JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Yan Permanes Mandenas, S.Sos, M.Si mengemukakan, Partai Gerindra meminta pemerintah mempertegas kejelasan tapal batas calon daerah otonom baru (DOB) di Papua. Tapal batas wilayah DOB tersebut, kata Yan Mandenas, selama pemekaran daerah otonom baru di Papua masih menjadi masalah, sengketa hingga saat ini.
“Misalnya kita bicara sengketa tapal batas di wilayah tambang emas PT Freeport Indonesia. Nah, tapal batas beberapa kabupaten di wilayah penambangan Freeport Indonesia belum clear, belum jelas. Nah, apalagi sekarang dengan tapal batas calon daerah otonom baru di tingkat provinsi. Kalau tapal batas wilayah ini belum tuntas, saya yakin akan terjadi tarik-menarik antara masyarakat di tingkat lokal,” ujar Yan Mandenas saat dihubungi Odiyaiwuu.com di Jakarta, Senin (21/2).
Menurut Yan Mandenas, politisi Partai Gerindra, permintaan penegasan terkait tapal batas daerah otonom baru di Papua juga sudah ia sampaikan di hadapan pimpinan dan anggota Baleg DPR RI saat berlangsung Rapat Pleno dengan agenda melanjutkan harmonisasi Rancagan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegununungan Tengah, Papua Barat, dan Papua Barat Daya di Ruang Rapat Baleg, kompleks DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, Rabu (16/2).
Ia mencontohkan, rencana pemekaran DOB di Mamberamo Tengah tahun 2009, tapal batas Mamberamo Raya dengan Kabupaten Tolikara juga belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah. Oleh karena kenyataan itu, hingga kini masih menjadi tarik-menarik, konflik pemerintah daerah. Termasuk masyarakat di tapal batas dua kabupaten tersebut, malah mereka bingung saat Pilkada apakah mereka masuk wilayah Mamberamo Raya atau Tolikara.
“Jadi, kalau berlangsung Pilkada terpaksa ikut dua-dua. Nah, ini unik juga. Jadi saya pikir hal ini harus dipertegas kembali. Kemudian, terkait kriteria pembagian wilayah berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021, itu harus dilihat kembali. Saya sudah pernah tegaskan bahwa kita tidak bisa membagi wilayah berdasarkan kemauan daerah, aspirasi,” lanjut Yan Mandenas, anggota DPR yang membidangi masalah intelijen.
Mengapa hal itu penting, ujar Yan Mandenas, karena syarat dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021, pembagian wilayah di situ sudah secara tegas diatur. Tetapi, pihaknya mengingatkan agar pembagian wilayah juga harus dievaluasi kembali sehingga penempatan wilayah kabupaten misalnya masuk ke wilayah Provinsi A atau B nantinya. Hal tersebut penting agar tidak menimbulkan dinamika yang berkepanjangan terkait masalah wilayah-wilayah apakah masuk di Provinsi A,B atau C, dan seterusnya.
Pada bagian lain, Yan Mandenas juga menyoroti soal pemekaran provinsi baru di Papua yang masih menimbulkan pro-kontra di Papua. Pro-kontra ini, bukan saja terjadi di Papua namun juga (masyarakat asal Papua) di luar negeri. Karena itu, anggota Komisi I DPR yang membidangi masalah pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika serta intelijen itu meminta agar perlu ada strategi khusus yang dilakukan pemerintah.
“Kita mau mekar tetapi pasca pemekaran Papua itu jadi konflik. Apalagi daerah-daerah pegunungan. Ibu Trivena (Trivena Tinal, anggota DPR asal Papua dari Partai Golkar) tahu kalau sudah terjadi, susah diatasi. Konflik itu arahnya pasti fasilitas umum habis diamuk massa. Nah, ini yang harus kita antisipasi sehingga catatan saya saat rapat dengan pengusul terdahulu, saya sudah isyaratkan agar mana yang jadi prioritas pemerintah. Jangan sampai dikebut seperti ini. Memang itu amanat UU Otsus tetapi tidak harus dikebut. Step by step dipersiapkan supaya kelihatan santun dalam menempatkan keputusan pemerintah atas Papua,” tandasnya.
Kota provinsi
Meski perihal pemekaran masih jadi perdebatan, termasuk calon kota provinsi, sejumlah bupati di calon daerah pemekaran provinsi di Papua masih terbelah soal bakal calon kota provinsi. Menurut Bupati Paniai Meky Nawipa, sejumlah bupati di wilayah Meepago menyepakati Nabire sebagai ibu kota untuk calon DOB Provinsi Papua Tengah. Papua Tengah, ujar Meky, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Papua. Menurutnya, UU tersebut juga sudah mengatur letak ibu kota dari Provinsi Papua Tengah.
