Wajah Tapal Batas Negeri di Pegunungan Bintang - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Wajah Tapal Batas Negeri di Pegunungan Bintang

Peranus Taplo, SS, MM, dosen Universitas Okmin Papua; Alumnus S2 Studi Pembangunan UKSW Salatiga. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Peranus Taplo, SS, MM

Dosen Universitas Okmin Papua; Alumnus S2 Studi Pembangunan UKSW Salatiga

DAERAH tapal masyarakat Kabupaten Pegunungan Bintan, Provinsi Papua Pegunungan dengan negara tetangga, Papua Nugini merupakan beranda negeri yang menjadi sentra perhatian pemerintah kedua negara. Wilayah tapal batas yang berada di Pulau Papua itu merupakan suatu kawasan strategis. 

Tapal batas kedua negara itu memiliki peranan penting dalam upaya membangun masyarakat serta menjaga kedaulatan wilayah negara dan menjadi garda terdepan kedua negara. Tapal batas wilayah kedua negara juga menjadi sentra perhatian pemerintah.

Sentra perhatian itu terutama dalam upaya meningkatkan relasi sosial agar tetap harmonis dalam bingkai budaya Melanesia. Namun, di saat bersamaan aspek ekonomi, politik, budaya, lingkungan maupun pertahanan dan keamanan juga menjadi pekerjaan besar pemerintah kedua negara. 

Publik tentu paham bahwa tapal batas negeri merupakan tempat terjadinya interaksi sosial antara masyarakat dari berbagai kalangan seperti masyarakat lokal khususnya tanah Papua, nasional dan juga internasional. Geliat ekonomi yang dialami masyarakat wilayah perbatasan diharapkan dapat meningkatkan benefit ekonomi sekaligus merespon tekanan global saat ini.

Masyarakat Pegunungan Bintang dan Papua Nugini yang hidup di tapal batas kedua negara sangat strategis untuk mendorong perkembangan ekonomi, sosial politik dan budaya bagi masyarakat kedua wilayah negara tersebut.

Geopolitik

Saat ini, kurang lebih terdapat 92 pulau di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Daerah-daerah perbatasan tersebut merupakan wilayah strategis baik secara ekonomi maupun geopolitik. 

Masing-masing wilayah tapal batas negara itu dalam terminologi negara digolongkan sebagai daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Daerah 3T merupakan wilayah Indonesia yang memiliki kondisi geografis, sosial, ekonomi dan budaya yang kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.

Wilayahnya sangat potensial diteropong dari ketersediaan sumber daya alam (SDA). Namun, potensi melimpah itu bila kelola dan dimanfaatkan optimal bisa dapat menjadi penopang ketahanan masyarakat. 

Namun sebaliknya, bila tidak dikelola dengan baik dengan melibatkan masyarakat lokal maupun pemangku ulayat berpotensi menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan retaknya relasi sosial kemasyarakatan (bdk. Pulau Sebatik: Pulau Dua Negara yang Terpinggir di Malaysia (2018). 

Secara umum perbatasan dijelaskan sebagai sebuah garis demografi yang memisahkan wilayah kekuasaan antara dua daerah dan mengikat secara konstitusional berdasarkan hasil kesepakatan. Menurut ahli geografi politik Hadiwijoyo (2012) pengertian perbatasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu boundaries dan frontier.

Boundary karena fungsinya mengikat atau membatasi suatu unit politik. Semua yang berada di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan wilayah hukum saling terintegrasi yang satu dengan yang lainnya.  Frontier karena berada di zona paling depan dan ada juga di bagian belakang atau hinterland

Merujuk Kamus Bahasa Indonesia (KBBI). arti kata perbatasan adalah batas. Arti lain perbatasan adalah daerah atau jalur pemisah antara unit-unit politik (negara). Dari penjelasan KBBI dapat dijelaskan bahwa perbatasan memiliki peranan penting dalam menentukan kepentingan politik suatu negara. 

