Menyelesaikan “Masalah Papua” dengan “Kasih” - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Menyelesaikan “Masalah Papua” dengan “Kasih”

Yakobus Dumupa (Bupati Dogiyai, Pendiri dan Pembina Odiyaiwuu.com) bersama dua orang anggota SATPOL PP Kabupaten Dogiyai di Kampung Diyeugi, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai saat melakukan kunjungan kerja di wilayah Distrik Mapia Tengah. (Foto: Humas SETDA Kabupaten Dogiyai)

Loading

Oleh Yakobus Dumupa, S.IP, M.IP
Bupati Dogiyai, Pendiri dan Pembina Odiyaiwuu.com

MENGAPA Tanah Papua terus bergolak? Mengapa masih ada permusuhan antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan klasik yang sering kita dengar. Menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hal itu disebabkan oleh adanya empat akar masalah yang belum diselesaikan sampai sekarang. Keempat akar masalah itu adalah (1) sejarah dan status politik wilayah Papua, (2) kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, (3) kegagalan pembangunan, dan (4) marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua.

Sekalipun keempat akar masalah ini disimpulkan berdasarkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi sebagian pihak belum mau mengakuinya. Bahkan bersikap seolah-olah tidak ada masalah. Padahal kenyataannya, tanah Papua terus bergolak. Memang perlu diakui bahwa ada sebagian pihak berupaya menyelesaikan keempat akar masalah ini, tetapi cenderung dilakukan secara sporadis dan parsial yang tidak menyentu akar masalahnya.

Bagaimana upaya penyelesaian “masalah Papua” selama ini? Sejauh mana efektivitas upaya-upaya tersebut dalam menyelesaikan “masalah Papua”? Bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan “masalah Papua”?

Pendekatan yang Gagal

Sejak dikeluarkannya Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI, Ir. Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, di Alun-alun Utara Yogyakarta, Pemerintah Indonesia langsung melakukan “operasi militer” untuk menduduki dan merebut wilayah Papua dari tangan Belanda. Operasi ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soeharto – yang kemudian menjadi Presiden ke-2 RI – melalui Komando Mandala. Pada tahun-tahun selanjuntnya, pendekatan militer ini dipadukan dengan “operasi intelijen” menjelang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Sekalipun PEPERA dimenangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui 1.026 orang perwakilan orang Papua yang menyampaikan pendapat, tetapi hal ini tidak serta-merta menyelesaikan masalah Papua. Mayoritas orang Papua tidak menerima hasil PEPERA sampai sekarang. Pada tahap ini “operai intelijen” dan “operasi militer” tidak menyelesaikan masalah Papua.

Memasuki tahun 1970-an masalah Papua masih belum selesai. Pihak Papua melakukan berbagai upaya perlawan terhadap Pemerintah Indonesia. Salah satunya dapat dilihat dari adanya “Proklamasi 1 Juli 1971” oleh Zeth J. Rumkorem – mantan anggota TNI AD. Pemerintah Indonesia meresponnya dengan melakukan berbagai “operasi militer” dengan menetapkan Papua sebagai wilayah “Daerah Operasi Militer” (DOM). Sejumlah operasi militer yang dilakukan antara lain: Operasi Pamungkas (1870-1974), Operasi Kikis (1977-1978), Operasi Sapu Bersih (1978-1982), Operasi Sate (1984), Operasi Galak I (1985-1986), Operasi Galak II (1986-1987), Operasi Kasuari I dan II (1987-1989), Operasi Rajawali II dan II (1989-1991), Operasi Pengamanan Daerah Rawan (1998-1999), dan Operasi Pengendalian Pengibaran (1999-2002).

Dalam kurun waktu hampir empat dekade proses pembangunan di Papua tidak berjalan efektif, sebab di satu sisi Pemerintah Indonesia fokus menerapkan pendekatan militer, tetapi di sisi lain mayoritas rakyat Papua juga tidak mau menerima berbagai upaya pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan asumsi “proyek penjajahan”. Pada saat yang sama, diskriminasi dan marginalisasi terhadap orang Papua di berbagai sektor kehidupan terus dilakukan. Orang Papua dilabelisasi sebagai manusia “bodoh”, “ketinggalan zaman”, “belum menjadi manusia”, dan lainnya. Sampai pada tahap ini masalah Papua belum selesai. Kedua belah pihak belum sepakat untuk menyelesaikan masalah.

Memasuki era Reformasi, rakyat Papua merasa menemukan angin segar. Aspirasi “Papua Merdeka” mulai disuarakan dan diperjuangkan secara terbuka. Puncaknya, pada tahun 2000 rakyat Papua melakukan “Kongres Papua II” di Jayapura dan membentuk Presidium Dewan Papua (PDP) sebagai wadah perjuangan kemerdekaan Papua. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam, langsung meresponnya dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UTSUS Papua). OTSUS Papua dianggap win-win solution (solusi menang-menang) antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua. OTSUS Papua dipercaya sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah Papua. Tetapi faktanya, sampai sekarang – setelah 20 tahun diberlakukan OTSUS Papua – mayoritas rakyat Papua menyatakan “OTSUS Papua gagal”. Pemerintah Indonesia lebih cenderung mengklaim keberhasilan OTSUS Papua dengan ukuran “jumlah uang” OTSUS Papua yang dikucurkan ke Papua. Tetapi pihak Papua justru menyatakan kegagalan OTSUS Papua dengan ukuran yang lain, misalnya tidak diimplementasikan banyak ketentuan dalam UU OTSUS Papua. Sampai tahap ini “Pendekatan OTSUS Papua” tidak menyelesaikan masalah Papua.

Beberapa tahun terakhir, perlawan bersenjata di Papua meningkat tajam. Terjadi perang antara TNI dan POLRI dengan TPN/OPM – yang belakangan dikategorikan sebagai “teroris”. Akibat perang itu, sejumlah korban nyawa berjatuhan dari kedua belah pihak. Bahkan rakyat sipil pun ikut menjadi korban meninggal dunia, pengungsian, kelaparan, bahkan sejumlah rumah dan fasilitas umum ikut dirusak dan dibakar. Sampai saat ini pun belum ada kesepakat untuk berdamai.

Pendekatan “Kasih”

Berbagai upaya penyelesaian masalah Papua telah dilakukan, tetapi sampai saat ini belum selesai. Banyak orang telah mengusulkan berbagai cara penyelesaian masalah, tetapi belum menemukan cara yang efektif. Berbagai pihak menghendaki terciptanya kedamaian di Tanah Papua, tetapi ada juga pihak lain yang tidak mau hal itu terjadi. Jika kita hendak menyelesaikan masalah Papua, maka kita harus mengubah caranya. Kita harus meninggalkan cara-cara yang selama ini terbukti “tidak menyelesaikan” masalah dan kita harus menemukan cara-cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Salah satu cara yang perlu dicoba untuk menyelesaikan masalah Papua adalah dengan “pendekatan kasih”.

Apa yang dimaksud dengan “kasih” dan “pendekatan kasih”? Dalam ajaran Kristen, kasih merupakan inti dari ajaran Yesus. Injil Matius 22: 37-40 mencatat Sabda Yesus: “Jawab Yesus kepadanya: Kasihilah Tuhan, Allahmu , dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.  Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia  seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Untuk menegaskan inti ajaran Yesus, Rasul Paulus menulis dalam 1 Korintus 13: 4-5: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” Sedangkan “pendekatan kasih” dalam menyelesaikan masalah adalah dengan cara menghargai, menghormati, dan mengakui Tuhan sebagai sumber kehidupan dan menghargai, menghormati, dan mengakui manusia sebagai ciptaan Tuhan yang termulia.

Dalam menyelesaikan “masalah Papua” dengan “pendekatan kasih”, beberapa hal berikut ini harus menjadi pedoman dan perlu dilakukan oleh pihak Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua.

