Oleh Benidiktus Bame
Mahasiswa Magister Pengelolaan SDA dan Lingkungan Uncen, Jayapura
I HAVE a Dream atau Aku Punya Mimpi. Itulah kutipan pidato Martin Luther King Jr di hadapan sekitar 250.000 orang di Lincoln Memorial, Washington DC pada 28 Agustus 1963. Pidato pendeta dan aktivis yang menjadi juru bicara paling berpengaruh dalam gerakan hak-hak masyarakat sipil (civil society) Amerika dari tahun 1955 sebelum ajal menjemputnya pada 1968.
Melalui pidato-pidatonya, Luther mampu menginspirasi dan menggerakkan hati banyak orang. Pidato Lincoln Memorial merupakan pidato paling berpengaruh dalam sejarah negeri Paman Sam. Isi pidato yang menekankan ihwal rasisme serta keadilan sosial, termasuk hak-hak sipil, kesetaraan antara ras kulit putih dan kulit hitam di Amerika. Kondisi yang tidak mengalami perubahan usai Amerika berjalan selama satu abad sejak perang sipil berakhir tahun 1865.
Kondisi warga kulit hitam di Amerika tempo doeloe sama dengan warga kulit hitam di tanah air Indonesia saat ini. Diskriminasi serta rasisme terus terjadi terhadap orang asli Papua sejak Papua dianeksasi ke pangkuan Ibu Pertiwi 1963. Julukan Papua surga kecil yang jatuh ke bumi, tanah yang bertabur sumber daya alam (SDA) melimpah, surga kedua paling unik di dunia.
Keindahan yang menjanjikan setiap harapan hidup bagi orang asli Papua, mulai dari hamparan pasir putih yang indah memanjang dari Raja Ampat melintasi Pantai Lampu Satu Merauke hingga Pasir 6 Kota Jayapura, gelombangan yang seirama memanjang dari Fak-fak hingga Kota Karang Biak. Tak hanya itu, hutan dan hasil alam telah mengelilingi permukaan bumi hingga dasar bumi, kini hanya menjadi slogan indah di setiap ucapan bibir para oligarki di Tanah Air.
Dalam Pelukan Kapitalis
Fakta telah menunjukkan, tanah yang kaya raya itu mulai dikepung oleh para kapitalis dari gunung hingga pesisir. Kekayaan alam melimpah kini berada dalam pelukan manja kelompok kapitalis. Kelompok ini telah memainkan perang membuat Papua menjadi lumbung konflik yang tak pernah bertepi.
Saat ini Papua diperhadapkan dengan konflik politik yang terus menerus menelan korban berjatuhan. Orang asli Papua meregang nyawa saban waktu di atas tanah leluhurnya. Darah anak Melanesia bersimbah di atas pelukan tanah Papua, ibu bumi yang melahirkan anak-anaknya. Keresahan orang Papua dan orang nusantara yang datang ke Papua terus berkelebat.
Slogan Papua tanah Papua hanya utopia. Tanah yang damai kini terus menghilang seiring matahari menjemput pagi atau saat mentari takluk di lengkung kaki langit. Tak ada pilihan, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus segera berani membuka ruang dialog.
Dialog diarahkan dan bermuara pada ujung mengakhiri konflik yang telah memakan korban tak terbilang di Papua. Tidak ada manusia yang ingin hidup di atas tanah leluhurnya tanpa damai. Semua manusia ingin damai dan hidup berdampingan dalam semangat persaudaraan sebagai makluk ciptaan Tuhan.
Papua dengan label slogan tanah damai perlahan hilang. Kedamaian, keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kebebasan menjauh. Untuk menemukan keadilan dan kebenaran serta kebebasan, butuh pengorbanan air mata, pertumpahan darah bahkan nyawa pun dilenyapkan begitu saja. Konflik yang terjadi pun memakan korban entah aparat TNI-Polri, TPNPB OPM bahkan rakyat sipil.
