Save Gubernur Lukas Enembe, Dari Ancaman Kriminalisasi dan Politisasi
OPINI  

Save Gubernur Lukas Enembe, Dari Ancaman Kriminalisasi dan Politisasi

Dr S Roy Rening, SH, MH, Advokat dan Tim Hukum Gubernur Papua Lukas Enembe. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Dr S Roy Rening, SH, MH

Advokat dan Tim Hukum Gubernur Papua Lukas Enembe

GUBERNUR Papua Lukas Enembe ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Perlu diketahui, sebelum Gubernur Enembe ditetapkan sebagai tersangka, KPK sudah terlebih melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi. Penetapan tersebut sesuai dengan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sprint.Lidik-79/Lid.01.00/01/07/2022 tanggal 27 Juli 2022 sehubugan penyelidikan tindak pidana korupsi pada Pemerintah Provinsi Papua untuk masa jabatan tahun 2013-2018 dan 2018-2023, dengan dugaan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UUTPK.

Unsur terpenting dari Pasal 2 dan 3 tersebut adalah adanya unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang serta kerugian negara. Namun demikian, dalam penyelidikan ini, ternyata KPK sepertinya mengalami kesulitan untuk membuktikan bahwa adanya unsur kerugian negara karena Pemerintahan Gubenur Enembe selama delapan tahun berturut-turut hasil audit BPK menyatakan pengelolaan keuangan negara Pemprov Papua di bawah kepemimpinan Gubernur Enembe adalah WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Artinya penyidik KPK mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya unsur kerugian negara dalam pelaksanaan proyek APBD tahun 2013 hingga 2021.

Selanjuntya ada dugaan kuat, KPK melakukan pengalihan penyelidikan dari Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sprint.Lidik-79/Lid.01.00/01/07/2022 tanggal 27 Juli 2022 dan kemudian berubah menjadi Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor: LKTPK-36/Lid.02.00/22/09/2022 tanggal 01 September 2022 karena adanya Surat Permohonan Izin Berobat dari Gubernur Papua kepada Menteri Dalam Negeri pada 31 Agustus 2022 berdasarkan Surat Nomor: 098/10412/SET tertanggal 31 Agustus 2022.

Perubahan arah penyelidikan KPK dari melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UUTPK (Kerugian Negara) menjadi Pasal 5 dan 11 atau Pasal 12 UU TPK (delik gratifikasi) memperjelas bahwa Gubenur Enembe menjadi target pperasi (TO) KPK dalam rangka kriminalisasi atau pembunuhan karakter Gubernur Papua. KPK terkesan mencari-cari pasal-pasal pidana korupsi yang lebih mudah untuk menangkap dan menahan Gubenur Enembe untuk mencapai tujuan politik menguasai pemerintahan di Provinsi Papua.

Hal tersebut dapat dilihat ada upaya sistimatis dan terstruktur melakukan kriminalisasi terhadap Gubernur Papua. Penyidik KPK sudah menetapkan Gubernur Enembe sebagai tersangka pada 5 September 2022. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan pencekalan melalui Dirjen Imigrasi dan pada 9 September 2022, Jenderal Pol (Purn) Tito Karnavian mengeluarkan surat izin berobat ke luar negeri. Padahal seharusnya Mendagri tidak mengeluarkan izin berobat ke luar negeri karena Gubernur Enembe sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dicekal berpergian ke luar negeri.

Apakah ini bukan bagian dari konspirasi untuk menangkap dan menahan Gubernur Enembe di luar tanah Papua dengan cara-cara yang tidak terhormat dan bermartabat yang dapat menciderai rasa keadilan rakyat Papua. Dari peristiwa ini, publik kembali dingatkan bagaimana mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo mampu melakukan rekayasa kasus dengan mengelabui publik. Kalau pendekatan politik penegakan hukumnya seperti ini, dapat dipastikan merusak sistem hukum peradilan pidana yang berlaku.

Ironis, KPK telah menetapkan Gubernur Enembe sebagai tersangka tanpa terlebih dahulu melakukan pemanggilan atau klarifikasi bersangkutan. Hal tersebut dilakukan penyidik KPK berdasarkan Surat Perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik/81/DIK.00/01/09/2022 tanggal 5 September 2022. Penetapan tersangka tersebut dilakukan dengan merujuk Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor: LKTPK-36/Lid.02.00/22/09/2022 pada 1 September 2022.  Hal tersebut diketahui setelah KPK RI mengirim surat Nomor: B/536/DIK.00/23/09/2022 perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan.

