Pro Kontra Pemekaran Provinsi di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Pro Kontra Pemekaran Provinsi di Papua

Imanuel H Mimin, Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Loading

Oleh Imanuel H Mimin

Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

PENETAPAN pemekaran tiga provinsi atau daerah otonom baru (DOB) di Papua oleh pemerintah pusat secara sepihak berdasarkan data intilijen belakangan ini menjadi polemik. Kebijakan terkait DOB telah melahirkan berbagai kubu di tengah masyarakat orang asli Papua (OAP).

Berbagai kalangan baik itu masyarakat biasa, aktivis, elit politik, dan pejabat hingga pemangku kepentingan (stakeholder) mengutarakan pendapat beragam terkait pemekaran tersebut. Beragam sikap pro dan kontra dimunculkan pula dengan beragam ekspresi.

Uniknya, respon pemekaran DOB di Papua ini bukan hanya datang dari internal orang Papua, tetapi juga masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Parahnya adalah respon pernyataan sikap yang datang bukan dari OAP untuk mendukung pemekaran. Sehingga respon ini mengundang pertanyaan balik dari internal orang asli Papua. Sebab pada dasarnya, berbicara dan menentukan nasib orang Papua dan masa depannya adalah hak mutlak OAP, bukan orang dari daerah lain.

Bukan tanah kosong

Sebelum berbicara lebih jauh terkait pemekaran dan pembangunan masa depan Papua, perlu disadari bahwa tanah Papua bukanlah tempat yang kosong. Wilayah yang memiliki luas 418.202,7 km persegi ini memiliki ratusan suku bangsa yang tersebar luas yang mendiami seluruh tempat baik di gunung, lembah, dataran rendah sampai di pesisir pantai Papua. Oleh sebab itu, jika berbicara konteks Papua penting juga untuk melihat dari berbagai segi terlebih manusianya. Karena mereka adalah pemilik tempat (wilayah).

Terkhusus bagi orang non-Papua, ada hal penting yang perlu diperhatikan. Bahwa demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, keharmonisan, kekeluargaan antar etnis (suku) maka salah satu pintu masuk ialah mengakui eksistensi orang Papua sekaligus menghormati hak-hak dasar orang asli Papua sebagai pemilik wilayah. Dengan demikian menjadi pintu masuk pula meminimalisir kecemburuan sosial dan konflik horizontal nantinya.

Mengapa hal itu penting, bertolak dari sejumlah sikap orang non-Papua di sejumlah wilayah di Indonesia. Pertama, ratusan orang yang tergabung Aliansi Warga Solo (AWS) melakukan aksi mendukung pemerintah dan DPR mengesahkan dan merealisasikan RUU DOB Papua. Ratusan orang AWS tersebut menyampaikan dukungan pada Pemerintah dan DPR RI mengesahkan dan merealisasi RUU DOB Papua di depan Gedung DPRD Kota Surakarta, Jawa Tengah (antaranews.com, 23/6 2022).

Kedua, beredar baliho berisi dukungan dari Ikatan Keluarga Toraja (IKT) Kabupaten Mimika terhadap pemekaran provinsi Papua Tengah. Namun pernyataan tersebut dikecam oleh berbagai pihak. Ketiga, dukungan dari Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) di Timika, Papua.

Dalam sebuah postingan di salah satu akun twitter adanya foto kerumumnan masyarakat Jawa di Timika yang berunjuk rasa dengan membawa spanduk bertulisan Kerukunan Keluarga Besar Jawa Bersatu (KKJB) mendukung Pembentukan Provinsi Papua Tengah dan Pelaksaan Otsus di Tanah Papua (https://mobile.twitter.com/Aligar97433372/status/1537429963887898624).

Beberapa sumber di atas memperlihatkan bukti adanya pernyataan sikap warga non-Papua mendukung pemekaran di atas tanah Papua. Warga masyarakat tersebut merupakan orang non-Papua. Aksi itu patut dipertanyakan sebab mereka telah mengintervensi hak orang asli Papua pemilik wilayah.

Tentu sangat baik bila sebagai sesama golongan masyarakat tidak menginginkan perampasan hak di atas wilayah atau daerahnya. Warga non-Papua patut menghargai orang Papua sebagai pemilik wilayah yang mempunyai hak mutlak atas masa depan mereka.

Hak mutlak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian hak adalah bentuk kebenaran, kepemilikan, kewenangan, kekuasaan, derajat, dan wewenang menurut hukum. RMT Sukamto Notonagoro mengemukakan, hak adalah sebuah wewenang di mana seseorang atau kelompok memiliki otoritas untuk menerima atau melakukan suatu hal yang diinginkan dan sudah semestinya diterima atau dilakukan oleh individua tau kelompok tersebut. Hak merupakan sesuatu yang tidak bisa diberikan kepada individu atau kelompok lain.

Pro-kontra terkait pemekaran provinsi di Papua adalah murni hak mutlak orang asli Papua. Entah menolak atau menerima, itu adalah hak orang asli Papua. Hal ini penting dan perlu dipahami oleh segenap masyarakat Indonesia pada umumnya. Mengapa? Pemekaran yang direncanakan dan diwujudkan bukanlah di atas tanah milik orang Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan atau Sumatera.

Sebagai masyarakat adat pemilik hak ulayat di atas tanah Papua maka sudah menjadi milik orang Papua untuk memutuskan nasib mereka di atas tanahnya. Orang asli Papua tentu tidak memiliki hak berbicara mengenai pemekaran di tempat lain di Indonesia.

Dengan alasan yang logis di atas, maka biarkanlah orang Papua menentukan pilihan mereka mengenai nasib masa depan mereka. Menerima atau menolak pemekaran dari pemerintah pusat, itu adalah hak mereka menentukan. Tidak etis jika pemekaran Papua dipaksa, didukung dan atau diterima orang dari daerah lain yang tidak memiliki hak atas tanah Papua.

Penetapan daerah otonom provinsi di Papua menjadi tiga atau lima bahkan lebih, itu adalah hak mutlak orang asli Papua. Mereka (orang asli Papua) yang memiliki tanah Papua beserta lapisan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Tanah Papua itu pemberian sang Maha Pencipta kepada leluhur orang Papua yang terus dijaga dari generasi ke generasi hingga saat ini.

Sama halnya orang Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali, dan Sulawesi yang mempunyai hak kepemilikan atas tanah masing-masing yang diberikan Tuhan kepada leluhur mereka. Dengan demikian, saling menghargai dalam berbagai hal terutama hak sangat penting untuk dijaga dan dihormati.

Sehingga sebagai sesama masyarakat negara dalam bingkai NKRI tetap menjaga etika agar hidup persaudaraan antar etnis tetap rukun tanpa adanya gesekan kecemburuan social dan lain sebagainya. Peribahasa, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung mengingatkan tentang etika. Bahwa di manapun kita berada, jika kita sebagai orang asing (pendatang) maka perlu menghargai dan menghormati tradisi, adat-istiadat dan juga hak orang setempat.

Tinggalkan Komentar Anda :