Oleh Ansel Deri
Sekretaris Papua Circle Institute; editor buku ‘Membangun Tanpa Sekat’
WAKIL Gubernur Papua Klemen Tinal meninggal di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta, Jumat (21/5), sekitar pukul 04.00 WIB. Berita duka itu segera meluber. Duka merapat pada isteri, anak-anak, dan keluarga besar Tinal. Langit Papua berduka. Masyarakat, utamanya di wilayah Mimika dan daerah pegunungan tengah Papua berkabung. Seorang pemimpin kebanggaan menghadap Tuhan. Tak sampai di situ. Gubernur Lukas Enembe bersama pemerintah dan masyarakat tanah Papua tentu kehilangan sosok Klemen.
Klemen adalah pemimpin yang sangat dicintai warga masyarakat Mimika tatkala ia mendharmabaktikan ilmu, pengalaman, dan kemampuan dirinya memimpin kabupaten di lereng gunung Nemangkawi itu dua periode. Lalu dilanjutkan Bupati Eltinus Omaleng, tokoh lokal yang juga bertangan dingin. Karena itu, berpulangnya Klemen tak hanya dirasakan warga Mimika dan pegunungan tengah Papua. Warga masyarakat Papua tentu kehilangan sosok Klemen di saat provinsi paling timur Indonesia itu tengah didera sejumlah aksi kekerasan dan butuh figur pemimpin seperti Klemen.
Legasi berharga
Klemen menutup mata selamanya tapi meninggalkan legasi, warisan bagi pemerintah dan rakyat. Sesungguhnya hanya satu atau dua kali bertemu langsung dalam sejumlah pertemuan saat saya masih sebagai staf membantu rekan Diaz Gwijangge, anggota DPR RI asal Papua kelahiran Mapnduma, Nduga periode 2009-2014. Namun, sekilas Klemen menarik dari gaya bicara saat menyampaikan pikiranya. Kerap muncul guyonan yang membuat lawan bicara tersenyum lalu segera akrab.
Jauh dari itu, ada legasi yang jauh amat penting bagi warga terutama generasi tanah Papua yang masih mengabdi demi kemajuan daerah. Paling kurang ada yang dapat dicatat. Pertama, Klemen seorang anak muda pekerja keras dan pemimpin bertangan dingin, politisi santun dan cerdas, visioner serta dan sosok rendah hati. Ia juga dikenal “kepala batu” memajukan masyarakat dan daerah dimulai saat masih tinggal dan mengabdi di Mimika. Tatkala singgah di Bandara Internasional Mozes Kilangin dari Jayapura tahun 2011, segera saya menelusuri sejumlah sisi Timika, kota yang terus berdandan di tangan Bupati Klemen.
Kedua, ia mewarisi jiwa sosial tinggi dan seorang pemimpin daerah dan politisi cerdas (political brain), visioner, dan tak tega melihat orang lain. Kisah tentang Klemen disampaikan guru Yohanes Napan Labaona, sahabat saya sealmamater di SMP Lamaholot Boto, Lembata, NTT tahun 80-an. Kata Napan, guru yang kini mengabdi di SMAN SP-5, paitua (bapa) Klemen adalah bupati Mimika yang tak menjaga jarak dengan warga.
Sambil menikmati kopi manis tak jauh dari bandara pada Agustus 2011, Napan melukiskan sosok paitua Klemen sebagai pemimpin yang tak hanya bicara. Ia juga tak bosan-bosan memotivasi warganya agar bekerja keras meraih masa depan lebih baik. Para guru, diingatkan agar mengabdi, mendidik, dan mengajar anak-anak asli Papua dengan totalitas jiwa. Ia berniat, kelak mereka menjadi pemimpin tak hanya berguna bagi masa depan bangsa Indonesia.
Ketiga, jiwa petarung sejati dalam hidup juga terpatri dalam diri Klemen. Ia sosok dermawan yang ringan tangan bila masalah sosial kemasyarakatan singgah di rongga batinnya. Umat Katolik Keuskupan Timika khususnya tentu mencatat baik berdirinya gereja Katedral Tiga Raja tak lepas dari peran Klemen Tinal kala menjabat Bupati Mimika. Jiwa dermawan itu tentu merupakan teladan warisan kedua orangtua, Pendeta Abiel Tinal dan sang bunda, Elizabeth Kiwak. Tentu tak hanya rumah ibadah umat Katolik namun juga umat agama lainnya di wilayah tanah Papua.
Trivena Tinal, anggota DPR RI punya testimoni serupa usai ibadah penghiburan di Rumah Duka Sentosa RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (21/5) malam. Anggota DPR dari Partai Golkar ini mengisahkan, Klemen, kakak kandungnya, dibesarkan di keluarga misionaris yang berkeliling kawasan pegunungan di tengah Papua untuk mewartakan Injil.
Kata Trivena, masa kecil Almarhum Klemen sebagian besar dihabiskan untuk melintasi kawasan pegunungan di Papua. Ia dibawa ayah dan ibunya saat melintasi gunung dan lembah mewartakan Injil kepada masyarakat Papua. “Beliau kecil hidupnya digendong dari hutan ke hutan. Sebab misionaris dulu itu berkeliling melewati daerah pegunungan untuk mewartakan Injil. Hidup waktu kecil itu sudah menjadi bagian dari kehidupan Almahrum,” ujar Trivena.
Keutamaan seorang pemimpin
Sebagai pemimpin, Klemen juga mewarisi keutamaan hidup sebagai pelayan dan abdi masyarakat. Keutamaan hidup seperti memiliki sensivitas memperjuangkan nasib rakyat, bela rasa, dan penuh cinta juga dimiliki hampir sebagian pemimpin di tanah Papua. Gubernur Enembe dan Bupati Omaleng dan sejumlah pemimpin mewarisi hal-hal di atas. Saya mengenal Lukas saat ia menjabat Bupati Puncak sekaligus pucuk pimpinan partai di tingkat provinsi.
Jauh-jauh dari Puncak, karier Lukas menanjak hingga menjadi Gubernur bersama wakilnya Klemen, yang baru mengakhiri tugasnya sebagai Bupati Mimika periode kedua. Pasca putusan Mahmakah Konstitusi (MK) Senin (3/3 2013), saya menulis artikel, Agenda Gubernur Papua 2013-2018 (baca: Papus Pos, 14/3 2013). Intinya, menawarkan sejumlah agenda yang perlu juga menjadi perhatian duet keduanya.
Selain itu, tanggungjawab yang diemban mesti dilaksanakan dengan hati. Sebagai pemimpin bagi rakyat, Klemen juga memahami arti dan makna kepemimpinan bagi rakyatnya hingga ajal menjemput. Bahwa kepemimpinan politik pembangunan yang berkiblat pada kebaikan umum (bonum commune) selalu dipahami dalam artian luas. Hal yang menjadi warisan lain dalam sosok Klemen. Kepemimpinan lebih diarahkan di mana keadilan, bela rasa penuh cinta, dan pemeliharaan hidup diutamakan. Klemen memiliki itu dan menjadi legasi lain bagi rakyatnya.
Sumber: Timika Express, 26 Mei 2021