JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Aksi unjuk rasa, Kamis (15/8) pecah di sejumlah tempat di tanah Papua memperingati 62 Tahun Perjanjian New York atau New York Agreement yang berlangsung 15 Agustus 1962.
Aksi massa terjadi di Wamena, Jayapura, Abepura, Nabire, Timika, dan sejumlah tempat lainnya di bumi Cenderawasih. Aksi digelar sebagai bentuk protes terhadap New York Agreement yang dinilai bentuk nyata rasisme terhadap rakyat bangsa West Papua.
Kepolisian Daerah Papua mengerahkan ratusan personel mengantisipasi aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati 62 tahun New York Agreement. Meski demikian, pihak Polda Papua juga menghimbau masyarakat tetap tenang dan melanjutkan aktivitas seperti biasa.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ignatius Benny Ady Prabowo, SH, SIK, M.Kom mengatakan, unjuk rasa digelar terkait peringatan perjanjian bersejarah New York Agreement yang ditandatangani 15 Agustus 1962. Perjanjian ini mengatur pemindahan kekuasaan atas Irian Barat dari Belanda kepada Indonesia.
“Polri telah menyiapkan langkah antisipasi dengan menurunkan sekitar 700 personel, yang terdiri dari 300 personel Polresta Jayapura Kota, 300 personel Polres Jayapura, dan 100 personel dari Polda Papua. Kami juga telah mengidentifikasi sejumlah titik rawan yang akan menjadi fokus pengamanan,” ujar Benny kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Kamis (15/8).
Menurut Benny, ada beberapa titik yang akan dijaga ketat seperti Taman Imbi, Dok V Atas, Pos Kampung Buton-Skyline, Lingkaran Abepura, Uncen Bawah, pertigaan USTJ, Perumnas, Expo, Genyem, Jalan Sosial Sentani, Mata Jalan Pos 7, Kampung Harapan, Pasar Lama, serta area lain yang dianggap rawan.
Benny menambahkan, titik-titik yang dijaga tidak hanya di Jayapura. Pengamanan juga dilakukan di daerah lain seperti Jayawijaya, Nabire, Dogiyai, dan Deiyai. Polri juga bekerja sama dengan TNI serta pemerintah daerah untuk mencegah potensi gangguan keamanan.
“Kami menjamin keamanan seluruh warga masyarakat dan menghimbau warga tetap tenang dan tidak mudah terhasut dengan isu-isu palsu. Kami ingin masyarakat tetap menjalankan aktivitas seperti biasa dan tidak terlibat dalam tindakan yang dapat mengganggu ketertiban umum,” kata Benny.
Menurutnya, dengan adanya berbagai langkah antisipatif, aparat keamanan berharap situasi di Papua tetap kondusif dan masyarakat dapat menjalankan kegiatan sehari-hari tanpa rasa khawatir.
Pihak Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menegaskan, New York Agreement yang ditandatangani 15 Agustus 1962 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, merupakan perjanjian yang dilandasi sikap rasisme terhadap bangsa Papua oleh Pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB.
“Dari proses dari awal hingga penandatanganan New York Agreement 15 Agustus 1962, wakil bangsa Papua tidak dilibatkan di New Guinea Raad yang terbentuk 5 April 1961,” ujar Presiden Eksekutif ULMWP Menase Tabuni dan Sekretaris Eksekutif Markus Haluk melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Wamena, Papua Pegunungan, Kamis (15/8).
Manase dan Markus menegaskan, saat itu peresmian New Guinea Raad sebagai lembaga representasi bangsa Papua, dihadiri oleh perwakilan Australia, Perancis, Belanda, New Zealand, Inggris dan perwakilan dari Pacifik. Pemerintah Indonesia maupun Belanda menjadikan para pemimpin Papua sebagai objek untuk menyetujui perjanjian New York.
“Dalam delegasi pemerintah Belanda, selama proses negosiasi berlangsung menghadirkan Nicholas Youwe, Markus Kaisiepo, dan kawan-kawan, Sedangkan delegasi Pemerintah Indonesia menghadirkan AY Dimara dan kawan-kawan tetapi mereka hanya dijadikan sebagai objek pelengkap penderitaan dalam persetujuan ini,” kata Manase dan Markus.
