Makna Etis Sejarah - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Makna Etis Sejarah

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Kasdin Sihotang

Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

MANUSIA sangat dekat dengan sejarah. Kedekatan itu terletak dalam hal peran yang dimainkan manusia di dalamnya: pembentuk sejarah itu sendiri. Manusia adalah subjek bagi sejarah. Makhluk infrahuman tidak pernah menjadi subjek sejarah karena ia tidak bisa membuat sejarah dalam hidupnya. 

Gerakan-gerakannya lebih dilandasi oleh dorongan instingtual. Berbeda dengan manusia. Perjalanan hidup manusia selalu berkaitan dengan aras nilai dan nalar dalam bertindak dan dalam berperilaku. Karena itu pula manusia hidup dengan dasar kemampuan hakikinya yaitu rasionalitas dan nilai-nilai.

Namun, pemahaman tentang sejarah lebih condong pada rentetan kronologis masa lalu, tanpa kaitan dengan masa kini dan masa yang akan datang. Pemahaman demikian justru menempatkan sejarah secara sempit, karena makna sejarah dibatasi hanya peristiwa masa lalu.  Menurut hemat penulis, paham sejarah demikian kurang menyentuh aspek etis sejarah. 

Makna Hakiki

Sejarah perlu dilihat dari perspektif lain, bukan hanya dari sisi kronologis atau rentetan peristiwa masa lalu, melainkan sesuatu yang esensial di dalamnya. Tepatnya, makna etis dan makna etis ini dijadikan sebagai titik pijak untuk masa depan demi meraih kemajuan. Dengan demikian sejarah tidak saja dilihat sebagai aksi retrospektif (peristiwa masa lalu), melainkan juga prospektif (meraih masa depan). 

Dalam bingkai ini, tiga pertanyaan: apa makna hakiki sejarah? Di mana letak nilai etisnya? Bagaimana membuat sejarah menjadi bermakna etis? Menjawab pertanyaan ini, pertama-tama perlu dikatakan bahwa sejarah manusia bukan sebuah katalog ensiklopedia segala hal yang diketahui tentang manusia. Sejarah manusia adalah dinamika hidup dalam horizon waktu. 

Secara lain dapat dikatakan, sejarah adalah cara berada manusia  dalam menghayati hidup dengan menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan membukanya ke masa yang akan datang. Ini berarti, merefleksikan pengalaman hidup adalah kegiatan utama manusia dan itu mengisi sejarah hidup. 

Dengan refleksi manusia menyadari apa yang diketahui. Jadi persis seperti dikatakan oleh Socrates, filsuf Yunani bahwa sejarah merupakan proses belajar manusia untuk mengingat, tetapi dengan ingatan kita, kita lebih sadar tentang apa yang kita ketahui secara tersembunyi itu.

Beranjak dari pengertian Socrates di atas jelas bahwa ketika kita merefleksikan keberadaan dan makna kemanusiaan kita, termasuk ketika kita ingin mencari makna sejarah, kita perlu membuat pemahaman yang lebih tepat tentang pengalaman masa lalu kita. Dengan demikian konsepsi tentang masa lalu tetaplah mengandung pengakuan bahwa ada integrasi masa kini dan masa yang akan datang. 

Apa makna hakiki sejarah bagi manusia? Menjawab pertanyaan ini bisa kita gali makna ungkapan Cicero. Dalam bukunya, De Oratore (tentang Pidato), Cicero menulis begini: historia vero testis temporum, lux veritatis, vitae memoria, magistra vitae, nuntia vetustatis. Artinya, sejarah merupakan saksi zaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup guru kehidupan dan pesan dari masa lalu”. Dari ungkapan yang panjang ini yang sering dikutip secara singkat adalah “historia magistra vita”,  sejarah adalah guru kehidupan. 

Adagium singkat Cicero di atas sesungguhnya sederhana, namun bermakna dalam. Cicero ingin menegaskan bahwa sejarah bukan hanya peristiwa berlalu pada dirinya, tanpa makna. Sebaliknya sejarah adalah peristiwa yang sarat makna. Makna historis itu terletak pada subjeknya. Setiap orang adalah subjek bagi sejarah, minimal bagi sejarahnya sendiri. Artinya, masing-masing pribadi membentuk sejarahnya sendiri. Ia dapat memilih mau membentuk sejarah seperti apa. 