Etnisitas dan kebangsaan, yang secara politik maupun kultural biasanya melibatkan dua negara yang berbeda. Misalnya, Indonesia dan beberapa negara yang berbatasan langsung melalui laut maupun darat. Dalam konteks politik (nation-state) komunitas perbatasan merupakan bagian dari warga negara dengan identitas politik atau kebangsaan yang dianggap sudah sah. 

Identitas tersebut membedah dan memisahkannya dengan negara lain. Sedangkan secara budaya (culture), terbentuknya negara-bangsa tidak memisahkan batas kultural yang secara historis telah hadir sebelum batas politik terbentuk.

Pegunungan Bintang

Pegunungan Bintang adalah kabupaten di Provinsi Papua sebelum dimekarkan tahun 2002. Saat ini Pegunungan Bintang menjadi wilayah administrasi Provinsi Pegunungan Papua. Luas wilayahnya mencapai 115.683 km, memiliki 34 distrik (kecamatan) dan 277 desa. Kabupaten itu berada di wilayah tapal batas Papua dan Papua Nugini. 

Pegunungan Bintang berada di poros Pulau Papua, berbatasan langsung dengan beberapa wilayah di Papua dan Papua Nugini. Sebelah utara perbatasan dengan Kabupaten Keerom dan Jayapura, sebelah selatan dengan Kabupaten Boven Digoel, sebelah barat Yahukimo, dan sebelah timur berbatasan langsung dengan Papua Nugini. 

Pegunungan Bintang sangat dekat dan berbatasan wilayah darat dengan Papua Nugini terutama di Tabubil Western Province dan Telefomin Sandaun Province. Letak yang begitu dekat, sebelum Pegunungan Bintang dimekarkan masyarakatnya sudah berinteraksi dengan masyarakat Papua Nugini sejak 1980 hingga 2000-an.

Relasi sosial dan ekonomi warga kedua negara itu terutama dialami masyarakat Distrik Okbibab, Kiwirok, Oklip, Okyop, Wara Samol, Oksibil, Pepera, Batom, Iwur dan Tarup. Beberapa distrik tersebut berbatasan langsung dengan Western Province terutama Tumolbil, Tabubil, Televomin, dan sekitarnya.

Masyarakat Pegunungan Bintang sudah lama berinteraksi dengan orang Papua Nugini di tapal batas. Pendorong utama masyarakat Pegunungan Bintang adalah rasa ingin tahu akan produk kerajinannya seperti parang, kampak, radio, dan pakaian termasuk aspek bahasa Papua Nugini. 

Di era 1980 an-2000an, masyarakat Pegunungan Bintang yang berada di wilayah perbatasan sudah sampai ke Papua Nugini, tepatnya di Tabubil Western Province. Masyarakat yang bepergian ke Tabubil selain mencari pekerjaan, juga untuk mendulang emas. Tabubil merupakan salah satu kota pertambagan terbesar di Papua Nugini yaitu Ok Tedi Mining. Sepulang dari Papua Nugini, mereka membeli  parang, kampak, radio, kaset, tas dan pakaian merk Papua Nugini. 

Selain itu, mereka juga dapat menguasai bahasa Papua Nugini yaitu Tok Pidgin. Tok Pidgin merupakan bahasa sehari-hari yang mempersatukan orang Papua Nugini. Dengan bahasa tersebut orang Papua Nugini dapat melaksanakan setiap aktivitas. Begitu pula dengan masyarakat Pegunungan Bintang di perbatasan, mereka dapat dengan muda bangun relasi baik dengan orang dari Papua Nugini karena bisa berbahasa Pidgin. 

Bagi orang Pegunungan Bintang pada masa itu hingga sekarang Parang dan Kampak merupakan kebutuhan yang sangat urgen. Dengan dua alat itu masyarakat dapat beraktivitas seperti berkebun, membangun rumah serta aktivitas lainnya.

Secara kultur, orang Pegunungan Bintang dan orang Papua Nugini yang mendiami wilayah Distrik Telefomin, West Sepik Province dan wilayah North Flay, Western Province merupakan keluarga Okmin (okmin family). 

Jadi, suku bangsa Ok di Indonesia (Pegunungan Bintang) dan beberapa wilayah di Yahukimo bagian timur seperti Distrik Langda, Bomela, dan Sumtamon hingga Min Family di Tabubil Western Province dan Telefomin Sandaun Province sesungguhnya berasal dari suku bangsa Ok. 

