Ketegangan Iman Manusia Modern - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Ketegangan Iman Manusia Modern

Ben Senang Galus, penulis buku ‘Gereja, Kapitalisme, dan Penyaliban Kaum Lemah’ Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Penulis buku ‘Gereja, Kapitalisme, dan Penyaliban Kaum Lemah’, tinggal di Yogyakarta

BERBAGAI perkembangan dan perubahan, terutama godaan konsumerisme dan materialisme, membuat banyak orang cenderung mulai merasa kurang tertarik dengan masalah spiritual dan rohaniah. Orientasi yang berlebihan terhadap kemajuan material dan fisik mengakibatkan manusia mengalami ketimpangan karena aspek rohaniah dan spritualnya ditelantarkan.

Semakin banyak orang larut dalam berbagai pesona material, dan tidak sedikit orang mulai mengalami ketegangan antara tarikan kehidupan spiritual dengan tarikan kehidupan material. Bahkan ada yang sudah jauh meninggalkan kehidupan iman.

Sekitar tahun 1990-an ketegangan dalam hidup beriman itu hanya menyangkut soal hubungan vertikal dengan pencipta, dan dalam hubungan horizontal dengan sesama, terutama dalam hubungan dengan lain agama. Akan tetapi saat ini ketegangan iman itu telah bergeser dalam konteks relasi manusia dengan benda. Banyak kalangan menilai pembangunan ekonomi sering dituding sebagai pembawa resiko tertentu, masyarakat kita cenderung materialistis dan konsumtif.

Budaya materialistik dan konsumtif yang berlebihan membuat manusia mengalami ketegangan iman, menjadi tergoncang imannya, yang sebetulnya ia masih haus akan nilai-nilai spiritual. Artinya apa yang dia peroleh pada akhirnya tidak lebih sebagai bentuk baru menyembah berhala. Masyarakat konsumeris memproduksi apa saja yang bisa memuaskan semua keinginan manusia untuk membuatnya bahagia. Mereka mengira bahwa kebahagiaan bisa terjadi dengan memuaskan semua kebutuhan tersebut.

Kebahagian semu

Hampir seluruh energi dikerahkan untuk pembebasan dan pemenuhan hawa nafsu: nafsu kebendaan, kekayaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan dan ketenangan. Manusia modern mengejar kenikmatan, ketenangan dan kebahagiaan. Celakanya, mereka hanya mendapatkan kebahagiaan semu dan kenikmatan itu dalam kerajaan materiasme.

Dalam kompleksitas kebahagiaan semu itu manusia modern sebenarnya mengalami ketegangan iman. Ketegangan iman manusia modern sesungguhnya awal dari krisis iman, karena relasi antarmanusia selamanya selalu dikur dari segi materialisme, yang pada akhirnya manusia modern mengalami Tuhan itu tidak lebih sebagai transenden belaka.

Budaya materialisme yang berdampak pada ketegangan iman, semestinya dimengerti dalam konteks sosio-budaya masyarakat modern yang secara de facto dan de jure yang berada dalam tahap transisi, perubahan, mencari bentuk untuk mendapatkan identitas sosial dan personalnya. Sesungguhnya manusia modern tidak hidup dalam isolemen melainkan terlibat dalam interkomunikasi timbal balik yang banyak arah.

Dengan kata lain manusia modern tidak lagi menjadi suatu kumpulan umat manusia tunggal dengan wajah kebudayaan tunggal melainkan cenderung berubah dan berkembang menuju suatu masyarakat baru yang hetrogen yang ditandai oleh multi keyakinan atau pluralisme budaya.

Beragamnya berbagai produk modern yang menawarkan berbagai kebutuhan manusia, baik melalui media televisi, instagram, maupun media sosial lainnya, tidak hanya menawarkan kebutuhan manusia, tapi juga turut menciptakan tipe kebudayaan baru (baca: iman baru) yang ditandai oleh prinsip pertumbuhan dan kemajuan sebagai ideologi imperatifnya. Maka dampak negatifnya bisa mengganggu keutuhan atau totalitas pribadi manusia sebagai insan kamil.

Dampak negatif dari ideologi materialisme atau kemajuan tanpa batas itu melampaui batas-batas kewajaran dari pertumbuhan atau perkembangan yang mungkin paling masuk akal dengan kata-kata yang tepat, seperti hilangnya identitas moral dan spiritual manusia, karena kemajuan ilmu pengetahuan yang melampaui batas kewajaran itu secara radikal berubah sama sekali persepsi manusia mengenai dirinya sendiri dan orang lain.

Dengan demikian menusia menjadi teralienasi dari dirinya sendiri sebagai ciptaan Tuhan, lingkungan masyarakat budayanya yang membuat dia sebelum ini menjadi kerasan, dari hasil karyanya sendiri. Teknologi maju membuat manusia sebagai mesin dalam proses perkembangan automatis.

Automatisasi membuat manusia bukan lagi subyek human yang otonom, melainkan budak yang tertindas karena keseimbangan psikologisnya terguncang ketika norma-norma etos sosial, moral, dan spiritual dijungkirbalikkan. Maka tidak heran kalau rasa keadilan sosial, solidaritas sosial, moral pada manusia modern meluntur habis, karena etika dan solidaritas sosial diganti dengan etika materialisme yang menjadi tolok ukur kriterium nilai.

Sehingga manusia modern tidak lagi menjadi makluk sosial yang hidup bersama dengan orang lain melainkan makluk tunggal yang hidup sendirian dalam penjara kebudayaan yang diciptakannya sendiri, yang hanya bisa bertahan karena pupuk materialisme sebagai konsekuensi logis dari ideologi pertumbuhan tanpa batas di bidang ekonomi.