Dalam hal ini pilihan hanya dua, yakni mau membuat sejarah yang baik, dan menjadi inspirasi dan “role model” bagi orang lain, lebih-lebih generasi yang hidup di masa depan, atau mau membentuk sejarah buruk, yang tentunya menjadi buah bibir bagi banyak orang di jamannya dan akan dilupakan oleh generasi berikutnya, kalau pun diingat akan menjadi buah bibir. 

Jadi, apa yang mau dikatakan oleh Cicero sebenarnya fundamental, yakni pentingnya menghargai sejarah, karena merupakan guru kehidupan. Bung Karno juga mengingatkan hal itu dengan akronim (singkatan) “Jasmerah- jangan sekali-kali melupakan sejarah”. 

Makna Etis Sejarah

Mengapa perlu mengingat sejarah? Menurut penulis, sejarah menyediakan kisah-kisah hidup yang dapat menjadi pelajaran berharga dan terbaik bagi kita, lebih-lebih bagi orang lain. Kita menjadi dirinya sendiri dalam dan melalui sejarah itu sendiri. Karena itulah sejarah merupakan dimensi dari eksistensi manusia.

Niccolo Machiavelli bahkan  melihat sejarah sebagai titik pijak untuk memulai sebuah perubahan. Ia menginisiasi kehidupan politik yang baru di jamannya, justru karena ia belajar dari sejarah. Machiavelli melihat masa lalu negaranya kehilangan makna etis, yakni kebobrokan yang terjadi dalam sistem politik di kota Florence kala itu. 

Situasi masa lalu itu adalah bahwa masyarakatnya menghidupi amnesia tentang sejarah pendidikan Romawi, yang cenderung berhenti pada sikap kagum tentang masa lalu, namun tak berusaha menciptakan sesuatu yang baru di masa depan, lebih-lebih kesejahteraan rakyat. Cicero melihat bahwa Machiavelli, memperjuangkan isi semboyan salus publica suprema lex, kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi.

Dari apa yang dipaparkan di atas, penulis menempatkan makna etis itu dalam tiga hal sebagaimana penulis tuangkan dalam Filsafat Manusia: Jendela Menyingkap Humanisme (2024, cet-19).  Pertama, sejarah sebagai sebuah kesaksian. Setiap sejarah yang kita ciptakan merupakan sebuah kesaksian hidup. Artinya, sejarah kita adalah fakta tentang hidup kita atau tentang sesuatu. Kita menyaksikan benda-benda peninggalan bersejarah seperti Candi Borobudur, Patung Liberty, dan yang lainnya. 

Sesungguhnya semua itu menjadi sebuah kesaksian yang memberi makna tentang sesuatu di masa lalu. Dengan kata lain, objek-objek yang memiliki nilai historis sesungguhnya menjadi saksi di masa lalu sekaligus menorehkan nilai. Karena itulah penting untuk terus dan berkomitmen untuk menjaga objek-objek yang bernilai historis. 

 Kedua, sejarah juga mengisyaratkan adanya penyebaran nilai. Objek-objek bersejarah tidak sekedar benda  pada dirinya sendiri, melainkan bersifat metaempiris dalam arti memuat nilai di dalamnya. Demikian halnya perjalanan hidup seseorang, di sana ada makna etis tertera, dan makna etis itu akan menjadi pelajaran berharga. 

Dan makna etis itu pula terus ingin diwariskan dari generasi ke generasi. Secara lain dapat dikatakan, di balik sejarah ada nilai-nilai yang dapat ditegakkan dalam kehidupan manusia seperti: kejujuran, keberanian, kebenaran, daya juang dan nilai yang lain. 