Manase dan Markus menegaskan, seharusnya kedua pihak menghadirkan pimpinan Dewan New Guinea Raad. Dalam proses pelaksanaannya, Pemerintah Indonesia melanggar isi Pasal XXII ayat 1 New York Agreement dengan jelas mengatur hak-hak bangsa Papua untuk bebas berbicara, bergerak, berkumpul dan bersidang.
“Hak-hak ini dipasung dan dimatikan sehingga orang Papua tidak pernah dapat dilaksanakan oleh bangsa Papua. Pasal XVIII ayat d New York Agreement mengatur penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Hal ini tidak dilaksanakan,” katanya.
Isi New York Agreement, termasuk pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua untuk memilih apakah mereka ingin bergabung dengan Indonesia dan ingin memutuskan hubungan mereka dengan Indonesia, tidak pernah dipersoalkan. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia membubarkan semua organisasi sosial dan politik yang dibentuk sebelum 1963.
“Dengan sikap yang dilandasi rasisme pemerintah Indonesia membubarkan dan melarang untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya. Pelarangan itu dilakukan melalui Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 15 Mei 1963,” ujar Manase dan Markus.
Selain itu, New Guinea Raad yang adalah badan perwakilan rakyat tertinggi yang dipilih secara langsung oleh rakyat Papua melalui proses yang demokratis dibubarkan dan digantikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang keanggotaannya tidak melalui suatu proses pemilihan yang demokratis, tetapi ditunjuk dan atau diangkat oleh penguasa pemerintah Indonesia.
Kemudian Pemerintah Indonesia secara ilegal mengambil alih administrasi wilayah West Papua pada 1 Mei 1963. Sejak itu Pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan-pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua. Mereka berasal dari semua Kodam dan seluruh Angkatan TNI dan Polri.
Akibatnya, hak-hak politik dan hak-hak asasi manusia Papua telah dilanggar secara brutal di luar batas-batas perikemanusiaan. Beberapa di antaranya adalah pembunuhan secara kilat, penguburan hidup-hidup, penembakan terhadap korban yang terlebih dahulu disuruh menggali kuburnya sendiri, pembunuhan ayah yang kemudian dagingnya dibakar dan dipaksakan untuk dimakan oleh istri dan anak-anaknya, dan berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan pada orang Papua.
“Sikap dan kebijakan rasisme ini masih dipraktekkan Pemerintah Indonesia selama 61 tahun pendudukannya atas West Papua. Peristiwa ujaran rasisme pada 15-16 Agustus 2019, di Asrama Kamasan Surabaya kemudian terjadi aksi protes perlawanan oleh rakyat Papua adalah salah satu bukti nyata yang tidak dapat disangkal oleh publik nasional dan internasional.” kata Manase dan Markus.
Demikian juga masifnya pembungkaman ruang demokrasi, penembakan, pembunuhan, penculikan, operasi di beberapa wilayah, pelarangan jurnalis dan diplomat asing, pelarangan kunjungan Dewan HAM PBB, kunjungan para pemimpin Melanesia dan pacifik ke West Papua merupakan satu kesatuan kebijakan dan aksi rasisme Pemerintah Indonesia pada bangsa Papua.
Kebijakan secara sepihak dengan sikap otoriter dan rasisme pemerintah Indonesia pertontonkan juga dengan memperpanjang Otonomi Khusus Papua Jilid II secara sepihak tahun 2021 serta pemekaran Papua menjadi enam provinsi.
“ULMWP tegas menyatakan menolak perjanjian New York karena perjanjian ini cacat moral dan hukum dan mendesak PBB, Pemerintah Belanda, Pemerintah USA dan Pemerintah Indonesia serta berbagai negara di dunia untuk mendorong dilakukannya perjanjian internasional dengan melibatkan ULMWP sebagai wadah representasi Bangsa Papua yang berjuang untuk menentukan nasib sendiri.” ujar Manase dan Markus tegas.
Manase juga mengutuk keras semua bentuk tindakan rasisme Pemerintah Indonesia dan negara-negara kapitalis, perusahaan multinasional yang berdampak pada terjadi slow motions genosida, etnosida dan ekosida kepada bangsa Papua.
Sementara Wakil Presiden Eksekutif ULMWP Octovianus Mote meminta kepada para pemimpin MSG agar pasca tidak diijinkannya kunjungan PM Fiji Hon Sitiveni Rabuka dan PM Papua Nugini Hon James Marabe ke Indonesia dan West Papua agar dievaluasi total keberadaan Indonesia di forum MSG sebagai anggota asosiasi. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)