Pertama, saling menerima. Orang yang mempunyai kasih selalu punya sikap untuk menerima orang lain apa adanya. Dengan perpegang pada sikap itu, sekalipun saling bermusuhan dan mempunyai berbagai pandangan yang berbeda, Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua harus saling menerima satu sama lain. Pemerintah Indonesia harus menerima rakyat Papua dan sebaliknya rakyat Papua harus menerima Pemerintah Indonesia. Dengan saling menerima, perasaan saling mencurigai dan bermusuhan dihentikan dan harus membuka pintu hati untuk saling bertemu dan berdilog atas dasar kesetaraan sebagai sesama manusia.

Kedua, saling mengakui kesalahan dan kebenaran. Kadang sulit untuk mengakui kesalahan dan mengungkap kebenaran, tetapi “kejujuran” sangat penting untuk menyelesaikan masalah. Kejujuran kadang menyakitkan, tetapi sangat penting untuk menciptakan hidup yang damai dan bahagia. Setelah adanya sikap saling menerima dan membuka pintu untuk berkomunikasi (berdialog) atas dasar kesetaraan, maka masing-masing pihak harus rela “mengakui” kesalahan dan kebenarannya. Pihak Pemerintah Indonesia harus rela mengakui kesalahan dan kebenarannya yang melandasi lahirnya “permusuhan” dengan rakyat Papua. Sebaliknya, rakyat Papua juga harus rela mengakui kesalahan dan kebenaran yang melandasi “permusuhan” dengan Pemerintah Indonesia. Masing-masing pihak harus mengatakan salah jika salah dan benar jika benar mengenai sesuatu yang “dipermasalahkan”. Dengan cara ini, masing-masing pihak akan saling mempercayai antara satu sama lain.

Ketiga, saling memaafkan. Jika masing-masing pihak telah mengakui kesalahan dan kebenarannya, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah “saling memaafkan”. Pemerintah Indonesia harus memohon maaf kepada rakyat Papua dan rakyat Papua harus menerima permohonan maaf itu. Sebaliknya, rakyat Papua harus memohon maaf kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Indonesia harus memaafkan rakyat Papua. Dengan saling memaafkan, masing-masing pihak tentu tidak akan punya beban masalah sebagaimana dipikul dan diperjuangkan dengan cara “bermusuhan” dan “berperang” seperti selama ini. Dengan saling memaafkan, masing-masing pihak akan menyadari bahwa cara terbaik untuk menyelesaikan masalah adalah dengan “saling mengasihi”.

Keempat, bersama mencari solusi dan konsisten pada solusi. Setelah saling memaafkan dan saling mengasihi, maka perlu dicari solusi yang dipermasalahkan. Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua harus menyepakati apa yang hendak dicari solusinya, bagaimana cara mencari solusinya, bagaimana proses mencari solusi, dan siapa yang terlibat dalam mencari solusinya. Selanjutnya, proses penyelesaian “masalah Papua” bisa dimulai atas dasar kesetaraan, kebersamaan, dan saling percaya. Akhir dari pada proses penyelesaian “masalah Papua” adalah masing-masing pihak “menerima” kesepakatan/keputusan bersama dan konsisten melaksanakannya. Yang jelas, setiap kesepakatan/keputusan tidak selalu memuaskan semua pihak, tetapi sekalipun menyakitkan sebuah kesepakatan/keputusan harus diterima. Sebuah kesepakatan/keputusan yang disepakati bersama untuk tujuan yang mulia selalu mempunyai manfaat untuk membahagiakan kehidupan. Dalam kesepakatan/keputusan yang demikian, tidak ada pihak yang kalah sebab semua pihak adalah “pemenang”.

Sekarang sudah waktunya kita menyatakan “bosan” dengan “gejolak” di Tanah Papua. Sekarang sudah waktunya kita menyatakan “cukup” dengan “saling curigai” satu sama lain. Sekarang sudah waktunya kita menyatakan “lelah” dengan segala bentuk “peperangan” yang mengorbankan nyawa dan harta benda. Sekarang sudah waktunya untuk mencari “solusi” atas “masalah Papua” dengan cara “kasih”. Ini memang sulit dan menyakitkan, tetapi kita tidak punya pilihan lain selain harus menciptakan hidup “damai” dan bahagia”. Sebab dalam damai dan bahagia kita mengasihi Tuhan dan mengasihi manusia!

Tinggalkan Komentar Anda :