Wilayah ini memiliki kesamaan budaya seperti rumah adat, cara mengenakan koteka, tari-tarian, bahasa hingga mata pencaharian (http://arissubagiyo.lecture.ub.ac.id/2021/05/pola-interaksi-masyarakat-perbatasan-negara-di-kabupaten-pegunungan-bintang-papua-papua-new-guinea-png/). 

Secara politik, perbatasan merupakan sumber masalah dengan wilayah yang berbatasan secara langsung, berpotensi terjadinya sengketa wilayah yang bisa dapat mengganggu keamanan bahkan mengganggu kedaulatan negara. Walaupun demikian, sejak hadirnya Pegunungan hingga hingga saat ini belum pernah ada sengketa perbatasan, gangguan keamanan, trafficking ataupun perdagangan ilegal. 

Salah satu faktor pendorongnya adalah kesamaan suku dan budaya. Keragaman tersebut menjembatani masyarakat Pegunungan Bintang dan masyarakat Papua Nugini di perbatasan membangun relasi yang baik guna mewujudkan kehidupan yang rukun dan harmonis antar warga kedua negara (https://tambahpinter.com/permasalahan-wilayah-perbatasan-indonesia-dengan-negara-lain-dan-penyelesaiannya/).

Ekonomi

Kurang lebih 10 kecamatan di perbatasan Papua Nugini yang telah disebutkan sebelumnya memiliki potensi SDA yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk mengembangkan perekonomian. Namun demikian, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Pegunungan Bintang tertinggal  yaitu  45,21. 

Dari peringkat IPM tersebut bisa dapat  dipastikan  bahwa Pegunungan Bintang sangat tertinggal dari sejumlah aspek. Hal ini bukan sekadar dilihat dari aspek sumber daya manusia (SDM) tetapi juga aksesibilitas, infrastruktur seperti jalan penghubung antara ibu kota kabupaten ke setiap distrik, termasuk sarana penunjang lainnya. 

Walaupun sarana penunjang terbatas, masyarakat Pegunungan Bintang di perbatasan memiliki modal sosial yang kuat terhadap warga Papua di perbatasan. Melalui modal sosial, masyarakat membangun relasi dengan orang Papua Nugini untuk menjual barang dagangan. 

Adapun jenis barang yang dijual adalah laptop, peluru senapan angin, benang wol, rokok dan rokok anggur Kupu kepada masyarakat Papua Nugini atau sebaliknya menjual tas, pakaian, parang, kampak serta barang bermerk Papua Nugini kepada masyarakat Pegunungan Bintang (https://pegununganbintangkab.bps.go.id/indicator/26/38/1/indeks-pembangunan-manusia.html).

Model pengembangan ekonomi yang dilakukan masyarakat Pegunungan Bintang dan orang Papua Nugini di perbatasan tergolong dalam pengembangan ekonomi lokal karena tidak ada pendapatan signifikan yang didapatkan. Selama ini nampak semua hasil bumi maupun hasil dagangan yang dijual sepenuhnya digunakan untuk konsumsi sendiri. 

Situasi ini menggambarkan bahwa ada keinginan masyarakat di wilayah perbatasan untuk mengembangkan ekonomi dari potensi sumber daya yang ada namun dibatasi oleh beberapa hal seperti modal finansial, pengetahuan, sumber daya manusia, dan infrastruktur terutama akses jalan.

Ada beberapa masukan kepada pemerintah agar mendapat perhatian. Pertama, pemerintah perlu melakukan strategi perubahan sesuai masing-masing daerah di perbatasan berdasarkan karakternya. Kedua, pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana terutama jalan untuk kelancaran pengembangan ekonomi kawasan perbatasan. 

Ketiga, faktor mendasar dari tidak berkembangnya semua sektor pembangunan adalah pengetahuan sehingga pemerintah perlu melakukan pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat di perbatasan agar masyarakat mampu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk memanfaatkan potensi yang dimilikinya. 

Tinggalkan Komentar Anda :