Ketika Paus Leo XIV Mengingat Tanah Papua: Sebuah Harapan dari Tanah yang Pernah Disapa - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Ketika Paus Leo XIV Mengingat Tanah Papua: Sebuah Harapan dari Tanah yang Pernah Disapa

Yakobus Dumupa, Umat Katolik Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Yakobus Dumupa
(Umat Katolik Papua)

PADA 8 Mei 2025, suara lonceng sukacita dari Vatikan menggema ke seluruh penjuru dunia. Di antara dentang sukacita itu, gema yang paling menyentuh mungkin terdengar paling dalam di ujung timur Indonesia—Tanah Papua. Hari itu, Kardinal Robert Francis Prevost dari Ordo Santo Agustinus (OSA) terpilih menjadi Paus dan mengambil nama Paus Leo XIV. Bagi umat Katolik di Tanah Papua, kabar ini bukan hanya berita besar, tetapi juga berita yang menggetarkan hati. Sebab Paus yang baru ini bukanlah sosok asing—ia pernah hadir secara nyata, secara manusiawi, di tengah umat yang hidup di tanah yang kaya, namun penuh luka ini.

Dua puluh dua tahun yang lalu, pada 2003, Pater Robert Prevost—yang saat itu menjabat sebagai Prior Jenderal OSA—datang berkunjung ke Tanah Papua. Ia tidak datang sebagai pejabat tinggi yang menjulang, melainkan sebagai seorang saudara seiman yang ingin melihat, menyapa, dan memahami. Ia menjejakkan kaki di Sorong, menyentuh tangan-tangan umat, menyimak cerita kehidupan mereka, dan barangkali diam-diam menyimpan Tanah Papua dalam hatinya. Maka ketika namanya diumumkan sebagai Paus, umat Katolik di wilayah ini tidak hanya bersorak dalam kegembiraan universal, tetapi juga meneteskan air mata haru karena kenangan itu kembali hidup—begitu dekat, begitu nyata.

Kisah ini adalah bagian dari sejarah panjang pelayanan para imam OSA di Tanah Papua. Sejak awal tahun 1950-an, mereka datang, tinggal, dan hidup bersama umat di wilayah Kepala Burung. Dalam keheningan dan kesederhanaan, mereka membangun gereja, membuka sekolah, merawat yang sakit, dan terutama: menemani. Mereka tidak hanya mengabarkan Injil, tetapi menjelmakan kasih dalam tindakan nyata. Mereka menyatu dengan tanah dan manusia Papua, ikut merasakan suka-duka kehidupan umat yang sering kali hidup dalam keterbatasan dan ketertinggalan.

Kini, ketika pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia berasal dari ordo yang sama, umat Katolik di Tanah Papuamerasa bahwa Tuhan tidak lupa. Bahwa dalam sejarah yang kadang terasa sunyi dan sepi, ada jejak yang menghubungkan mereka dengan pusat Gereja. Dan jejak itu hidup kembali, menguatkan hati, serta menyalakan harapan yang lebih besar.

Harapan itu semakin bersinar karena hanya beberapa hari setelah pemilihan Paus Leo XIV, umat Katolik Papua juga bersiap menyambut pentahbisan Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA, sebagai Uskup Timika pada 14 Mei 2025. Ia akan menjadi Uskup Orang Asli Papua kedua dalam sejarah, setelah Mgr. Yanuarius Teofilus Matopai You, Uskup Jayapura. Mgr. Bernardus adalah anak kandung dari tanah ini, yang tumbuh bersama umatnya dan kini dipanggil untuk menggembalakan mereka. Fakta bahwa ia berasal dari ordo yang sama dengan Paus, terasa seperti konfirmasi dari surga—bahwa benih yang ditanam dengan air mata dan doa kini tumbuh menjadi pohon pengharapan.

Namun di balik sukacita itu, ada luka yang masih menganga. Tanah Papua adalah tanah yang diberkati, namun juga terluka. Luka itu tidak sederhana. Ada sejarah yang belum diakui secara jujur, kekerasan yang masih terus terjadi tanpa keadilan, diskriminasi yang menyusup dalam berbagai kebijakan, dan pembangunan yang lebih sering mengorbankan daripada membahagiakan. Luka-luka ini tidak bisa diobati hanya dengan seremoni atau simbol. Tanah Papuamembutuhkan suara—suara yang bersumber dari nurani, dari kasih, dari keberanian untuk berdiri di sisi mereka yang tertindas.

Di sinilah Gereja Katolik, melalui kepemimpinan Paus, bisa menjadi suara profetik. Ketika Paus Leo XIV mengingat Tanah Papua, harapan itu bukan harapan kosong. Sebab ia pernah datang, pernah melihat, pernah mendengar. Jika ia bersedia berbicara, tidak sebagai politisi, tetapi sebagai gembala umat, maka dunia akan mendengar. Dan suara dari Roma bisa menjadi embun di atas tanah yang kering, menjadi pelita di malam yang gelap.

Kini, umat Katolik di Tanah Papua tidak sekadar merayakan terpilihnya Paus baru atau menyambut Uskup Timika yang baru. Mereka berdoa dan berharap—agar Paus Leo XIV, yang pernah menginjakkan kaki di tanah ini, tidak melupakan Tanah Papua. Agar kenangan itu menjadi kompas, agar pengalaman itu berubah menjadi perhatian. Dan agar dari Vatikan, suara Gereja benar-benar menjadi suara kasih yang berpihak pada mereka yang paling membutuhkan.

Karena bagi umat Katolik di Tanah Papua, kehadiran Paus di masa lalu bukan hanya kunjungan biasa. Itu adalah tanda. Dan sekarang, mereka menunggu: apakah tanda itu akan tumbuh menjadi terang yang menyapa kembali, membawa damai, dan membalut luka-luka lama dengan harapan baru.

Tinggalkan Komentar Anda :