Alkitab mengingatkan, menghilangkan nyawa manusia secara tidak sah adalah pelanggaran berat. Pelaku juga sering dihukum mati akibat tindakan melanggar hukum. Pengalaman memperlihatkan, beberapa tahun belakangan entah berapa orang asli Papua dan non Papua yang kehilangan nyawa sia-sia. Tak berbilang pula, entah berapa banyak anggota TNI-Polri gugur di medan perang di pelosok perkampungan di tanah Papua.
Merujuk detiksusel.com, Kamis (25/1 2025) sepanjang 2023 jumlah aparat TNI-Porli yang gugur di Papua berjumlah 133 orang dan 104 nyawa warga sipil yang hilang. Setelah dihitung data jumlah anggota TNI-Polri yang gugur sejak 2023 hingga 2025 menyentuh angka 400 orang. Apakah kita membiarkan manusia berjatuhan begitu saja?
Satu peringatan mesti direfleksikan: jangan pernah menyembunyikan kebohongan. Meminjam istilah penulis Christina Tirta, kebenaran akan selalu menemukan jalannya sendiri. Kebenaran ibarat bayangan. Ia akan menemukan siapa pemilik bayangan saat mentari beranjak pergi.
Saat ini kebenaran sulit sekali ditemukan di Papua. Pun keadilan susah ditegakkan. Pengerahan pasukan ke Papua adalah kisah nyata. Keadilan, kebenaran, dan kejujuran sulit dilakukan. Pertanyaan retoris muncul: sampai kapan damai ditegakan di Papua? Pemerintah Indonesia harus melihat situasi ini dan tidak membiarkan karena akan mengganggu jalannya pembangunan.
Ruang Dialog
Pemerintah perlu mengevaluasi persoalan keamanan di Papua dan mereviu pola pendekatan keamanan di tanah Papua. Di saat bersamaan perlu membuka ruang dialog agar konflik di Papua segera berakhir. Dialog perlu dan mendesak dilakukan demi menghindari semakin banyak korban rakyat sipil dan aparat keamanan berjatuhan.
Karena itu, Pemerintah Indonesia perlu melakukan evaluasi total apa yang sebenarnya salah di Papua sehingga sampai saat ini konflik masih berlangsung. Karena itu orang Papua tidak butuh apapun, termasuk gelontoran miliaran uang ke Papua karena itu juga bukan solusi dari akar masalah.
Rakyat Papua hanya membutuhkan keadilan, kebenaran, dan perdamaian yang utuh lewat dialog yang bermartabat guna melihat jauh akar masalah Papua. Mulai dari sejarah. Bila sejarah Papua sudah final di mata Pemerintah Indonesia, sejarah perlu dibicarakan kembali agar semua orang Papua mengakui.
Ada beberapa tawaran guna menyelesaikan konflik di Papua. Pertama, Pemerintah Indonesia perlu membuka ruang dialog dan negosiasi antara TPNPB dan masyarakat Papua untuk mencapai kata sepakat yang adil sekaligus mencegah konflik berulang.
Kedua, Pemerintah Indonesia juga perlu mengakui hak masyarakat adat di tanah Papua. Hal ini penting karena Papua bukan tanah kosong. Setiap tanah ada marga sehingga perlu ada pengakuan atas tanah, sumber daya alam, dan budaya masyarakat Papua.
Ketiga, perlu ada pengamanan dan penegakan hukum yang adil. Sejauh ini, penegakan hukum di Papua lebih condong tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sehingga perlu ada pengamanan dan penegakan hukum yang transparan, adil serta berorientasi pada pendekatan berbasis HAM.
Keempat, Pemerintah Indonesia perlu hadir secara langsung guna menyampaikan dan mengaku dengan jujur pelaku pembunuhan di Papua. Misalnya, konflik Wamena berdara, Paniai berdarah, dan lain-lain. Pemulihan korban konflik, termasuk korban pelanggaran HAM dengan memberikan kompensasi dan pemulihan yang adil.
Kelima, kerja sama Internasional untuk mendukung upaya proses perdamaian di Papua. Semua tawaran solusi di atas memiliki hubungan dan keterkaitan sehingga membutuhkan komitmen serta kerja sama semua pihak, termasuk Pemerintah Indonesia, TPNPB OPM, rakyat sipil Papua, dan dunia internasional.