Materialisme lebih jauh memaksa manusia untuk memandang dirinya sebagai dewa dan Allah dalam dunia. Begitu sekularisme dan ateisme praktis muncul sebagai “agama baru”, tanpa promulgasi resmi. Dalam hal ini kita bisa mengingat kembali citra raja Firaun, ketika Nabi Musa menerima Sepuluh Perintah Allah di Gunung Sinai, Firaun dan rakyatnya menyembah patung emas sebagai Allah lain, yang pada akhirnya mereka menjadi murka. Itulah gambaran manusia modern saat ini.

Bahaya paling fatal yang disemburkan materialisme dan konsumerisme adalah kecenderungannya untuk tidak mempedulikan tuntutan moral, kehangatan spiritual dan makna kemanusiaan. Orang tergila-gila untuk memiliki dan mengkonsumsi sebanyak mungkin, tatapi imannya mengalami kehampaan.

Manusia modern tidak tumbuh seimbang. Kepribadiannya terpecah. Akibatnya, manusia modern kehilangan iman di atas tumpukan kemewahan. Mereka menyisihkan sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan dan pencerahan spiritual.

Padahal sebetulnya manusia tidak bisa menahan kekosongan batin. Hal itu merupakan tuntutan kodrati. Tanpa adanya kepenuhan rohani yang meresapi seluruh diri, kodrat itu akan berusaha menambal kekurangan itu dengan kebahagian buatan (artificial) dan palsu.

Di sinilah letak ketergiuran manusia modern terhadap kekayaan dan kemewahan hidup. Seperti dilansir Gustav Jung, ada sesuatu yang tidak beres dalam dunia kita. Segala dambaan material, uang, rumah, mobil, televisi, dan pencakar langit yang kita miliki tidak memuaskan kehausan jiwa kita.

Pembangunan memicu perubahan sosial. Perubahan itu tidak hanya terjadi secara fisik, tapi juga perubahan sikap mental. Nilai-nilai mengalami pergeseran. Nilai-nilai lama dan baru saling berhadapan. Dalam situasi konfrontatif itu, setiap orang terdesak untuk membuat pilihan.

Bahaya muncul karena orang tercerabut dari akar nilai-nilai yang pernah membesarkannya, dan cenderung terpesona oleh nilai-nilai baru itu, tapi tidak masuk sungguh-sungguh di dalamnya. Situasi ini menimbulkan krisis iman atau bisa disebut ketegangan iman.

Orang merasa kehilangan orientasi dan pegangan hidup. Orang merasakan kebosanan untuk hidup. Hidup kehilangan makna dan tujuan. Inilah wabah yang paling akut yang dialami manusia modern dewasa ini.

Kalau memang benar sebagian manusia dilanda krisis, khususnya aspek moral dan spiritualnya, sudah saatnya kita memeriksa batin sebelum datang bahaya yang lebih besar. Krisis itu, bagaimanapun, bukan hanya merupakan gugatan terhadap pembangunan yang menghasilkan masyarakat atau manusia materialis dan konsumeris, tapi juga memberikan tamparan keras terhadap keberadaan agama dalam masyarakat.

Sejauhmana agama menjadi satu-satunya alternatif pandangan hidup yang sungguh memberikan bukan hanya jawaban atas misteri terang alam dan manusia, melainkan juga pada masalah konkret, seperti problem social dan ekonomi.

Meminjam terminologi Anselm K. Min dalam Faith, Hope, Love, and Justice (2012), iman manusia modern saat ini seolah-olah tidak mempunyai akar dengan ajaran kitab suci. Dalam kondisi yang demikian akan memunculkan gejala baru yaitu apa yang disebutnya “agama semu” (quasi faith). Manusia modern mengalami kerapuhan oleh proses perubahan yang tidak pernah berhenti. Budaya materialisme kian merasuk iman kita. Pada hal dalam kita suci agama apapun mengajarkan agar kita tidak bersikap boros.

Maka manusia modern dihadapkan pada tantangan kehidupan sehari-hari yang serba sulit, ditambah lagi suatu kemungkinan terjadinya involusi iman, yaitu kencendrungan sikap manusia yang semakin eksklusif sebagai manifestasi ketidakmampuannya menyerap nilai-nilai baru budaya materialisme yang seakan-akan mengancam resistensi iman mereka.

Dengan perubahan yang terlampau cepat dapat menyebabkan timbulnya gejala krisis iman, yang menjurus pada pendewaan harta benda. Sebenarnya saat ini telah terjadi yakni, lapisan dalam hidup kita “ethico-mythical nucleus” yang merupakan central point of reference telah mengalami kematian. Misalnya dalam masyarakat luas telah terjadi penyimpang etika dan moral yang serius, seperti adanya budaya korupsi penyalagunaan wewenang, yang tak jarang melibatkan orang-orang mengakui Tuhan.

Dalam arus kuat modernisasi dan perubahan tersebut kita dihadapkan dengan beberapa pertanyaan berikut ini, sanggupakah merevilitalisasi iman kita? Atau masihkah kita ikut berperan dalam mengendalikan arah dan arus perubahan yang melanda situasi iman kita saat ini? Ataukah tenggelam dan terpaksa ikut arus? Menjadi bagian dari kekeliruan itu? Atau masihkah moral kita mempunyai fungsi dan peranan sebagai “watchdog” terhadap arah perubahan yang keliru itu?

Jawabannya terserah pada kita masing-masing. Namun sebagai orang yang beragama, berkembangnya budaya materialisme tidak serta merta kita terjebak dalam arus kuat budaya materialisme yang melanda umat manusia saat ini. Waspadalah! Materialisme akan menggilas iman kita.

Tinggalkan Komentar Anda :