JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Rabu (31/8) menggelar dua sidang putusan uji materiil, judicial review terkait otonomi khusus (otsus) Papua di Lantai 2, Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.
“Saya baru mendapat kabar besok Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang putusan perkara uji materiil yang kami ajukan,” ujar Elias Ramos Petege kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Selasa (30/8).
Menurut Ramos, sidang putusan perkara terregistrasi dengan nomor Perkara No 43/PPU-XX/2022 perihal Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Ia dan rekannya, Yanuarius Mote mengajukan gugatan terkait UU Otsus Papua karena Pemerintah Pusat dinilai seenaknya menarik kewenangan Papua Papua.
Sidang putusan uji materiil dengan agenda yang sama juga diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP) selaku pemohon yang diwakili Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua I Yoel Luiz Mulait, dan Wakil Ketua II Debora Mote. Perkara para pemohon teregistrasi dengan Nomor 47/PUU-XIX/2021.
Timotius Murib mengatakan, selaku pemohon pihaknya mengajukan uji materiil setelah mencermati perubahan UU Otsus Papua. Dalam perubahan UU Otsus ‘Jilid II’ terdapat sejumlah klausul yang merugikan kepentingan dan hak konstitusional pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat Papua.
Menurut Murib, perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, justru menciptakan ketidakpastian hukum.
“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Murib mengutip mkri.id, Rabu (22/9 2021).
Untuk itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Perdasus dan Perdasi Provinsi Papua’.
“Menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Berikutnya, menyatakan norma Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai usulan perubahan undang-undang ini wajib diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP,” ujar kuasa hukum pemohon Dr Stefanus Roy Rening, SH, MH.
Gugatan itu dilayangkan karena para pemohon yang merupakan orang asli Papua (OAP) tidak menerima keputusan pemerintah memberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua atau ‘Jilid II’ yang dinilai bersifat sentralistik.
“Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ‘Jilid II’ tersebut juga merugikan hak-hak konstitusional masyarakat dan orang asli Papua. Kami menilai, pemerintah pusat seenaknya menarik beberapa kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Provinsi Papua dan masyarakat Bumi Cenderawasih sesuai asas otonomi daerah dan tugas pembantuan,” ujar Ramos dan Mote kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Selasa (15/3).
Menurut Petege dan Mote, sikap pemerintah pusat yang dinilai seenaknya menarik beberapa kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah sesuai asas otonomi daerah dan tugas pembantuan di antaranya pembentukan daerah otonom baru tanpa meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai wadah resmi saluran aspirasi suara masyarakat Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai wadah kultural seluruh masyarakat adat dari berbagai wilayah adat di Papua serta rakyat Papua.
Selain itu, para pemohon menilai pembentukan daerah otonom baru tanpa di tanah Papua tanpa daerah persiapan sebagaimana dalam Pasal 76 Ayat 2 dan 3 dan kewenangan pemerintah pusat dalam membuat Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sesesuai Pasal 75 Ayat 4 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 Ayat 1, 2, 5, dan 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Selain itu, pemohon menilai pembentukan lembaga khusus pelaksanaan otonomi khusus di Papua berdasarkan Pasal 68A Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Otsus Papua ‘Jilid II’ bertentangan dan mengeliminasi prinsip otonomi daerah, desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai atribusi konstitusi kepada pemerintah daerah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 Ayat 1, 2, dan 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
“Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua maupun Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota berdasarkan Pasal 6 Ayat 1 dan Pasal 6a Ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan sistem dan asas pemilihan umum sebagaimana telah diatur dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoesia tahun 1945,” kata Ramos lebih jauh. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua ‘Jilid II’ disahkan Presiden Joko Widodo pada Senin (19/7/2021). (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)