Oleh Ben Senang Galus
Pemerhati masalah Papua
SADAR atau tidak pembangunan Papua saat ini maupun ke depan akan memisahkan masyarakat menjadi tiga tipologi yang berbeda tajam. Pertama, kelompok inti (core society). Mereka adalah penguasa yang masih hidup atau orang-orang yang dekat dengan penguasa atau bisa disebut sisa-sisa penguasa feodal yang memonopoli sebagian besar sumber daya alam milik rakyat Papua.
Kelompok ini selalu mempropogandakan pembangunan sebagai sebuah bentuk pembebasan. Mereka sendiri makan dan minum dari hasil produk kapitalis. Pola hidupnya sangat mewah. Mereka tidak peduli dengan rakyat tertindas. Bahkan mereka mereproduksi ketertindasan itu untuk kepentingan pribadi demi sebuah pangkat atau jabatan.
Kedua, kelompok setengah pinggiran (peripheral society). Mereka adalah para idealis, masyarakat rasional, masyarakat kritis. Mereka tidak membutuhkan penghargaan yang tinggi. Masuk dalam komunitas ini adalah golongan cendekiawan, rohaniawan, agamawan, seniman, penulis. Mereka jauh dari kekuasaan atau harta.
Kelompok ini adalah orang-orang yang “berumah di atas angin”, tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya. Mereka menginginkan sebuah kedaulatan atau kemerdekaan. Daulat dalam bidang ekonomi, daulat dalam bidang politik, daulat dalam bidang kebudayaan, daulat dalam bidang ekpresi. Pokoknya, mereka selalu memperjuangkan apa yang disebut “revolution of mind”.
Ketiga, kelompok pinggiran (peripheral society). Kelompok ini tidak stabil, mudah bergeser dari satu sektor ke sektor lain. Cepat berpindah pekerjaan, tidak mempunyai idealisme, hidupnya sederhana. Kehidupan ekonominya berlangsung dari tangan ke mulut. Namun, mempunyai andil besar terhadap kekuasaan (contohnya saat Pemilu).
Masyarakat ini kita sebut saja “masyarakat apung” dan membutuhkan pembelaan. Kelompok ini menjadi obyek bahkan menjadi korban program kelompok pertama. Kelompok ini menjadi bahan jualan atau obralan omong kosong kelompok pertama.
Kelompok inti
Pola interaksi sosial ketiga tipologi masyarakat di atas dikendalikan oleh core society atau kelompok inti, selain kekuatan modal yang besar. Dengan demikian kesenjangan budaya semakin lebar, ternyata menimbulkan gesekan-gesekan justeru karena masih kuatnya pengaruh beasmtaat pada lapisan core society.
Kecenderungan hidup eksploitatif pada core society melahirkan tirani kekuasaan, kekerasan, pembantaian dan menempatkan kekayaan atau kesewenangan sebagai tujuan prilaku dan faktor penentu untuk mengukur kedudukan sosialnya dalam masyarakat.
Bagaimana pula hubungan negara dengan warga negara saat ini di Papua? Hubungan warga negara dengan negara mengandaikan hubungan oposisi biner. Negara diposisikan sebagai institusi yang kuat, sementara warga negara pada posisi lemah dan tidak berdaya. Negara yang memiliki kekuasaan menindas dan warga negara ditempatkan di bawah kekuasaan negara yang kejam (di bawah sepatu lars, moncong senjata). Sangat mungkin terjadi negara mendikte warga negara sampai pada ruang privat.
Kontrol negara maupun non negara (oligarki) begitu kuat atas warga negara secara politis akan melahirkan wacana juridicapolitis, ruang yang secara politis dikontrol ketat oleh suatu jenis kekuasaan dan kekuatan tertentu. Ruang kebudayaan semakin sempit oleh pertarungan politik, ekonomi dan media sosial yang membuat nalar kebudayaan masuk dalam lorong gelap.
Dengan kalimat lain lapisan dalam kebudayaan Papua “ethico-mythical nucleus” yang merupakan central point of reference telah mengalami pembusukan, kematian. Dalam kekuasaan terjadi penyimpang etika dan moral yang serius, seperti penyalagunaan wewenang atau pelanggaran HAM akan tetap menghiasi ruang publik dan media dan menjadi sarapan pagi masyarakat kita.
Dampak yang paling parah hubungan negara dengan warga negara dalam oposisi biner sebenarnya bukan terletak pada kerusakan sistem ekonomi semata. Namun, lebih pada kerusakan psikologis, kerusakan jiwa dan mental anak kandung bumi Cendrawasih. Dalam oposisi biner terdapat struktur kekuasaan di mana warga negara diposisikan sebagai warga tidak berdaya.
Demikian pula dalam struktur kebudayaan Papua, muncul oposisi kaya miskin, bodoh dan pintar karena sengaja dikonstruksi dalam binaritas kuat lemah. Ini menjadi keprihatian kita semua.
Tercerabut
Masyarakat kita dikonstruksikan menjadi amnesia kebudayaan yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tak pernah bisa kembali pada identitasnya semula, sehingga memengaruhi pola prilaku masyarakat kita. Masyarakat yang dibentukpun seolah-olah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan kebudayaan dan mudah digagalkan dan diombang ambingkan oleh relasi ketergantungan, kuasa dan rakyat.
Dengan demikian kondisi sosial budaya Papua saat ini tidak banyak berubah. Bahkan beberapa aspek penting dari kebudayaan Papua mengalami degradasi, terutama menyangkut nilai, tujuan latar belakang dan sifat dasar penampilannya. Misalnya dalam kehidupan demokrasi.
Demokrasi menjadi kehilangan spiritnya yang justeru mendewasakan orang Papua dalam berpolitik, demokrasi mulai menampakkan dirinya sekadar slogan. Nilai-nilai demokrasi semakin hilang bahkan punah karena kita lebih mengutamakan demokrasi prosedural dari pada demokrasi dalam pengertian bonum commune (kebahagian orang banyak), lihat tulisan saya dalam “Demokrasi Honai”.
Agar kondisi sosial budaya Papua menjadi lebih baik dari sekarang ini kita harus membangun kebudayaan baru yang relevan dengan alam pikiran kebudayaan Papua yang otentik, dengan mengutamakan pendidikan karakter, mengutamakan etika dan moral, mengutamakan demokrasi, mengutamakan HAM.
Mengutamakan iptek yang humanis dan ramah lingkungan, mengutamkan pendidikan berbasis kebudayaan, mengutamakan bisnis yang beretika, mengutamakan politik yang bermartabat, mengutamakan komunikasi yang beretika.
Semua itu akan menjadi baik jika penyelenggara negara maupun masyarakat kita berhati baik dan menaati segala aturan yang berlaku. Sebab Papua adalah sebuah kitab (Alkitab) yang sangat indah, yang tidak boleh sembarangan orang coret (tulis), selain mereka sendiri yang coret atau tulis agar tidak menjadi lubang hitam yang terus menganga dan tidak terawat. Semoga!