

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Mahasiswa Program Doktor Antropologi, Universitas Cenderawasih, Jayapura)

PAPUA menyimpan kompleksitas sosial-politik yang hingga kini belum terselesaikan. Salah satu persoalan paling mendasar yang membentuk dinamika di wilayah ini adalah keberadaan dua arus nasionalisme yang saling berhadapan: nasionalisme Papua yang memperjuangkan kemerdekaan, dan nasionalisme Indonesia yang hidup dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua arus ini bukan sekadar konsep politik, tetapi merupakan kenyataan sosial yang hidup dalam relung-relung masyarakat Papua, menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, keputusan hidup, dan arah perjuangan mereka.

Nasionalisme Papua: Dari Luka Menjadi Perlawanan

Nasionalisme Papua tumbuh dari sejarah panjang yang sarat luka dan rasa ketidakadilan. Proses integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 masih menyisakan trauma dan kontroversi. Banyak orang asli Papua merasa bahwa keputusan itu tidak mencerminkan kehendak rakyat secara bebas. Sejak saat itu, berbagai pengalaman kekerasan negara, diskriminasi rasial, eksploitasi tanah adat, dan marginalisasi budaya melahirkan perlawanan yang terorganisir dalam semangat nasionalisme Papua.

Bagi mereka yang meyakini jalan ini, perjuangan kemerdekaan bukan sekadar soal politik atau pemisahan diri, melainkan soal martabat dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Bendera Bintang Kejora, lagu “Hai Tanahku Papua”, serta sosok-sosok seperti Theys Hiyo Eluay dan Filep Karma menjadi simbol perlawanan dan identitas. Nasionalisme Papua adalah cermin dari kerinduan akan tanah yang damai, adil, dan dipimpin oleh anak-anaknya sendiri.

Nasionalisme Indonesia: Membangun dari Dalam

Di sisi lain, tidak sedikit pula orang Papua yang memilih untuk hidup dan berjuang dalam kerangka Indonesia. Mereka meyakini bahwa kemajuan dan perubahan bisa diperjuangkan dari dalam sistem negara, melalui pendidikan, birokrasi, politik, dan ekonomi. Banyak anak muda Papua yang menempuh pendidikan tinggi, menjadi guru, tenaga medis, ASN, bahkan wakil rakyat—berusaha menunjukkan bahwa orang Papua juga mampu menjadi pemimpin dan pembaharu di negerinya sendiri.

Bagi mereka, nasionalisme Indonesia bukan bentuk penyerahan, melainkan strategi untuk bertahan dan berkembang di tengah realitas yang ada. Mereka berharap agar negara hadir secara adil dan setara, tidak lagi melihat Papua sebagai “daerah pinggiran”, tetapi sebagai bagian yang setara dari Indonesia. Namun, perjuangan ini tidak tanpa tantangan. Di satu sisi, mereka bisa dicurigai oleh kelompok pro-kemerdekaan sebagai “antek Jakarta”, dan di sisi lain, mereka masih menghadapi diskriminasi sistemik dan keterbatasan akses pembangunan dari negara.

Realitas yang Tidak Bisa Disangkal

Dua arus nasionalisme ini hidup berdampingan di Papua, membentuk keseharian masyarakat. Seringkali keduanya berada dalam satu rumah, satu komunitas, bahkan satu individu. Ada keluarga di mana satu anak menjadi aktivis kemerdekaan, sementara yang lain menjadi ASN. Ada pemuda yang memproklamirkan Bintang Kejora, tapi keesokan harinya berdiri tegak dalam upacara 17 Agustus.

Ini adalah realitas sosial yang kompleks, tidak bisa disederhanakan dalam narasi hitam-putih. Papua bukan hanya soal separatisme atau loyalitas negara. Papua adalah soal bagaimana negara hadir secara adil, dan bagaimana rakyat Papua dihargai sebagai manusia seutuhnya. Ketimpangan pembangunan, luka sejarah, dan ketiadaan ruang dialog membuat ketegangan dua nasionalisme ini terus hidup—dan belum ada upaya sungguh-sungguh untuk menjembataninya secara bermartabat.

Menemukan Ruang Baru untuk Papua

Sudah waktunya negara berhenti memaksakan satu narasi tunggal bagi Papua. Nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia adalah dua realitas yang sama-sama hidup dan sama-sama sah dalam konteks demokrasi. Yang dibutuhkan saat ini adalah pendekatan baru yang bertumpu pada pengakuan identitas, penghormatan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua, dan pembukaan ruang untuk menentukan masa depan secara adil dan terbuka.

Solusi terbaik untuk menjembatani dua arus ini adalah dialog yang jujur dan bermartabat, bukan yang penuh formalitas dan tekanan. Dialog ini harus difasilitasi oleh pihak netral yang dipercaya oleh semua pihak, baik dari dalam negeri maupun internasional. Pihak netral ini dapat berasal dari tokoh agama, akademisi independen, atau lembaga-lembaga internasional yang memiliki komitmen terhadap perdamaian dan keadilan. Dialog harus melibatkan semua unsur: kelompok pro-kemerdekaan, tokoh adat, pemimpin gereja, perempuan, pemuda, dan mereka yang memilih jalan Indonesia. Tidak boleh ada suara yang dihilangkan.

Tujuan dialog ini bukan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan menciptakan kesepakatan kolektif tentang masa depan Papua—sebuah masa depan yang damai, setara, dan bermartabat.

Jalan Damai Harus Dimulai dengan Pengakuan

Papua di antara dua nasionalisme adalah cermin dari kegagalan negara melihat rakyatnya sebagai subjek yang setara. Tetapi ini juga merupakan peluang untuk memulai sesuatu yang lebih baik. Jika Indonesia ingin benar-benar menjadi rumah besar yang adil bagi semua, maka Papua harus diberi ruang untuk berbicara, untuk didengar, dan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Damai yang sejati hanya akan lahir dari pengakuan, bukan paksaan. Dari keadilan, bukan kekuasaan. Dan dari dialog, bukan kekerasan. Papua tidak butuh lagi janji kosong—Papua butuh kehadiran negara yang benar-benar melihat, mendengar, dan menghormati.

Tinggalkan Komentar Anda :