Oleh Fidelis Regi Waton
Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman
SEPUTAR Natal di Indonesia, belum punah kontroversi rutin mengenai apakah umat Muslim boleh mengucapkan selamat Natal kepada warga Kristiani. Di dunia Barat yang sekuler dan plural, ucapan selamat Natal mulai didepak oleh rumusan netral menjadi ”selamat pesta”, dengan dalih sebagai respek keragaman.
Gemuruh Pencerahan dan Revolusi Perancis meletihkan hegemoni pranata kekristenan. Masyarakat sipil membebaskan diri dari bayangan gereja. Arus sekularisme dan pluralisme begitu deras. Dekristianisasi tak bisa dibendung. Agama dan religiositas dicap urusan privat.
Penganut ateisme dan agnostisme terus meningkat. Banyak warga Kristen indiferen akan agamanya. Ketika agama sebatas label dan minus praktik, semakin kuat fenomena alienasi agama dan ritualnya.
Lantas mengapa Natal belum didepak dari daftar perayaan masyarakat sekuler? Apakah Natal juga bisa dimaknai tanpa Tuhan dan agama? Pertanyaan ini bukan meratapi merosotnya religiositas Natal. Ia juga tak bernafsu memisahkan yang beragama dan tak beragama. Elemen penghubung kedua praktik sosio-budaya yang paradoksal hendak dielaborasi.
Beberapa dedengkot ateisme kontemporer menegaskan, mereka tak terganggu dengan Natal, selama tak diwajibkan ke gereja. Natal tetap dirayakan bukan sebagai perayaan keagamaan, tetapi acara budaya dengan berfokuskan keluarga dan saling menghadiahkan.
Pemikir ateis dan penulis buku The God Delusion (2006), Richard Dawkins, menampilkan relasi santainya dengan Natal. Ia tak menegasi tradisi Kristiani dan tetap menyanyikan tembang Natal dengan melodi unik.
Sam Harris, ahli saraf dan pengagas The End of Faith (2004), mengakui adanya pohon Natal dengan hiasan sederhana di rumahnya. Menurut dia, pohon natal bisa akrab dengan seorang ateis. Natal dihubungkannya dengan bingkisan dan liburan keluarga sebagaimana pesta populer Thanksgiving dan Halloween.
Bagi pengikut ateis-humanis, Michael Schmidt-Salomon dari Yayasan Giordano Bruno, Natal sebagai peringatan kelahiran Isa Almasih hanyalah dongeng. Meski begitu, Natal masih dirayakannya dengan pohon natal dan kado sesuai selera anak-anak.
Natal tetap dirayakan dengan unsur khas seperti pohon dan lagu natal. Dekorasi, pernik, dan asesori natal setia menghiasi jalan, zona perbelanjaan dan etalase. Sinterklas yang dianeksasi perusahan Coca-cola berkeliaran dengan selaksa bingkisan yang menggembirakan anak-anak.
Warga sekuler dan ateis merayakan Natal tanpa Tuhan dan agama dengan prinsip ”don’t throw the baby out with the bath-water” (jangan membuang bayi keluar dengan air mandi). Aroma Natal jenis ini lebih lucu dan rileks berkat kealpaan ritual keagamaan dan pesan religius sarat makna. Yang lebih diiklankan seputar Natal adalah perayaan cinta kasih, kejutan dan hadiah.
Pariwara yang berorientasi bisnis, konsumtif, dan kapitalis berhasil mendulang mangsa.
Dengan judul realisasi kasih, begitu besar biaya diinvestasikan dalam bingkisan yang berlanggam surprise. Apa yang dihadiahkan mesti bercorak spesial sebagai pralambang kasih. Natal meningkatkan omzet penjualan. Fakta ini melahirkan anggapan Natal sebagai ajang komersial.
Di balik natalisasi bisnis tentu saja aroma kebersamaan dan harmoni hendak didemonstrasikan saat Natal. Setiap keluarga dan aneka institusi merayakan Natal bersama sebagai ekspresi semangat kekeluargaan.
Kembali ke akar
Dengan acuan pada endusan sejarah, kalangan ateis humanis dan sekuler mempredikatkan Natal sebagai festival cahaya dengan pekik kembali ke akar.
Siklus kosmos berorientasi pada posisi matahari. Secara astronomis titik balik matahari (solstitium) musim dingin terjadi jelang akhir Desember.
Malam mulai lebih pendek dan sinar mentari kian meningkat setiap hari. Kegelapan musim dingin lambat laun digeser cahaya matahari. Sebagaimana suku kuno Jerman dan Celtic, bangsa Romawi merayakan klimaks ini sebagai pesta dewa Matahari yang tak terkalahkan (sol invictus) pada 25 Desember.
Demi menarik simpati warga Romawi para penghulu Kristiani tak menerapkan strategi agresi, tetapi inkulturasi damai. Pesta klasik Romawi yang sangat populer demi menghormati dewa matahari diadopsi sebagai perayaan Kristiani. Atas inisiatif Kaisar Konstantinus diadakan Konsili Nicea (325) yang menetapkan: pesta sol invictus direklamasi jadi Natal, kenangan kelahiran Isa Almasih yang adalah cahaya dunia dan matahari keadilan.
Selama tiga abad sebelumnya umat Kristiani tak mengenal perayaan kelahiran Isa Almasih. Untuk pertama kalinya Natal dirayakan tahun 336 di Roma.
Bangsa Romawi kuno telah mengenal kebiasaan menghias rumah pada musim dingin dengan pohon beranting hijau. Tanaman hijau selalu jadi dekorasi musim dingin. Tanaman hijau mengekspresikan vitalitas. Sejak zaman kuno berkembang anggapan, hiasan rumah dengan tanaman hijau sangat sehat.
Ranting hijau diyakini sebagai tablet mujarab untuk menghalau roh jahat musim dingin, menjanjikan perlindungan dan kesuburan. Kebiasaan unik ini kelak berkembang sebagai kultur pohon Natal sejak abad ke-19, bermula di kalangan bangsawan Jerman.
Para imigran Jerman membawa budaya pohon natal ke seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Christmas Tree perdana dipajang di depan Gedung Putih pada tahun 1891.
Aspek terpenting Natal yang menghubungkan yang beragama dan tak beragama adalah aksi solidaritas. Begitu banyak dana digalang dalam ranah solidaritas dengan sesama manusia yang berkekurangan.
Mungkin bukan kebetulan, PBB sejak 2005 menetapkan 20 Desember, jelang Natal, sebagai Hari Solidaritas Internasional. Solidaritas sebagai kasih humanis menjadi imperatif terpenting saat Natal.
Solidaritas berarti menghayati kebersamaan, bukan sebatas emosional, melainkan harus tampak dalam tindakan nyata.
Sumber: Kompas, 26 Desember 2022