JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Muhammad Tito Karnavian atas nama Presiden Kamis (12/5) melantik Penjabat Gubernur Sulawesi Barat, Gorontalo, Papua Barat, Banten, dan Kepulauan Bangka Belitung di Ruang Sasana Bhakti Praja (SBP) Gedung C Lt 3 Kementerian Dalam Negeri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Pelantikan ini dilakukan berhubung masa jabatan gubernur di lima provinsi tersebut berakhir. Dengan demikian, pelantikan tersebut dilakukan guna mengisi kekosongan jabatan di unsur kepala daerah tingkat provinsi. Pelantikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur. Jabatan sementara itu akan diisi lima penjabat gubernur selama satu tahun ke depan.
Lima penjabat gubernur itu adalah Penjabat Gubernur Banten Dr Al Muktabar, M.Sc; Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Dr Ir Ridwan Djamaluddin; Gubernur Sulawesi Barat Drs Akmal Malik, M.Si; Gubernur Gorontalo Dr Ir Hamka Hendra Noer, M.Si; dan Gubernur Papua Barat Komjen Pol Drs Paulus Waterpauw, M.Si.
Dengan dasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 Ayat (9), disebutkan, penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat walikota masa jabatannya satu tahun dan dapat diperpanjang satu tahun berikut dengan orang yang sama atau berbeda. Dengan kata lain, penjabat gubernur memimpin selama maksimal dua tahun saja.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar buka suara terkait penjabat (Pj) kepala daerah yang dilakukan tanpa aturan pelaksana sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Zainal menilai akan menimbulkan sejumlah persoalan. Salah satunya terkait potensi kekosongan kepala daerah karena keterbatasan masa jabatabn sebagai penjabat.
Menurut Zainal, dengan maksimal memimpin selama dua tahun, maka para penjabat gubernur di lima daerah akan berakhir pada 12 Mei 2024. Sedangkan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru akan dilaksanakan pada November 2024. Demikian, akan terjadi kekosongan jabatan gubernur di lima daerah tersebut selama enam bulan. Alhasil, penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah yang dilakukan tanpa aturan pelaksana sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai akan menimbulkan sejumlah persoalan.
“Konsekuensinya berarti ini dianggap sebagai diskresi. Diskresi untuk Pj. Tapi komplikasinya akan ada. Misalnya bagaimana metode pengambilan keputusan oleh pejabat ini, khususnya berkaitan dengan putusan yang dilarang diambil oleh dia karena dia hanya Pj. Padahal dia dua tahunan lebih (akan jadi kepala daerah). Belum lagi konsekuensinya yang saya bilang tadi. Dari UU dia hanya bisa satu tahun dan dapat diperpanjang satu tahun. Bagaimana kalau dia berakhir di bulan Mei 2024? Itu dia selesai menjabat kan,” kata Zainal.
Zainal pun mengamini bahwa putusan macam ini bisa dibawa ke PTUN jika ada masyarakat yang merasa dirugikan dengan penunjukan Pj tersebut. Namun, dia berharap pemerintah tak perlu menunggu digugat terlebih dahulu untuk membuat aturan pelaksana.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Yan Mandenas menyebutkan, pemerintah mempunyai fleksibilitas dalam menghadapi penyesuaian dan perubahan regulasi yang tentunya bisa mendukung keputusan pemerintah dalam rangka pelaksanaan Pemilu serentak 2024.
“Saya pikir tidak menutup kemungkinan penyesuaian itu akan dilakukan di kemudian hari agar memberikan legitimasi kepada para penjabat gubernur maupun penjabat bupati dan wali kota untuk bisa menjalankan amanat dalam mengawal masa transisi pemerintahan, termasuk mempersiapkan agenda pelaksanaan Pemilu 2024 di tingkat daerah,” kata Yan Mandenas, anggota DPR asal Papua.
Oleh karena itu, kata Mandenas, kekhawatiran soal regulasi ini pastinya akan diantisipasi pemerintah ke depan. “Tapi yang saat ini mendesak adalah kita harus melakukan tahapan pelantikan guna mengisi kekosongan jabatan pasca masa jabatan kepala daerah berakhir,” ujar anggota DPR dari Partai Gerindra.
Menurutnya, langkah-langkah yang diambil Kemendagri tidak perlu terlalu dikritisi, tapi bagaimana harus diberikan saran masukan secara kajian akademis melalui para pakar hukum di UGM maupun universitas lain di Indonesia. Dengan demikian, pemerintah bisa melakukan evaluasi dan penyesuaian regulasi dalam mendukung persiapan pelaksanaan Pemilu 2024 dan transisi kepemimpinan kepala daerah di seluruh Indonesia nanti.
“Pro-kontra pengisian kekosongan jabatan tidak perlu kita perdebatkan. Sebagai warga negara, kita turut memberikan masukan dan support pemerintah atas langkah-langkah yang dilakukan dalam memperbaiki proses demokrasi dalam melahirkan pejabat publik. Dengan demikian, ke depan kita akan semakin baik dan memberikan harapan besar bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat,” kata Mandenas, anggota Komisi I DPR RI.
Pihaknya juga meminta seluruh kementerian/lembaga harus seirama dengan kebijakan pemerintah yang saat ini dilakukan Kemendagri dalam melantik penjabat kepala daerah. UGM merupakan universitas negeri, yang seharusnya memberikan dukungan dan kajian hukum kepada pemerintah. Kalau ada kekurangan seharusnya memberikan masukan kepada pemerintah agar ke depan regulasi semakin baik.
”Bukan sebaliknya, kontra terhadap kebijakan pemerintah terutama dalam mempersiapkan diri menghadapi pemilu 2024. Lahirnya pemimpin melalui proses demokrasi yang transparan dan demokratis itu akan memberikan dampak yang besar bagi kemajuan pembangunan terutama pertumbuhan ekonomi secara nasional, tapi juga kemajuan daerah dalam mencapai indeks pembangunan manusia dan kesejahteraan masyarakat di daerah,” tegas Mandenas. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)