Oleh Yakobus Dumupa, S.IP, M.IP
(Bupati Dogiyai, Pendiri dan Pembina Odiyaiwuu.com)
Di negara Indonesia terdapat sejumlah lembaga negara, yang antara satu sama lagi “berbagi” kekuasaan. Dua diantara sejumlah lembaga tersebut adalah lembaga Legislatif dan Eksekutif. Yang unik dan aneh di Indonesia adalah kadang orang-orang yang memangku jabatan pada kedua lembaga tersebut justru tidak paham esensi tugas dan fungsi lembaganya. Akibatnya mereka tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Bahkan yang dikerjakan justru yang bukan menjadi tugasnya. Lebih uniknya lagi, seringkali pihak Legislatif selalu menjadi “musuh” dan “hakim” bagi pihak Eksekutif.
Melihat kondisi yang demikian, muncul tiga pertanyaan penting. Pertama, bagaimana sesungguhnya teori Trias Politica dan “pembagian” kekuasaan di Indonesia? Kedua, bagaimana implementasi hubungan Legislatif dan Eksekutif di Indonesia? Ketiga, bagaimana hubungan yang ideal antara Legislatif dan Eksekutif di Indonesia?
Teori Trias Politica dan “Pembagian” Kekuasaan di Indonesia
Teori Trias Politica (pemisahan kekuasaan) dikembangkan oleh dua pemikir besar dari Inggris dan Perancis, John Locke dan Montesquieu. Menurut John Locke, kekuasaan dibagi dalam tiga jenis, yaitu: (1) kekuasaan Legislatif, yang bertugas untuk membuat peraturan dan undang-undang; (2) kekuasaan Eksekutif, yang bertugas untuk melaksanakan undang-undang yang ada di dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili; dan (3) kekuasaan Federatif, yang tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri). Sementara Montesquieu dalam masalah pemisahan kekuasaan membedakannya dalam tiga bagian pula, meskipun ada perbedaan dengan konsep yang disampaikan John Locke, yaitu: (1) kekuasaan Legislatif, yang bertugas untuk membuat undang-undang; (2) kekuasaan Eksekutif, yang bertugas untuk menyelenggarakan undang-undang (tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri); dan (3) kekuasaan Yudikatif, yang bertugas untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Dari dua pendapat ini ada perbedaan pemikiran antara John Locke dengan Montesquieu. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan Eksekutif, sementara Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Menurut Montesquieu dalam setiap pemerintahan tiga jenis kekuasaan itu harus terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang melakukannya. Menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh-mempengaruhi, antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan, artinya ketiga kekuasaan itu masing-masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang yang menanganinya.
Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara diatur dalam hukum dasar dari suatu negara yaitu Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD), sebab Konstitusi atau UUD merupakan dokumen negara yang memuat hal-hal pokok penyelenggaraan negara.
Indonesia sendiri menganut asas Trias Politica dalam arti “pembagian” kekuasan, bukan “pemisahan” kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian dalam UUD 1945 yang telah membagi kekuasaan pemerintah menjadi tiga cabang, yaitu kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif, dan kekuasaan Yudikatif. Namun, dalam perkembangannya, UUD 1945 hasil amandemen menetapkan empat kekuasaan dalam tujuh lembaga negara sebagai berikut: (1) kekuasaan Eksaminatif (inspektif), yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); (2) kekuasaan Legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD); (3) kekuasaan Eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden; (4) kekuasaan Yudikatif (kehakiman), meliputi Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK); dan lembaga negara bantu, yaitu Komisi Yudisial (KY).
Konsep pembagian kekuasaan tidak hanya berlaku di tingkat pusat, tetapi juga berlaku dan diterapkan sampai di tingkat daerah. Di daerah roda pemerintah dikendalikan oleh lembaga Eksekutif (Gubernur, Walikota/Bupati), Legislatif (DPRD) dan Yudikatif (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi). Kekhususan inipun memberikan ruang bagi setiap lembaga untuk menjalankan tugasnya masing-masing demi kesejahteraan rakyat. Sistem kerja sama antar lembaga-lembaga tersebut melalui suatu mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and ballance), dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang lainnya.
Hubungan Legislatif dan Eksekutif di Indonesia: Ibarat Film “Tom and Jerry”
Tom and Jerry adalah sebuah serial film animasi Amerika Serikat hasil produksi Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) Cartoon Studio di Hollywood sejak tahun 1940, yang bercerita tentang seekor kucing bernama Tom dan seekor tikus bernama Jerry yang selalu bertengkar. Alur cerita dalam setiap cerita pendek dalam film ini biasanya berpusat pada usaha-usaha mustahil yang dilakukan Tom untuk menangkap Jerry, disertai dengan berbagai konflik fisik dan kerusakan materi. Mereka kadang-kadang terlihat dapat hidup damai berdampingan di beberapa episode (setidaknya dalam menit-menit pertama), jadi kadang-kadang tidak jelas mengapa Tom begitu bernafsunya mengejar Jerry. Beberapa alasannya mungkin adalah perseteruan abadi kucing dan tikus, tugas yang diberikan oleh pemilik rumah, balas dendam, dan kompetisi melawan kucing lainnya. Tom jarang sekali sukses menangkap Jerry, terutama disebabkan oleh kepandaian dan kelincahan Jerry serta kebodohan Tom sendiri. Tom biasanya mengalahkan Jerry ketika sang tikus menjadi penyebab masalah atau ketika Jerry telah bertindak keterlaluan.
