Oleh Yosua Noak Douw
Lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua
MASYARAKAT Indonesia terdiri dari beraneka suku, etnis, agama, bahasa, ras maupun golongan. Sejarah berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa juga lahir dari kaum elit dan cerdik pandai dari beragam latar belakang. Dalam perjumpaan para pendiri bangsa (founding fathers) terkait menuju cita-cita Indonesia sebagai sebuah negara perbedaan pandangan juga lengket.
Meski demikian, sekalipun berbeda satu sama lain para pendiri dan pemimpin bangsa satu hati lalu mengerucut dalam satu pemahaman utuh bahwa perbedaan adalah karunia dan mozaik indah Tuhan yang mesti dirawat dalam kebersamaan di tengah realitas pluralitas. Mereka, para pendiri bangsa mengutamakan damai dalam perbedaan. Toleransi pun demikian. Meski datang dari beragam latar toleransi adalah hal utama yang selalu dipahami secara utuh sebagai rahmat Tuhan.
Oleh karena pluralitas di antara sesama founding fathers dipahami secara utuh tetapi bukan berarti dalam perjalanan bangsa hingga mencapai negara saat ini bukan berarti tanpa ujian. Toleransi kehidupan umat beragama. utamanya, paling sering hadir menyertai dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan. Kekerasan segelintir kelompok warga yang menabrak kehidupan sosial negara semisal kebebasan menjalankan aktivitas keagamaan yang dijamin Undang-Undang kerap terjadi.
Toleransi antar sesama anggota masyarakat dan umat beragama melewati jalan terjal dan berliku. Aneka peristiwa sosial semisal yang baru saja terjadi di Sukabumi adalah wajah buram pluralitas dan toleransi kehidupan warga serta umat. Tak hanya pemerintah saban waktu mengingatkan pentingnya merawat dan membumikan toleransi di tengah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Para ulama dalam setiap kesempatan juga mengingatkan pentingnya manusia sebagai makhluk peziarah (homo viator) ciptaan-Nya membumikan semangat toleransi di tengah dunia. Bahkan para ulama kesohor sejak awal kemerdekaan seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Zainal Mustofa, KH Agus Salim, KH Mas Mansyur, KH Wahid Hasyim, KH Zainal Arifin (sekadar menyebut beberapa nama), dan lain-lain.
Mereka (para tokoh dan ulama di atas) bukan hanya tokoh agama menjaga dan merawat semangat toleransi tetapi juga memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Semangat toleransi bukan sekadar menjadi warisan, legasi indah bagi kemaslahatan bersama tetapi juga mengajak semua anak bangsa tidak berhenti mengagumi semangat (toleransi) namun menjadi pekerjaan rumah meneruskan dan menjalankan dalam kehidupan nyata meraih kebaikan bersama. Dari mereka, kita tentu belajar juga ihwal toleransi sejati. Mengapa?
Esensi Toleransi
Toleransi menjadi topik pembicaraan hangat belakangan. Muasalnya, terjadinya perusakan bangunan rumah singgah atau villa milik Marya Veronica Nona sekelompok orang saat berlangsung retret pelajar umat Kristiani di villa itu di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (27/6). Tindakan intoleran menyulut pro-kontra di tengah masyarakat.
Sikap main hakim sendiri atas sesama warga bangsa peristiwa dinilai jauh dari penghormatan dan penghargaan atas makna dan esensi toleransi di tengah pluralitas yang merupakan realitas yang dilindungi negara. Makna dan esensi toleransi menjadi diskusi penting bagi sesama anak bangsa. Makna dan esensi toleransi dapat dilihat lebih jauh.
Pertama, makna toleransi merujuk terminologi kata bahasa Latin, tolerare, mengandung pengertian menahan diri, bersabar atau membiarkan. Makna itu bila dilihat lebih dalam dapat dipahami sebagai sikap lapang dada, menghargai dan membiarkan orang lain berpendapat lain dan berhati lapang terhadap orang-orang yang berbeda pendapat serta tidak memaksakan kehendak.
Bahkan Diane Tillman dalam bukuya, Living Values Activities for Young Adults terbitan PT Grasindo Jakarta (2004) mendefinisikan toleransi sebagai sikap saling menghargai dengan tujuan untuk mencapai kedamaian. Toleransi menjadi faktor penopang esensial demi mewujudkan kesetaraan.