Hal mana dalam surat tersebut diberitahukan kepada Gubernur LE sebagai berikut. “Bersama ini diberitahukan kepada saudara bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sedang melaksanakan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji yang dilakukan oleh tersangka Lukas Enembe selaku Gubernur Papua periode 2013-2018 dan 2018-2023 terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi”.

Selanjutnya melakukan pencekalan pada 7 September 2022 tanpa memberitahukan kepada Gubernur LE atau tanpa mengumumkan kepada public. Ini tidak lazim di KPK. Apalagi yang ditersangkakan adalah pejabat publik yang sangat berpengaruh di tanah Papua. Hal lain adalah Guntur Asep Direktur Penyidikan KPK (berpangkat Brigjen Pol) memimpin langsung penyelidikan dan penyidikan dalam perkara aquo di Mako Brimob Jayapura. Ada apa dengan kasus dugaan gratifikasi Rp 1 miliar sampai Direktur Penyidikan turun langsung di Jayapura? Pertanyaan ini perlu dikritisi untuk melihat adanya benang upaya kriminalisasi Gubenur Papua.

Penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK tidak sah karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP (minimal dua alat bukti yang sah) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 perihal pengujian Undang–Undang (UU) No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD Tahun 1945. Apalagi, Gubernur Enembe memiliki hak asasi sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yakni “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”  Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah memberikan jaminan sebagai berikut. “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

Merujuk laporan kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor: LKTPK-36/Lid.02.00/22/09/2022 tanggal 1 September 2022, untuk selanjutnya pada 5 September dengan Surat Nomor: B/536/DIK.00/23/09/2022, KPK menyampaikan pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan menyatakan Gubernur Enembe sebagai tersangka. Penetapan tersangka terhadap Gubernur Enembe oleh KPK bersamaan waktunya dengan surat perintah penyidikan oleh KPK dengan Surat Nomor: Sprin.Dik/81/DIK.00/01/09/2022 tanggal 5 September 2022. Ironisnya, Gubernur Enembe sama sekali belum pernah diundang klarifikasi dan/atau dipanggil sebagai saksi sebagaimana KUHAP, namun KPK langsung menyampaikan pemberitahuan yang pada pokoknya berdasarkan surat-surat di atas Gubernur Enembe dinyatakan sebagai tersangka terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

Dengan memperhatikan fakta-fakta formil yakni surat-surat yang telah diterbitkan oleh KPK dalam hal ini jika dilihat dari sisi waktu dan prosesnya berjalan sangat cepat atau terburu-buru sehingga harus dimaknai penetapan tersangka atas dugaan tindak pidana yang disangkakan oleh KPK kepada Gubernur Enembe masih sangat prematur dan bertentangan dengan hukum acara pidana yang berlaku. (Vide Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP terhadap UUD Tahun 1945).

Bukan gratifikasi

Penetapan tersangka dalam permasalahan ini, Gubernur Enembe disangkakan menerima hadiah atau janji (gratifikasi) dari seorang yang bernama Prijatono Lakka. Dana yang ditaransfer oleh Prijatono Lakka sebesar Rp 1 miliar. Menurut pengakuan Gubernur Enembe kepada tim hukum, dana tersebut adalah dana pribadi Gubernur. Prijatono Lakka diminta tolong oleh Gubernur Enembe untuk mentransfer dana tersebut. Menurut pengakuan Prijatono Lakka di depan penyidik KPK bahwa dana tersebut adalah dana Gubenur Enembe sendiri. Prijatono Lakka adalah seorang pendeta dan juga membantu pengadaan perabot-perabot rumah pribadi Gubernur Enembe (Prijatono Lakka dalam bahasa Bapak Gubernur LE yang biasa dipanggil Tono Lakka adalah orang dalam rumah), yang dananya tidak terkait dengan sumber proyek APBD Papua 2013 hingga 2022.

Artinya, unsur yang paling pokok dalam delik gratifikasi (Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi) mengenai delik materialnya yang berkaitan dengan unsur menerima hadiah satu miliar tidak terpenuhi. Begitupun unsur diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya juga tidak terpenuhi juga karena tidak terkait dengan proyek APBD Provinsi Papua.

