Konflik Bersenjata di Tanah Papua dan Urgensi Dialog
OPINI  

Konflik Bersenjata di Tanah Papua dan Urgensi Dialog

Theo Hesegem

Loading

Oleh Theo Hesegem
Pembela Hak-Hak Asasi Manusia di Tanah Papua

KALAU dua belah pihak: kelompok yang punya kepentingan Indonesia harga mati dan Papua merdeka harga mati tidak punya niat untuk berdialog maka korban masyarakat sipil di Papua bakal terus berjatuhan. Judul opini ini adalah: konflik bersenjata di tanah Papua tidak akan pernah berakhir kalau Indonesia harga mati dan Papua merdeka harga mati; tidak pernah menyatakan sikap untuk berdialog.

Bila penulis memberi judul artikel di atas: konflik bersenjata di tanah Papua tidak pernah akan berakhir, tentu bisa juga melahirkan pertanyaan baru. Mengapa perlu artikel itu diberi judul demikian? Agar lebih jelas, penulis jelaskan sebagai berikut. Sekalipun penulis yakin pasti Anda, pembaca sekalian, tentu tahu bahwa terkait konflik bersenjata di Papua ada dua kelompok dan masing-masing punya kepentingan dari pandangan ideologi yang berbeda.

Dua kelompok itu ialah kelompok yang punya kepentingan Indonesia harga mati dan Papua merdeka harga mati. Kedua kelompok dimaksud masing-masing memiliki senjata yang canggih dan modern. Masing-masing ingin menunjukkan kehebatan dan kekuatan, tidak mau mengalah dan masing-masing ingin mau menang. Ada juga kelompok sipil yang ingin merdeka juga terdiri dari di dalam negeri dan juga di luar negeri.

Di luar negeri, misalnya, mereka yang terdiri dari Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kelompok ini tidak memiliki senjata, tetapi didorong dari ideologi Papua merdeka yang kuat, sehingga mereka melobi Papua merdeka di beberapa negara di tingkat internasional. Hal itu sulit dibendung oleh pemerintah Indonesia. Karena isu Papua merdeka sudah berakar dan bertumbuh. Apalagi isu Papua merdeka selalu diangkat dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Bukan hanya itu. Ada juga kelompok masyarakat sipil Indonesia dan elit-elit yang memiliki ideologi Indonesia harga mati. Mereka juga terdiri dari orang-orang yang tinggal dalam negeri dan di luar negeri. Mereka juga sedang melobi dan berjuang di tingkat internasional untuk mempertahankan dengan harapan Papua tetap bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak mau dipisakan dari Indonesia.

Kelompok elit politik Papua merdeka harga mati dan Indonesia harga mati yang penulis sebutkan di atas harus diajak untuk berdialog. Sekalipun kelompok ini sangat sulit diajak dan dipertemukan untuk berdialog. Karena masing-masing punya ideologi yang berbeda. Namun hemat penulis, dialog adalah hal urgen yang segera dilakukan.

Kita mengajak mereka untuk berdialog pun, mereka juga punya pandangan dialog yang berbeda selama ini sejauh pengataman saya. Bagi kelompok yang punya kepentingan Indonesia harga mati, selalu menganggap dialog tidak penting karena Papua adalah bagian dari NKRI dan dialog sudah berkali-kali dilakukan. Maksudnya, kalau sudah ada pertemuan dengan orang-oraang Papua, yang punya pandangan yang sama itu dianggap sudah berdialog

Tetapi bagi orang-orang yang menyatakan Papua merdeka, tidak sama dengan apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang punya ideologi Indonesia harga mati. Tetapi mereka mengharapkan dialog yang bermartabat, berwibawa dan dialog yang dimaksud difasilitasi oleh pihak ketiga. Kedua kelompok yang punya pandangan yang berbeda sangat sulit karena ada yang masih dalam keraguan untuk menuju pada dialog itu sendiri.

Seharusnya menurut hemat penulis untuk mengakhiri kekerasan konflik bersenjata di tanah Papua, yang berdampak terjadi dugaan pelanggaran hak asasi manusia, kedua kelompok harus menyatakan keinginannya untuk berdialog.

Sepengetahuan kita semua, kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Justru akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari kedua belah pihak. Hingga saat ini juga terjadi dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua dan Indonesia selalu mendapat sorotan dari berbagai negara dan dunia internasional.

Kita semua ketahui, sejak 2018 hingga 2022 TNI-Polri, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), dan masyarakat sipil terus menjadi korban kekerasan. Tanah Papua penuh dengan lumuran darah manusia. Konflik bersenjata tidak hanya terjadi di tanah Papua. Konflik bersenjata juga terjadi di belahan dunia lain. Konflik yang dimaksud hanya bisa diakhiri dengan dialog yang bermartabat.

Dialog penting

Dialog untuk mengakhiri konflik bersenjata di tanah Papua sangat urgen, penting. Dialog tidak pernah membunuh dan menghilangkan serta menyakiti siapa-siapa. Karena kita semua tidak mau masyarakat sipil jadi korban sia-sia hanya karena konflik bersenjata yang sedang dilancarkan oleh TNI-Polri dan TPNPB-OPM.

Dampak dari konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB-OPM telah memakan korban jiwa masyarakat sipil di tanah Papua. Tanah Papua selama ini disebut-sebut sebagai gudang pelanggaran HAM.

Untuk mengakhiri kekerasan di tanah Papua, sudah lama Pastor Dr Neles Kebadabi Tebay Pr dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura mengusulkan perlunya dialog Jakarta-Papua. Imam Keuskupan Jayapura itu menyodorkan konsep dialog dalam buku Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua.

Begitu pula Dr Muridan S Widjojo mengulas ikwal dialog dalam buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, telah menggagas pentingnya mendorong dialog dan mengajak berbagai pihak untuk menyatakan kesediaannya duduk bersama guna berdialog. Namun, rencana dialog dimaksud berjalan sangat lamban setelah Pastor Neles Tebay dan Muridan Widjodo meninggal.

Sekalipun kedua kelompok yang dimaksud ada yang tidak senang dan tidak mau berdialog, tetapi jangan lupa bahwa dialog angat penting. Melalui dan dalam dialog itu banyak hal dibicarakan dan berpotensi menghentikan kekerasan di tanah Papua. Tetapi sulit juga kalau kedua kelompok yang dimaksud masing-masing tidak menyatakan kesediaannya untuk berdialog.

Tinggalkan Komentar Anda :