“Jadi pemekaran Papua Tengah sudah lama. Di UU Nomor 45 Tahun 1999 itu disebutkan Papua Barat, Papua Tengah dan Papua, ibukotanya Jayapura, Nabire, dan Manokwari,” ujar Meky Nawipa di Jayapura mengutip Kompas.com, Selasa (15/2). Untuk Manokwari, lanjut Meky, telah sah menjadi ibu kota Papua Barat. Sementara Jayapura merupakan ibu kota Papua. “Hanya tinggal (Papua Tengah) di Nabire. Maka kami sepakat kalau Papua Tengah dimekarkan, ibu kota di Nabire itu sesuai Undang-Undang,” lanjut Meky, yang juga seorang pilot.
Selain Nabire sebagai kota induk, kata Meky, Papua Tengah juga diharapkan mencakup Kabupaten Deiyai, Dogiyai, Paniai, Intan Jaya, dan Puncak Jaya. Nawipa menyebut beberapa tahapan yang diperlukan untuk mengajukan aspirasi pemekaran sudah dilakukan termasuk kajian dari Universitas Gajah Mada (UGM).
“Jadi proses kajian dari UGM sudah selesai, sekarang prosesnya di DPR RI dan kita tidak tahu kapan tanggal mainnya. Sekarang kita berpikir bagaimana Papua Tengah ini dengan ibu kota di Nabire bisa menyejahterakan masyarakat Papua Tengah,” kata Meky.
Selain itu, penetapan lokasi kantor gubernur Papua Tengah pun sudah ada, termasuk papan namanya telah dipasang. “Jadi pemekaran ini dari wacana ke wacana, sekarang bupati Nabire akan menaikkan papan nama kantor gubernur Papua Tengah di Nabire. Lahan juga sudah kita siapkan, dalam waktu dekat bupati Nabire akan mengundang Komisi II DPR RI untuk bertemu bupati-bupati Mepago di Nabire,” lanjut Meky.
Sedangkan Bupati Nabire Mesak Magai mengatakan, sejak Papua masih bernama Irian Jaya, di dalamnya ada sembilan kabupaten, yaitu Sorong, Fakfak, Manokwari, Paniai, Jayapura, Jayawijaya, Merauke, Biak, dan Yapen Waropen. Saat itu, Paniai beribukota di Nabire sampai akhirnya daerah tersebut terbentuk sebagai sebuah kabupaten terpisah.
“Lalu dari Nabire sudah pemekaran tiga kabupaten, yaitu Paniai, Deiyai dan Dogiyai. Lalu Paniai dimekarkan lagi jadi Kabupaten Puncak Jaya yang kemudian juga terjadi pemekaran Kabupaten Puncak,” kata Mesak.
Oleh karena itu, kata Mesak, Nabire sangat tepat dijadikan ibu kota provinsi karena dari sisi sejarah, Nabire adalah yang tertua dibanding kabupaten lainnya. “Nabire adalah kabupaten tertua karena sudah punya ‘cucu’ Kabupaten Deiyai, Intan Jaya dan Puncak,” ujar Mesak lebih jauh.
Selain itu, dari sisi geografis, Nabire merupakan kawasan transit dari kabupaten lain yang ada di wilayah adat Mepago. “Kabupaten Nabire adalah kota sentral di kawasan tengah yang menghubungkan Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Puncak dan Puncak Jaya,” ujarnya.
Selain itu, keberadaan infrastruktur pun sudah siap dan terus dibangun. Mesak mengatakan, Nabire terletak di pesisir yang memiliki akses tol laut sehingga akses barang dan penumpang sangat memadai. “Saat ini Pemkab Nabire melalui Dinas Perhubungan sedang membangun bandara untuk ukuran pesawat berbadan besar sehingga kesiapan infrastruktur sudah cukup memadai,” ujar Mesak.
Akses transportasi darat di Nabire pun, menurutnya, sudah sangat memadai karena telah terhubung hampir di seluruh wilayah adat Meepago hingga ke Kabupaten Puncak. “Saat ini dari Nabire, jalan transnasional sudah sampai ke Beoga, Kabupaten Puncak,” katanya.
Dukungan Nabire sebagai calon ibu kota Provinsi Papua Tengah juga diberikan Bupati Puncak Jaya Yuni Wonda. Ia yang lebih melihat dari sisi sejarah merasa tidak memiliki hak untuk menunjuk daerah tertentu sebagai ibu kota. “Prinsipnya saya adalah anak dari Kabupaten Paniai yang dulu di Nabire sehingga kami menyetujui untuk Provinsi Papua Tengah ibukotanya di Nabire,” kata Yuni. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)