Oleh: Yakobus Dumupa
(Mahasiswa Program Doktor Antropologi, Universitas Cenderawasih, Jayapura)
PASKAH adalah momen yang penting bagi umat Kristiani. Ia bukan sekadar hari raya keagamaan, tapi juga peristiwa iman yang sarat makna—tentang pengorbanan, penderitaan, dan kebangkitan. Bagi umat Kristen di Tanah Papua, khususnya mereka yang saat ini hidup dalam status pengungsi akibat konflik bersenjata dan ketidakstabilan keamanan, Paskah memberi arti yang jauh lebih mendalam.
Di tengah penderitaan yang berkepanjangan, Paskah menjadi sumber kekuatan. Ia hadir sebagai simbol harapan, panggilan untuk bertahan, dan keyakinan bahwa terang suatu saat akan mengalahkan gelap.
Luka yang Masih Terasa
Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang pengungsian di Papua tidak bisa diabaikan. Masyarakat dari berbagai daerah seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, dan Maybrat serta daerah lainnya terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka demi menyelamatkan nyawa. Banyak dari mereka tinggal di tempat-tempat yang jauh dari layak, tanpa akses yang memadai terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.
Bagi para pengungsi, luka akibat konflik bukan hanya terlihat di tubuh, tapi juga di batin. Anak-anak kehilangan kesempatan sekolah, orang tua kehilangan ladang dan rumah, dan banyak keluarga yang tercerai-berai tanpa tahu kapan bisa berkumpul kembali.
Di tengah situasi ini, pesan Paskah tentang kebangkitan menjadi sesuatu yang sangat relevan. Mereka menaruh harapan bahwa seperti Yesus yang bangkit dari kematian, mereka pun suatu hari akan bangkit dari keterpurukan, kembali ke kampung halaman, dan membangun kembali kehidupan yang hilang.
Iman yang Bertahan di Tengah Derita
Meski berada dalam kondisi yang serba terbatas, banyak pengungsi tetap memelihara iman mereka. Di tenda-tenda darurat atau tempat pengungsian sederhana, doa-doa tetap dinaikkan. Nyanyian pujian masih terdengar, meskipun dalam suara lirih dan penuh kelelahan.
Para pendeta, katekis, dan relawan gereja tetap hadir mendampingi. Mereka bukan hanya memimpin ibadah, tetapi juga menguatkan semangat dan menjadi tempat curhat bagi warga yang bingung dan putus asa. Gereja menjadi ruang harapan—tempat orang-orang bisa merasakan bahwa mereka tidak sendiri, dan bahwa Tuhan masih menyertai mereka.
Dalam kesederhanaan, Paskah tetap dirayakan. Mungkin tanpa lilin-lilin mewah atau dekorasi meriah, tetapi dengan hati yang tulus dan iman yang kokoh. Semangat Paskah mereka bukan dalam bentuk perayaan besar, melainkan dalam keberanian untuk tetap hidup, berbagi, dan saling menguatkan.
Seruan bagi Gereja dan Negara
Situasi pengungsi di Papua juga menjadi panggilan bagi gereja dan negara untuk tidak tinggal diam. Gereja perlu berani bersuara dan mengambil peran aktif dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Menyuarakan kebenaran dan berpihak pada korban bukanlah sikap politik, tapi bagian dari tugas iman.
Negara pun memiliki tanggung jawab besar. Para pengungsi adalah warga negara yang hak-haknya dijamin oleh konstitusi. Sudah seharusnya negara hadir melindungi mereka, bukan membiarkan mereka hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Pendekatan keamanan harus diimbangi dengan upaya dialog dan penyelesaian akar masalah secara damai.
Jika Paskah mengajarkan tentang kasih dan pengorbanan, maka sudah saatnya pemimpin bangsa ini juga menunjukkan kasih kepada warganya yang menderita. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata: memberikan bantuan, membuka akses pendidikan dan kesehatan, serta menciptakan jalan pulang yang aman bagi para pengungsi.
Harapan yang Tak Pernah Padam
Bagi para pengungsi di Tanah Papua, Paskah bukan sekadar ritual. Ia adalah harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, mereka bisa pulang. Harapan bahwa anak-anak mereka bisa tumbuh di tempat yang aman. Harapan bahwa damai bukan lagi mimpi, tapi kenyataan.
Paskah adalah janji bahwa hidup akan selalu menang atas kematian. Bahwa terang akan selalu datang, seberapa pun gelapnya malam. Di balik duka yang panjang dan luka yang belum sembuh, para pengungsi tetap menggenggam janji itu. Dengan doa, dengan iman, dan dengan cinta—mereka merayakan Paskah dalam bentuk yang paling murni: sebuah keyakinan bahwa mereka tidak ditinggalkan.