JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Kandidat doktor Ilmu Hukum sekaligus intelektual muda putra asli Papua Methodius Kossay, SH, MH menyoroti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Republik Indonesia terkait rencana Rapat Koordinasi Penyusunan Tanggapan Pemerintah Republik Indonesia atas Komunikasi Bersama Special Procedure Mandate Holders (SPMH) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai berbagai kasus di tanah Papua yang akan digelar pada Senin (14/2) mendatang di Jakarta.
“Saya berpadangan, pertemuan itu harus berbicara dengan basis data dan fakta. Pertemuan penting itu juga tidak boleh bicara dengan berlindung di balik Undang-Undang Otonomi Khusus tentang Papua dan Instruksi Presiden,” ujar Methodius Kossay kepada Odiyaiwuu.com saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (12/2).
Menurut Metho, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, jika rapat koordinasi tersebut untuk menyiapkan bahan atas pertanyaan atau penyampaian informasi melalui komunikasi Special Procedure Mandate Holders, pihaknya mengingatkan agar pertemuan itu sungguh untuk menjaring informasi berbasis data empiris.
Namun, sebelumnya kata Metho, penulis buku Menangkal Paradigma Negatif dengan Prestasi, perlu upaya menjaring informasi tersebut perlu dilakukan bersama yang melibatkan tak hanya pemerintah tetapi juga seluruh pemangku kepentingan atau stakeholders baik pusat maupun daerah. Metho menambahkan, berdasarkan informasi yang beredar Kementerian Polhukam akan menggelar rapat koordinasi pada 14 Februari mendatang.
Melalui surat Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kementerian Polhukam melalui surat nomor UN-210/LN.00.03/02/2022 tertanggal 8 Februari 2022, sejumlah pihak akan hadir dalam Rakor Penyusunan Tanggapan Pemri atas Komunikasi Bersama SPMH PBB mengenai berbagai kasus di Papua dan Papua Barat.
“Saya meminta agar Rakor itu harus dilaksanakan secara objektif. Apalagi, dalam surat undangan tersebut tidak menyebutkan dan tidak turut diundang Majelis Rakyat Papua selaku representasi kultural orang asli Papua sebagaimana amanat dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dan beberapa LSM yang konsen dan mengawal kasus-kasus dugaan dpelanggaran HAM di Tanah Papua. Melihat pada isi surat tersebut terkesan sepihak dan tidak melibatkan pihak lain di tanah Papua,” katanya.
Metho, lulusan Program Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengemukakan, menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di tanah Papua harus melibatkan berbagai pihak atau stakeholders yang selama ini selalu menyuarakan dan mengawal berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua. Pengungkapan kebenaran tentang dugaan pelanggaran HAM, ujarnya, harus dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi Pemerintah dan swasta yang berbasis data empiris yang akuntabel.
Dalam klarifikasi dan penjelasan mengenai sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua sebagaimana pemerintah Indonesia telah menerima komunikasi dari mekanisme Dewan HAM PBB, yang meminta klarifikasi dan penjelasan mengenai sejumlah kasus dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa.
“Proses pelaporan terkait dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua harus sesuai fakta yang diperoleh di lapangan sehingga bisa menyelesaikan masalah Papua yang sampai saat ini belum kunjung selesai,” tegas Methodius Kossay mengingatkan. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)