JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan mengambil langkah hukum atas vonis bebas Bupati Mimika nonaktif Dr Eltinus Omaleng, SE, MH dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (17/7). Langkah hukum komisi antirasuah dimaksud adalah kasasi.
“Bila KPK mengambil langkah hukum kasasi, Pak Eltinus belum bisa menghirup udara bebas, belum bisa dikeluarkan dari tahanan. Terhadap apakah seorang terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan seusai hakim mengucapkan putusan bebas atau lepas selalu melahirkan polemik atau masih terjadi perbedaan pendapat,” ujar praktisi hukum nasional Dr Edi Hardum, SIP, SH, MH kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Rabu (19/7).
Pendapat pertama menyatakan, sesaat setelah hakim mengucapkan putusan terdakwa dinyatakan bebas atau lepas semua tuntutan jaksa, jaksa penuntut umum segera mengeluarkannya dari tahanan serta semua barang bukti dikembalikan kepada yang berhak dalam hal ini terdakwa.
Dasar hukum pendapat ini adalah Pasal 192 Ayat 1 KUHAP yang menegaskan, perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat 3 segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan.
Pendapat kedua dan yang sering dilaksanakan dalam praktik hukum pidana dan yang sering dilaksanakan jaksa yaitu jaksa hanya mengeksekusi putusan yang berkuatan hukum tetap. Karena itu, bila ada putusan hakim yang membebaskan atau melepaskan terdakwa seperti yang dialami Omaleng maka putusan hakim itu belum berkekuatan hukum tetap.
“Pendapat inilah yang membuat Pak Eltinus belum bisa menghirup udara bebas. Jaksa Indonesia selalu memakai alasan bahwa putusan yang bisa dieksekusi hanya putusan yang berkuatan hukum tetap,” ujar Edi, doktor Ilmu Hukum jebolan Universitas Trisakti, Jakarta.
Edi menambahkan, untuk putusan bebas dan lepas sebenarnya dalam KUHAP diatur tidak bisa ada upaya hukum lagi oleh jaksa. Berdasarkan dua ketentuan dalam KUHAP ditegaskan sebagai berikut.
Pertama, Pasal 67 KUHAP menyatakan, terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Kedua, Pasal 244 KUHAP menegaskan terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung (MA), terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada MA, kecuali terhadap putusan bebas.
Namun dalam perkembangan selanjutnya dalam praktik hukum terhadap putusan bebas atau lepas, jaksa mengajukan kasasi. Dasar hukumnya, ujar Edi sebagai berikut.
Pertama, Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang membuka cela hukum untuk menyimpang dari dua ketentuan KUHAP tersebut di atas yang menyatakan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, di mana dinyatakan bahwa MA adalah pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya.
Sebagai pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan tersebut, kata Edi, menjadi mutlak bahwa MA memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan dari keempat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya.
“Jadi KPK mengajukan kasasi atas vonis bebas Bupati Mimika nonaktif Pak Eltinus tidaklah berlebihan. Selain itu, KPK tetap menahan Pak Eltinus tidak salah secara hukum karena putusan hakim belum berkekuatan hukum tetap atasnya,” lanjut Edi, magister hukum lulusan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Selain itu, alasan yang masuk di akal yaitu bila majelis kasasi mengabulkan kasasi jaksa maka sangat sulit jaksa untuk mengeksekusi Omaleng. “Memang dari perspektif HAM praktik hukum seperti ini sungguh melanggar HAM dari Pak Eltinus. Ya, mau gimana lagi, itulah praktik hukum Indonesia,” ujar Edi lebih jauh.
Sebelumnya, media ini memberitakan, Omaleng dinyatakan dilepas dari dakwaan terlibat korupsi sebagaimana dakwaan KPK dalam sidang putusan perkara yang berlangsung di PM Makassar, Senin (17/7).
“Hari ini (Kamis, 17/7) setelah sidang berlangsung marathon kurang lebih enam bulan, majelis hakim membacakan keputusannya membebaskan Pak Eltinus Omaleng,” ujar Dr Ahmad Yani, SH, MH, kuasa hukum Omaleng saat dihubungi Odiyaiwuu.com di Makassar, Senin (17/7) malam.
Menurut Yani, selama persidangan berlangsung, jaksa yang menghadirkan saksi dan bukti tak satupun membuktikan Eltinus melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, tak ada satu pun saksi dan bukti mengarah kepada Eltinus Omaleng, doktor Ilmu Hukum Program Doktor Ilmu Hukum jebolan Universitas Trisakti, Jakarta, melakukan tindak pidana korupsi.
“Karena itu hakim memutus bebas, onslag kemudian memulihkan harkat dan martabatnya. Tetapi putusan ini harus kita pahami bukan sekadar kemenangan Pak Eltinus. Putusan ini sekaligus mengembalikan trust, kepercayaan rakyat Papua khususnya rakyat Mimika terutama suku-suku yang ada di Papua terhadap sistem hukum dan peradilan di Indonesia masih ada,” ujar Yani.
Putusan tersebut, lanjut Yani, menunjukkan bahwa putusan apapun dalam persidangan merupakan hal biasa karena putusan terhadap seseorang itu ada yang dinyatakan bersalah, tidak bersalah atau dilepaskan. Karena itu, dalam kasus Omaleng, apa yang didakwakan oleh KPK terhadap Eltinus Omaleng terbukti beliau tidak bersalah.
“Pihak yang menyatakan Pak Eltinus tidak terbukti bersalah bukan pendapat atau pandangan kuasa hukum atau majelis hakim tetapi fakta-fakta persidangan yang menyatakan seperti itu,” katanya.
Yani mengatakan, dalam putusan tersebut tidak ada dissenting opinion di antara ketiga majelis hakim. Ketiga majelis hakim bersepakat bahwa tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan Omaleng dalam tindak pidana korupsi sebagaimana tuntutan dan dakwaan jaksa penuntut umum.
Keputusan bebas tersebut, ujar Yani, juga bukan sekadar kepentingan Eltinus tetapi kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, keputusan tersebut memastikan bahwa rakyat Papua masih percaya kepada sistem hukum. Bahwa sistem hukum Indonesia masih bisa berlaku adil dan berbuat adil.
“Jadi, kalau selama ini menaruh kepercayaan kepada Pak Eltinus Omaleng dengan memilih beliau sebagai bupati dan trust itu sempat hilang, nah sekarang pulih kembali. Mudah-mudahan putusan bebas ini merekatkan kembalii karena gereja yang dibangun Pak Eltinus Omaleng itu misinya mulia sekali. Bukan sekadar beribadah tapi dalam rangka merekatkan masyarakat Mimika sendiri,” kata Yani.
Putusan tersebut, ujar Yani, juga merupakan kado HUT ke-78 RI sekaligus koreksi bagi komisi antirasuah bahwa tidak selalu benar tetapi pengadilan. Bila semua selalu benar di mata KPK, kata Yani, untuk apa ada pengadilan.
“Pengadilan adalah wadah yang tepat menyatakan seseorang seseorang bersalah atau tidak. Puji Tuhan. Kita bersyukur bahwa sistem peradilan kita di Indonesia masih bagus dan tegak lurus. Yang bersalah tetap dihukum dan tidak bersalah pun tidak boleh dihukum,” kata Yani didampingi anggota kuasa hukum lainnya, Michael Himan, SH, MH. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)