Oleh Eugene Mahendra Duan
Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah
PERSATUAN dan keragaman telah menjadi prinsip fundamental yang memandu bangsa Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu merupakan semboyan nasional Indonesia.
Semboyan itu mencerminkan tekad bangsa untuk merangkul perbedaan sebagai kekuatan yang mempersatukan keberagaman budaya, etnis, dan agama dalam satu kesatuan yang harmonis. Namun, penerapan semboyan ini kerap dihadapkan pada berbagai tantangan, semisal di wilayah tanah Papua.
Kita tahu, tanah Papua atau bumi Cenderawasih memiliki kekayaan budaya, sejarah, dan identitas yang unik. Dengan menggunakan perspektif filsafat eksistensial Martin Heidegger, kita dapat mengkaji dan memahami tantangan ini dengan lebih mendalam.
Filsuf asal Jerman Martin Heidegger dalam Being and Time (1927) memperkenalkan konsep dasein yang berarti “ada-di-sana.” Dasein menggambarkan cara keberadaan manusia yang tidak sekadar ada secara fisik di dunia, tetapi juga berhubungan secara mendalam dengan lingkungannya, sejarahnya, dan budayanya.
Terjalin erat
Dalam konteks Papua, identitas dasein ini terjalin erat dengan tanah, alam, dan tradisi mereka. Keberadaan masyarakat tanah Papua tidak dapat dipisahkan dari konteks historis dan kultural yang membentuk mereka.
Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika di tanah Papua adalah bagaimana mengakui dan menghargai identitas dasein dari masyarakat paling timur Indonesia tanpa mengasimilasi atau menghapus keunikan mereka. Kebijakan pemerintah pusat kerap homogen dan kurang sensitif terhadap keunikan lokal.
Misalnya, program pembangunan dan modernisasi seringkali tidak memperhitungkan nilai-nilai dan cara hidup masyarakat adat Papua. Pendekatan yang sentralistik ini dapat mengancam eksistensi budaya dan identitas lokal yang sudah ada sejak lama.
Heidegger juga menekankan konsep “being-with” (mitsein) yang menggambarkan manusia selalu berada dalam hubungan dengan orang lain. Dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika hal ini berarti bahwa keberagaman budaya di Indonesia harus dilihat sebagai sebuah jaringan hubungan yang saling terhubung dan saling mempengaruhi.
Namun, di tanah Papua hubungan ini sering kali tidak seimbang. Masyarakat tanah Papua sering merasa diabaikan atau diasingkan dalam proses pengambilan keputusan nasional.
Untuk mewujudkan Bhineka Tunggal Ika yang sejati diperlukan ruang dialog yang setara, di mana suara dan aspirasi masyarakat Papua didengar dan diperhitungkan. Keberadaan bersama yang sejati (mitsein) ini harus dibangun di atas dasar saling menghormati dan memahami perbedaan sebagai kekayaan, bukan sebagai halangan.
Pendidikan yang inklusif dan sensitif budaya, misalnya, bisa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan pemahaman dan penghormatan terhadap budaya Papua di seluruh Indonesia. Program-program seperti pertukaran pelajar dan kerjasama budaya antar daerah bisa membantu memperkuat rasa persatuan dalam keragaman.
Selain itu, Heidegger menekankan pentingnya otentisitas dalam eksistensi manusia. Otentisitas berarti hidup sesuai dengan nilai-nilai, kepercayaan, dan tradisi yang diyakini. Bagi masyarakat Papua, otentisitas ini tercermin dalam cara hidup mereka yang harmonis dengan alam serta dalam adat istiadat dan ritual yang mereka jalankan.
Tantangan Bhinneka Tunggal Ika adalah memastikan bahwa proses pembangunan dan modernisasi di tanah Papua tidak mengorbankan keotentikan ini. Pemerintah harus mendukung upaya masyarakat Papua untuk melestarikan dan mengembangkan budaya mereka sendiri, bukan memaksakan nilai-nilai dari luar yang bisa merusak identitas lokal.
Contoh konkret dari hal ini adalah pendekatan terhadap pembangunan infrastruktur di Papua. Sementara pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, prosesnya harus melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
Dengan demikian, pembangunan tersebut tidak hanya menjadi alat untuk mempercepat modernisasi, tetapi juga sarana untuk memperkuat identitas dan keberdayaan masyarakat tanah Papua.
Heidegger juga berbicara tentang konsep “keterlemparan” (geworfenheit) yang menggambarkan kondisi manusia yang terlempar ke dunia tanpa bisa memilih asal-usulnya. Dalam konteks Papua, ini bisa diterjemahkan sebagai pengakuan bahwa masyarakat Papua, dengan semua keunikan dan kompleksitasnya, adalah bagian integral dari bangsa Indonesia.
Tantangan Bhinneka Tunggal Ika adalah bagaimana negara bisa mengakomodasi keberagaman ini dengan adil dan setara, tanpa meminggirkan atau mendiskriminasi kelompok-kelompok tertentu. Heidegger menyarankan bahwa pemahaman yang lebih mendalam tentang keberadaan manusia bisa dicapai melalui refleksi dan dialog yang terus-menerus.
Dalam konteks tanah Papua, ini berarti bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan perlu terus menerus membuka ruang dialog dan refleksi bersama masyarakat.
Dialog penting untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang tantangan dan aspirasi mereka, serta untuk menemukan solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dalam rangka mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika yang sejati di tanah Papua, diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat Papua, melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan, dan menghargai identitas serta eksistensi mereka sebagai bagian integral dari keberagaman Indonesia.
Dengan demikian, konsep Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya menjadi semboyan, tetapi juga menjadi realitas yang hidup dan dirasakan oleh semua warga negara Indonesia, termasuk masyarakat tanah Papua.
Melalui pendekatan yang lebih mendalam dan inklusif, kita bisa berharap bahwa Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi fondasi yang kuat untuk persatuan dan harmoni di tengah keragaman yang ada.
Hanya dengan memahami dan menghargai keragaman ini, kita bisa mewujudkan visi Indonesia sebagai negara yang benar-benar menghormati dan merayakan perbedaan sebagai kekuatan, bukan sebagai kelemahan.