Oleh Ismail Asso
Intelektual Muslim Papua
BARANGSIAPA sudah melewati tahapan post intelektualisme yakni tahap tercerahkan dalam arti golongan orang yang cara berpikirnya sudah mencapai tingkat aufklarung, enlightenment (tercerahkan), maka orang-orang golongan seperti ini pemahamannya jauh melampaui rata-rata masyarakat biasa, awam (umum).
Orang-orang biasa, awam (masyarakat umum) saat ini, yang sudah tercerahkan cara berpikirnya melampaui di seberang. Cara berpikir mereka jauh ke depan melampui rata-rata cara berpikir orang biasa, yang lebih bertahan pada bungkusan, gambar atau simbol. Sebaliknya, bagi yang sudah tercerahakan mereka lebih lebih berpikir pada isi (substansi), bukan lagi pada bungkusan, gambar atau simbol.
Mereka, dalam terminologi kata Yunani adalah kaum sophos (ahli hikmat). Cara berpikir jauh melampaui ketika pada saat yang sama di saat kebanyakan orang, awam atau umum) masih pada tahap mementingkan bukan inti (isinya) tapi pada bungkusan (formal, jargon, simbol).
Demikian orang sudah tercerahkan secara intelektual pada di tingkat pencerahan (aufklarung, enlightenment) maka orang seperti itu biasanya menganut paham merdeka secara substansial dalam arti isinya, bukan bungkusannya.
Baginya yang penting (urgen) esensi (isi/intinya), bukan legal formalnya. Bukan bungkusan tapi inti dari isi bungkusan, dalam pengertian merdeka dalam arti lebih pada pengertian substantial. Bukan lagi merdeka secara simbolik dalam arti batas teritory dan segala atribut symbol ketatanegaraan kaku dan rigid.
Merdeka penting dalam arti simbol berguna sebagai syarat pengajuan dan pengakuan kedaulatan sebuah negara belum merdeka berdaulat. Tapi kalau negara sudah berdaulat, tidak terlalu penting tapi kemakmuran, kesejahteraan, kenyamanan hidup warga negaranyalah yang utama.
Orang yang berada pada tahapan intelektual di tingkat tercerahkan itu biasanya jarang atau abai mementingkan simbol sebagai yang penting. Mereka lebih mementingkan substansi, bukan lagi segala bentuk gambar dan simbol formalistik dengan segala atribut dan batas teritori yang umumnya bersifat lambang.
Mantan Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid adalah salah seorang Presiden Indonesia sebagai pelopornya. Karena itu bagi Gus Dur, pengguanaan lagu Papua, Hai Tanahku Papua dan Bendera Bintang Kejora adalah lambang kultural bagi rakyat Papua. Hai Tanahku Papua dan Bintang Kejora adalah indentitas budaya yang boleh digunakan orang Papua.
Karena itu selama orang Papua menggunakan simbol kultural itu di dalam tubuh negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), selama itu pula orang Papua dilindungi negara melalui aparat TNI-Polri yang merupakan pengayom seluruh warga negara Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika atau majemuk.
Kibarkan Bintang Kejora
Era Pemerintahan Presiden Gus Dur orang Papua dipersilahkan mengibarkan bendera Bintang Kejora setengah tiang atau menyanyikan lagu Hai Tanahku Papua. Orang Indonesia warga Papua secara alamiah (natur) boleh menjadi warga negara dunia di dalam NKRI meski berkulit hitam, berambut keriting, beretnis Melanesia. Mereka tidak mungkin dipaksa menjadi orang Jawa, Bugis, Melayu, dan lain-lain. Sehingga Presiden Gus Dur mengembalikan nama Papua dari Irian Jaya.
Pertumbuhan dan pemeliharaan lambang identitas masing-masing warga negara Indonesia berbagai suku dan etnis serta agama (pluralitas) dari Aceh sampai Papua itu sendiri sesungguhnya sebagai bagian dari kewajiban asasi sekaligus hak asasi, bukan penghargaan oleh siapa untuk apa tapi alamiah.
Secara alamiah, natural perbedaan indentitas di dalam kesatuan berbangsa dan bernegara dalam rumah bersama oleh Bung Karno dinamai sebagai Indonesia masing-masing warga turut hadir membawa perbedaan identitas sebagai ciri khusus. Perbedaan identitas bukan sesuatu yang negatif atau tabuh yang arus dihilangkan tetapi itu adalah alat identifikasi, tanda pengenal dalam persatuan atribut alamiah kewargaan rumah bersama bernama Indonesia.
Kulit hitam, rambut keriting merujuk tembang Aku Papua yang dipopulerkan penyanyi asli Papua Edo Kondologit adalah identitas, lambang kultur bagi rakyat Papua yang wajib. Ia bukan saja dijaga, dirawat oleh TNI-Polri tetapi harus dikembangkan, dipelihara agar tetap tumbuh secara alami.
Karena itu, Gus Dur tidak menganggap terlalu penting hal-hal yang bersifat simbol. Atau apalagi noken dan gelang buatan mama-mama Papua, yang dijual di emperan tokoh sekitar Pasar Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) Jayapura biasa saja karena merupakan kekhasan warisan leluhur yang harus dimuliakan.
Bagi orang yang sudah pada tahapan cara berpikir di tingkat ini, persoalan simbol tidak ditakutkan sama sekali sebagaimana ketakutan kelompok orang dengan anggapan simbol penting seperti saat ini. Sehingga masih ada oknum anggota yang seharusnya melindungi dan merawat identitas itu, malah sebaliknya membasmi.
Penggunaan nama Irian Jaya menjadi Papua bagi paham substansial adalah biasa. Sebab nama hanya semata nama kecuali mengganggu stabilitas kedaulatan NKRI maka penggunaan kekerasan sebagai jalan terakhir ditempuh sebagai pertahanan kekuasaan nasional.