JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Senin (6/6) menggelar sidang perkara bernomor 24/PUU-XX/2022 dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
“Sidang kali ini menghadirkan Presiden Republik Indonesia diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Keterangan Presiden melalui wakil pemerintah yakni Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Agama dibacakan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama,” ujar Elias Ramos Petege kepada Odiyaiwuu.com melalui telepon genggam di Jakarta, Senin (6/6).
Sidang yang dilakukan secara virtual tersebut diajukan Elias Ramos Petege, putra asli Papua dari Kabupaten Dogiyai selaku pemohon. Ramos melakukan permohonan uji materi (judicial review) Pasal 2 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, soal pasal perkawinan beda agama, negara justru mengembalikan syarat sahnya perkawinan pada agama dan kepercayaan masing-masing.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, yang mengatur perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, dalam hal ini negara justru memberikan kebebasan kepada setiap orang dengan mengembalikan syarat sahnya perkawinan ke hukum agama kepercayaan masing-masing,” kata Arsul.
Menurut anggota Komisi Hukum DPR tersebut, jika dalam kepercayaan dan agama yang dianut oleh pemohon membolehkan perkawinan beda agama, maka negara harus mensahkannya secara administratif.
Menurut Ramos, pihaknya melalui kuasa hukum menggugat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini dilayangkan menyusul kandasnya Ramos menikahi perempuan karena beda agama. Cinta pria pemeluk Katolik ini kandas melangkah ke jenjang rumah tangga dari tangan seorang perempuan yang beragama Islam.
Kuasa hukum pemohon, Ni Komang Tari Padmawati mengatakan UU Perkawinan tidak memberikan kejelasan hukum terhadap perkawinan beda agama atau kepercayaan. Karena itu, kliennya menggugat aturan tersebut agar mendapat kejelasan. Selain itu, gagalnya niatan pernikahan kedua belah pihak juga karena adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara melalui UU Perkawinan.
Ni Komang Tari Padmawati lebih jauh mengatakan, ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan dinilai telah mencederai hak konstitusional pemohon. Hal itu sebagaimana yang diamanahkan Pasal 29 ayat 1 dan 2, Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28I ayat 1 dan 2, Pasal 28B ayat 1 serta Pasal 28D ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Pada 15 Juni 2022 mendatang, sidang pleno selanjutnya akan digelar kembali untuk mendengar keterangan pihak terkait, termasuk dari Majelis Ulama onesiesia,” kata Ramos. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)