Karena itu, sejarah menjadi pelajaran berharga bagi siapapun dan itu diteruskan kepada generasi berikut. Orang dapat belajar tentang makna kehidupan darinya dan makna itu diingat dan ditanamkan untuk dihayati dari waktu ke waktu. Hal-hal yang positif di masa lalu dapat menjadi pijakan yang kokoh untuk hidup di masa kini dan masa yang akan datang. 

Dari hal-hal positif di masa lalu, orang belajar untuk lebih waspada dan awas agar hal yang buruk demikian tidak terulang di kemudian hari. Singkatnya, sejarah juga mengandung pedagogi etis dari satu generasi ke generasi berikutnya.  

Ketiga, sejarah bermakna penerusan realitas. Selain menjadi testimoni, sejarah juga diupayakan agar dipertahankan oleh generasi berikutnya. Di kalangan Suku Batak Toba terkenal dengan ungkapan ompunta si jolo-jolo tubu martungkothon siala gundi. Napinungka ni ompunta na parjolo, ingkon ihuton on ni na parpudi. Inti ungkapan ini, apa yang sudah dimulai oleh nenek moyang pada jaman dulu, perlu diteruskan oleh generasi berikutnya, yang dalam hal ini adalah adat istiadat. Bagi orang Batak Toba adat istiadat merupakan tata sosial yang dihidupkan terus dari generasi ke generasi, tidak hanya di daerah asalnya, tetapi juga di perantauan. 

Makna ketiga historisitas dimaksudkan bukan persis meneruskan apa yang sudah dimulai, tetapi mempertahankan prinsip-prinsip atau hal-hal yang esensialnya. Ini berarti, sejarah tidak hanya mengandung nilai intrinsik (nilai fundamental), tetapi juga nilai instrumental, yakni sarana dalam mewujudkannya. Dan nilai instrumental itu berupa tradisi dan adat istiadat,  tata cara dan lain sejenisnya. Semua ini dihidupi dengan  beradaptasi dengan perkembangan jaman, tanpa kehilangan makna esensial, yakni nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. 

Bermakna Etis

Dalam tiga hal di atas sejarah bermakna etis. Artinya, di satu sisi setiap orang menjadi pelaku di dalam sejarah, namun di lain sisi ia belajar nilai-nilai moral dari sejarah. Dua sisi ini mengisyaratkan bahwa setiap orang seyogianya menorehkan sejarah hidup yang bermutu, penuh dengan makna yang menjadi kesaksian hidup yang baik, inspirasi untuk menghidupkan nilai-nilai moral, dan menjadi role model bagi generasi berikut. 

Tugas dan tanggung jawab setiap pribadi untuk memperhatikan ini sesuai dengan fungsi dan perannya dalam masyarakat. Karena kita bertanggung jawab pada masa depan generasi muda berikutnya, maka kita perlu membangun sejarah yang positif, bagi sebagai pribadi maupun sebagai bangsa. Yang kita lakukan sekarang akan menjadi masa lalu, dan akan pula menentukan kualitas masa depan. 

Karena itu hal-hal baik yang kita torehkan sekarang akan menjadi sesuatu yang berharga bagi generasi yang akan datang. Kita tidak hanya menjadi subjek sejarah kita sendiri, melainkan subjek bagi sejarahnya sendiri, namun ia juga harus menjadi subjek dalam membangun sejarah bangsa dan negara kita, karena kita hidup dan  berpijak di dalamnya. 

Upaya dekolonisasi mental kebangsaan, menurut hemat penulis merupakan bagian perjalanan sejarah  bangsa ini yang perlu digalakkan. Dengan kolonisasi mental kebangsaan itu setiap pribadi warga masyarakat ikut membentuk sejarah positif yang menjadi kesaksian berharga bagi generasi berikutnya. 

Partisipasi dan upaya gigih dekolonisasi mental itu adalah sumbangan yang berharga setiap warga bagi bangsa. “Jangan tanyakan apa yang diberikan oleh negara kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang engkau berikan kepada negara,” ujar John F Kennedy. Seruan itu juga sangat tepat kita dengungkan memaknai 80 tahun negeri ini demi terciptanya sejarah bangsa yang bermakna positif dan bermutu. 

Tinggalkan Komentar Anda :