Kriminalisasi Lawan Politik: Ancaman bagi Demokrasi - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Kriminalisasi Lawan Politik: Ancaman bagi Demokrasi

Kriminalisasi Lawan Politik: Ancaman bagi Demokrasi. Gambar Ilustrasi: Istimewa

Loading

FENOMENA kriminalisasi terhadap lawan politik di Indonesia semakin menjadi perhatian publik. Praktik ini mencerminkan penyalahgunaan instrumen hukum demi kepentingan politik tertentu, yang tidak hanya mencederai demokrasi tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Kriminalisasi lawan politik sering kali dilakukan dengan memanfaatkan aparat penegak hukum untuk menjatuhkan individu atau kelompok yang dianggap mengancam kepentingan penguasa. Metode yang digunakan beragam, mulai dari rekayasa kasus hukum, penggunaan pasal karet, hingga tekanan politik yang membungkam kritik dan oposisi. Padahal, dalam negara demokrasi, perbedaan pandangan dan persaingan politik seharusnya dijalankan secara sehat dalam koridor hukum yang adil.

Salah satu bentuk kriminalisasi yang sering terjadi adalah penggunaan undang-undang yang multitafsir, seperti pasal-pasal pencemaran nama baik atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan dalih menjaga ketertiban, hukum malah dijadikan alat untuk mengkriminalisasi mereka yang menyuarakan kritik atau memiliki aspirasi berbeda dari pemerintah. Akibatnya, banyak tokoh oposisi, aktivis, dan jurnalis yang terseret dalam proses hukum yang sarat dengan kepentingan politik.

Dampak dari kriminalisasi ini sangat luas. Pertama, demokrasi menjadi semakin rapuh karena hanya ada satu narasi yang diperbolehkan, yaitu narasi penguasa. Masyarakat kehilangan keberanian untuk mengkritik atau mengungkapkan pendapat yang berbeda karena takut akan konsekuensi hukum yang dibuat-buat. Kedua, ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan semakin meningkat. Ketika hukum hanya ditegakkan terhadap pihak oposisi, sementara pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok dekat penguasa dibiarkan, maka hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan senjata politik.

Ketiga, kriminalisasi lawan politik juga menciptakan ketidakstabilan sosial dan politik. Ketika publik merasa bahwa keadilan tidak ditegakkan secara adil, maka mereka akan mencari cara lain untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Hal ini dapat berujung pada meningkatnya polarisasi di masyarakat dan bahkan konflik sosial yang lebih luas.

Indonesia sebagai negara demokrasi harus berkomitmen pada prinsip keadilan dan supremasi hukum. Penegak hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan, melainkan harus menjalankan tugasnya secara independen dan profesional. Mekanisme check and balance juga harus diperkuat agar kekuasaan tidak disalahgunakan untuk memberangus oposisi.

Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengungkap praktik-praktik kriminalisasi politik. Kebebasan berekspresi dan hak untuk beroposisi adalah pilar utama demokrasi yang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan segelintir elite. Reformasi sistem hukum yang lebih transparan, independen, dan bebas dari intervensi politik harus menjadi agenda prioritas guna memastikan bahwa hukum benar-benar menjadi panglima keadilan, bukan sekadar alat bagi mereka yang berkuasa.

Jika fenomena kriminalisasi politik dibiarkan terus terjadi, maka kita tidak hanya kehilangan demokrasi, tetapi juga membiarkan ketidakadilan merajalela dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia harus kembali pada prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan, kebebasan, dan kesetaraan di hadapan hukum. Hanya dengan begitu, cita-cita reformasi dan demokrasi yang sehat dapat terwujud. Semua pihak harus bersama-sama menjaga integritas hukum dan menjadikannya sebagai benteng keadilan, bukan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Keberanian untuk berbicara dan bertindak demi keadilan harus tetap dijaga agar demokrasi di Indonesia tetap hidup dan berkembang. (Yakobus Dumupa/Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :