Oleh Pendeta Dr Socratez Yoman, MA
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua
DULU, persoalan kekerasan negara dan kejahatan kemanusiaan di tanah Papua disampaikan oleh media massa yang diawasi, dikontrol dan disensor oleh penguasa dan militer Indonesia. Karena media-media utama di Indonesia milik dari penguasa. Kalau ada media yang memuat berita tidak sesuai keinginan penguasa, terutama militer, media itu langsung dilumpuhkan dan dihancurkan.
Dalam keadaan yang dikontrol dan diawasi oleh penguasa dan militer seperti itu, para wartawan tidak ada pilihan lain, tetap melayani keinginan para penguasa. Akibatnya, selama 61 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang dalam pandangan hidup seluruh rakyat Indonesia terbangun bahwa penduduk orang asli Papua (OAP) itu “jahat” separatis, makar, OPM, KKB, dan teroris.
Penduduk OAP dipandang rendah, tidak memiliki martabat kemanusiaan, dan ras yang paling rendah dan harus dilumpuhkan dan dimusnahkan. Penilaian terhadap OAP yang rendah dan manusia-manusia “jahat” itu tercipta dalam pikiran sebagaian besar atau mayoritas orang Indonesia karena dulu, ibarat banjir mengalir dari teras, beranda rumah. Artinya, informasi hanya satu pintu atau satu arah karena seluruh informasi dikontrol oleh penguasa dan militer Indonesia
Tapi, sekarang, banjir diam-diam mengalir dari belakang rumah. Teknologi, media sosial, internet, WhatShapp memudahkan untuk akses setiap peristiwa dengan baik. Persoalan rasisme, fasisme, kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, ketidakadilan, pelanggaran berat HAM, pemusnahan etnis Papua dan marginalisasi menjadi terbuka dan tidak ada yang dirahasiakan.
Karena itu, sudah waktunya penguasa Indonesia dan militer harus mengubah pendekatan penyelesaian sejarah konflik Papua tidak dengan pendekatan militer, pemaksaan DOB boneka. Semua usaha penguasa ini belum dan tidak menyentuh substansi akar konflik antar Indonesia dan Papua.
Penguasa Indonesia harus menyelesaikan empat akar konflik Papua yang sudah dipetakan atau dirumuskan LIPI (kini: BRIN) dalam meja perundingan antara Indonesia dan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral.
Empat pokok masalah yang dirumuskan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai berikut. Pertama, kontroversi sejarah dan status politik integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia yang masih bermasalah.
Kedua, kekerasan dan pelanggaran berat HAM yang dilakukan negara selama 57 tahun. Ketiga, diskriminasi dan marjinalisasi orang Papua di tanah sendiri. Keempat, kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Pendekatan penyelesaian persoalan Papua bukan seperti yang diperjuangkan oleh Komnas HAM dan Amnesty Internasional. Dalam perundingan harus ada utusan khusus (special envoy) dari Presiden Republik Indonesia yang sah. Dari pihak Indonesia harus ada utusan resmi dari Presiden Republik Indonesia.
Rakyat dan bangsa Papua Barat perlu waspadai para mafia proyek dialog dan pendekatan dialog untuk penyelesaian akar sejarah konflik berkepanjangan yang mengorbankan banyak nyawa rakyat sipil dan juga pihak militer atau kepolisian.
Wilayah Papua sejak awal dijadikan lahan perburuan ekonomi para penguasa Indonesia, Amerika, Inggris dan negara-negara lain. Sementara manusianya, OAP dimusnahkan dengan kekerasan moncong dan juga silent killing yang tidak pernah dilihat. Karena penguasa Indonesia memandang keberadaan penduduk OAP adalah hambatan atau penghalang bagi penguasa, pengusaha, pemodal dan para jenderal yang menjadikan Papua sebagai dapur perekonomian mereka.
Pendekatan perundingan biasanya ada tahapan yang harus diikuti mulai persiapan, pelaksanaan dan monitoring. Sifatnya berkelanjutan dan harus melibatkan semua pihak termasuk hard liner.
Kalau proyek perundingan atau proyek dialog sekedar program jangka pendek, tidak perlu persiapan yang matang dan tidak ada capacity building. Kapan saja mendesak orang untuk ikut kemauan dari yang berkepentingan proyek perundingan atau proyek dialog. Biasanya, mengejar target untuk memenuhi pesan sponsor.
Penyelesaian persoalan konflik Papua membutuhkan proses yang benar dan resmi dengan program dan jadwal yang resmi karena ‘dulu, banjir mengalir dari halaman depan rumah. Sekarang, banjir dari belakang rumah.’
Artinya, persoalan pelanggaran berat HAM yang berlangsung selama 61 tahun sejak 1 Desember 1961 sudah menjadi luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia yang sudah berusia 77 tahun dan sudah terbuka atau tidak rahasia umum. Sebagian besar rakyat Indonesia dan komunitas global sudah mengetahui kejahatan negara terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat.
Indonesianis dan rohaniawan Katolik dari Sekolah Tinggi Filsafat Diyarkara Jakarta Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ mengatakan, “…ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia…”
Bahkan imam Jesuit dan filsuf berkebangsaan Jerman ini menambahkan, “…situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (Bdk. Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015, hal. 255). Sementara Pastor Frans Lieshout OFM melihat bahwa Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia. (Bdk. Gembala dan Guru Bagi Papua tahun 2020, hal. 601).