Tillman menyodorkan pula sejumlah butir refleksi terkait toleransi. Butir refleksi dimaksud yaitu kedamaian adalah tujuan dan toleransi adalah metodenya. Toleransi adalah terbuka dan reseptif terhadap indahnya perbedaan. Toleransi berarti menghargai individu dan perbedaanya, menghapus topeng dan ketegangan yang disebabkan oleh ketidakpedulian.
Butir lain yaitu menyediakan kesempatan untuk menemukan dan menghapus stiga yang disebabkan oleh kebangsaan, agama, dan apa yang diwariskan. Selain itu, toleransi adalah saling menghargai satu sama lain melalui pengertian. Benih dari intoleransi adalah ketakutan dan ketidakpedulian. Benih dari toleransi adalah cinta yang disirami dengan kasih dan pemeliharaan. Jika tidak cinta, tidak ada toleransi.
Kedua, toleransi juga terkait erat dengan realitas masyarakat Indonesia yang heterogen, baik dari suku, agama, ras maupun golongan (SARA) dan merupakan mozaik indah di tengah kehidupan nyata. Tuhan telah menganugerahkan Indonesia sebagai tempat tinggal bagi segenap suku bangsa dengan aneka bahasa yang menyebar di seluruh pelosok dan penjuru ibu pertiwi.
Ketiga, toleransi di tengah heterogenitas itu selain menjadi kebangaan dan kekayaan, sekaligus juga menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh anak bangsa merawat dan menjaganya sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupan rohani dan jasmani. Setiap anak bangsa dengan penganut Muslim terbesar dunia, baik secara personal maupun komunal memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga dan merawatnya sepanjang hayat dikandung badan.
Dalam Pandangan Masyarakat Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, Oase Perdamaian karya intelektual muda Muslim Zuhairi Misrawi (2010), ulama Indonesia Prof Dr Nasarudin Umar mengatakan, Indonesia patut berbangga karena tidak seperti negara-negara Muslim lainnya. Bahwa mayoritas umat Islam adalah kalangan yang mendefinisikan kelompoknya sebagai garda moderat.
Dua organisasi massa (ormas) keagamaan, baik Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah —demikian Nasarudin Umar, kini Menteri Agama Republik Indonesia— yang merupakan ormas terbesar di Indonesia telah meneguhkan dirinya sebagai garda terdepan wacana keislaman yang berorientasi kebangsaan dan kemanusiaan.
Tanggung Jawab Bersama
Ihwal toleransi di Indonesia merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah membutuhkan dukungan masyarakat melalui sikap taat atas regulasi negara terkait perlindungan dan penghargaan atas realitas pluralitas di tengah masyarakat. Sebaliknya, warga masyarakat juga membutuhkan tanggung jawab negara melalui aparatur dalam praktek kehidupan sosial yang heterogen. Setiap warga negara baik secara perorangan maupun kelompok tidak boleh dibenarkan menjadi hakim atas sesama warga masyarakat.
Menurut M Amin Abdullah dalam Menggugat Tanggug Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia (2010), kalau saja ketiga agama abrahamik —Yahudi, Kristen, dan Islam— sama-sama memahami, menjaga kedudukan, dan selalu committed pada kalimatun sawa (common platform), maka konflik antar-umat manusia yang mengatasnamakan agama tidak perlu terjadi.
Pemahaman diri ketiga agama abrahamik itu sebagai kalimatun sawa merupakan sebuah kondisi ideal yang dapat mencegah konflik karena mereka berasal dari satu sumber iman yang sama yaitu Nabi Ibrahim pada Allah Yang Esa (monoteis) dan mengemban misi rencana keselamatan Allah yang sama. Inilah sesungguhnya kesamaan platform ketiga agama abrahamik itu dalam wacana dialog dan kerja sama agama-agama untuk menciptakan perdamaian di bumi.
Petuah dan pengalaman para founding fathers, ulama, dan tokoh bangsa telah menitip pesan dan teladan berarti sekaligus memberi pelajaran berarti bahwa Indonesia adalah negara yang serba heterogen dalam kehidupan di tengah masyarakat. Manusia adalah makhluk dengan keunggulan berbeda dari makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Manusiwa dititip cinta dan sayang Allah di dalam hatinya agar berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki cinta melampaui dari makhluk lain agar mencintai sesamanya, merawat toleransi di tengah dunia. Umat beragama sekaligus warga negara memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama: merawat toleransi agar tercipta perdamaian dan kedamaian di antara umat dan warga negara.