Sekalipun seharusnya sistem kerja sama antar lembaga Legislatif dan Eksekutif dibangun dalam suatu mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and ballance) secara rasional dan obyektif, tetapi seringkali yang terjadi justru rivalitas (pertentangan, permusuhan, dan persaingan). Hal ini dapat diibaratkan seperti film Tom and Jerry. Yang paling umum terjadi adalah dengan dalil lembaga Legislatif sebagai “wakil rakyat”, maka tak jarang anggota Legislatif – walaupun tidak semua – sering bertindak sebagai “musuh” dan “hakim” bagi pihak Eksekutif. Anehnya, dengan bertindak begitu mereka merasa telah melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Sebagian anggota Legislatif – mulai dari pusat sampai daerah – selalu mencari-cari alasan untuk menjadikan pihak Eksekutif sebagai “musuh” untuk “diadili”. Hal semacam ini terjadi karena dan untuk beberapa hal. Pertama, karena beroposisi, dimana pihak yang berkuasa di Eksekutif adalah “lawan politik” sebagian dari mereka yang berkuasa di Legislatif. Sekalipun beroposisi dalam negara demokrasi adalah hal yang lumrah, tetapi yang terjadi adalah “oposisi membabi-buta” yang menjadikan Eksekutif sebagai musuh bebuyutan. Kedua, anggota Legislatif tertentu – baik dalam kepentingan personal atau kepentingan institusional – sering mengejar “proyek” sebagai lahan untuk memperoleh keuntungan finansial. Biasanya pihak Eksekutif ditekan, diancam, dan ditakut-takuti agar diberi proyek. Apabila tidak diberi maka akan dijadikan sebagai “musuh” untuk “diadili” dengan alasan-alasan yang tidak rasional dan tidak obyektif. Ketiga, ketidakpuasan pihak Legislatif atas pembagian pagu anggaran tahunan seringkali menjadikan pihak Eksekutif sebagai musuh untuk diadili. Keempat, tak jarang secara personal anggota Legislatif tertentu bermusuhan dengan pemangku jabatan tertentu dalam lembaga Eksekutif (Presiden, Gubernur, dan Bupati/Wakikota), karena punya masalah pribadi, iri hati, atau lainnya.
Jika pihak Eksekutif dijadikan “musuh” untuk “diadili” karena alasan dan untuk kepentingan seperti ini, maka seringkali pihak Eksekutif juga tidak mau menghargai, menghormati dan mengakui pihak Legislatif. Maka yang terjadi adalah ibarat film Tom and Jerry, selalu terjadi pertentangan, permusuhan, dan persaingan. Dalam kondisi seperti ini, seringkali pihak Legislatif tidak menjalankan fungsinya yang seharusnya, seperti: fungsi legislasi (membentuk peraturan), fungsi anggaran (menyusun dan menetapkan anggaran), dan fungsi pengawasan (pengawasi pelaksanaan peraturan). Begitu juga sebaliknya, pihak Eksekutif bisa saja tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, karena sering mendapat gangguan dari pihak Legislatif.
Hubungan Ideal antara Legislatif dan Eksekutif di Indonesia
Hubungan yang ideal atau semestinya harus sejalan dengan teori Trias Politica yang dirumuskan oleh Montesquieu, yang di Indonesia diadopsi menjadi “pembagian” kekuasaan. Melalui teorinya, Montesquieu mengharapkan hubungan atar lembaga yang mempunyai suatu mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and ballance), dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang lainnya secara rasional dan obyektif. Ini artinya, masing-masing lembaga fokus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya, tanpa harus terpengaruh dengan kepentingan apapun yang merusak tugas dan fungsi yang sesungguhnya.
Lembaga Legislatif harus fokus pada pelaksanaan tugas dan fungsi membentuk peraturan (fungsi legislasi), menyusun dan menetapkan anggaran (fungsi anggaran), dan mengawasi pelaksanaan peraturan (fungsi pengawasan). Ketiga fungsi ini harus dilakukan tanpa kepentingan apapun yang dapat merusak esensi lembaga Legislatif. Begitu juga dengan lembaga Eksekutif, dalam melaksanakan tugasnya harus fokus melaksanakan aturan perundang-undangan tanpa dirusak oleh kepentingan apapun yang dapat merusak esensi lembaga Eksekutif.
Yang terpenting dalam hubungan kedua lembaga ini adalah berjalannya mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and ballance), dimana lembaga Legislatif dapat mengawasi dan mengimbangi lembaga Eksekutif, sebaliknya lembaga Eksekutif pun dapat mengawasi dan mengimbangi lembaga Legislatif. Lembaga Legislatif tidak boleh menjadi “musuh” untuk “mengadili” pihak Eksekutif demi kepentingan pragmatis semata. Lembaga Eksekutif pun pun tidak boleh menjadi “sapi perah” yang rela diperas oleh lembaga Legislatif. Kedua lembaga negara harus punya wibawa sebagai “alat negara terhormat” yang hanya mengabdi kepada rakyat, negara, dan Tuhan.