Kalau faktanya seperti ini, maka dapat disimpulkan adanya kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Enembe oleh karena penyidikan tidak sesuai dengan hukum pidana formilnya maupun pidana materiilnya. Kriminalisasi dimaksudkan adalah orang dituduh melakukan tindak pidana tidak sesuai dengan prosedur hukum acara yang berlaku dan perbuatan pidananya belum ditemukan secara kongkrit atau nyata. Kriminalisasi dipakai untuk melakukan pembunuhan karakter seseorang dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Bahwa pasal sangkaan atas tindak pidana sebagaimana telah disampaikan di atas membutuhkan pengujian secara objektif sehingga jangan sampai penegakan hukum anti korupsi yang merupakan amanah reformasi dilakukan dengan cara-cara yang melawan hukum atau setidak-tidaknya dilakukan tidak berdasar atas hukum sebagaimana mestinya.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa frasa bukti permulaan sebagai syarat penetapan tersangka mendasarkan pada asas hukum yang ada (Vide Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014), di mana agar terpenuhi asas lex certa dan asas lex stricta harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat di dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya sebagaimana dijelaskan dalam bagian pertimbangan putusan MK a quo halaman 98, sehingga dengan demikian, maka dalam penetapan tersangka harus didahului dengan diperiksanya calon tersangka.

Bahwa postulat dasar in criminalibus probantiones esse luse clarioles, di mana dalam perkara pidana bukti-bukti harus lebih terang dari hukum cahaya, mengisyaratkan bahwa di dalam proses penyidikan hingga ditemukan tersangka (Vide Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP) maka KPK harus terlebih dahulu mengumpulkan bukti yang sah. Dengan demikian secara materiil memberikan pula kewajiban kepada KPK bahwa sebelum ditetapkan sebagai tersangka maka Gubernur Enembe harus terlebih dahulu dimintai keterangan melakukan klarifikasi mengenai perbuatan yang disangkakan kepada calon tersangka. Oleh karena itu, diperlukan tindakan penyelidikan guna menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Setelah itu, baru bisa dtingkatkan statusnya ketahap penyidikan guna mencari dan mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Artinya, sebelum tahap penetapan tersangka, penyelidik atau penyidik KPK harus menemukan peristiwa pidananya terlebih kemudian mencari dan mengumpulkan bukti dan selanjutnya menetapkan tersangka. Dalam kasus ini, penyelidik dan penyidik KPK tidak melalui proses tahapan sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana yang berlaku. Hal ini diperkuat oleh pandangan Paul Roberts dan Adrian Zuckerman (Vide Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014) ada tiga prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yang antara lain sebagai berikut.

Pertama, right protection by the state di mana hak ini muncul karena terkadang penyelidik dan atau penyidik mengumpulkan alat bukti dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Kedua, detterence, pengesampingan alat bukti yang diambil secara tidak sah, untuk menghindari pengulagan kealahan yang sama. Ketiga, the legitimacy of the verdict, di mana dalam proses acara pidana perlu adanya sistem agar masyarakat dapat percaya pada sistem hukum dan peradilannya.

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas dan juga dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan harus dikonfrontasi satu sama lain termasuk pula dengan calon tersangka, hal ini dibutuhkan untuk menghindari apa yang dikenal dengan istilah unfair prejudice, atau lebih akrab disebut sebagai persangkaan yang tidak wajar, di mana dalam hal ini pemohon tidak pernah dipanggil sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh termohon dengan dasar surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik/81/DIK.00/01/09/2022 tanggal 5 September 2022.

Penetapan seseorang sebagai tersangka, khususnya dalam perkara tindak pidana akan menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak maupun harkat martabat seseorang in caso tindakan yang dilakukan penyidik KPK kepada Gubernur Enembe sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka in casu Gubernur Enembe tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana dan aturan hukum yang berlaku positif di Indonesia mengenai Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia, maka nama baik dan kebebasan seseorang in casu Gubernur Papua Lukas Enembe telah dirampas hak-haknya sebagai Gurbernur Papua.

Politisasi menuju kriminalisasi

Peristiwa kriminalisasi dalam perkara ini tentunya tidak berdiri sendiri. Ada peristiwa-peristiwa politik lokal Papua yang mendahului sebelumnya. Hal tersebut dimulai pada tahun 2017 Bareskrim Polri melakukan penyidikan terkait dengan kasus dana beasiswa mahasiswa Papua di luar negeri. Padahal pengelolaan dana beasiswa mahasiswa adalah SKPD terkait bukan Gubernur Papua. Pada waktu itu, Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai Kapolri, Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Kepala BIN dan Komjen Polisi Paulus Waterpauw sebagai mantan Kapolda Papua.

Ternyata kemudian terungkap bahwa upaya kriminalisasi ini mempergunakan institusi penegak hukum (Polri) agar Gubernur Enembe tidak maju mencalonkan diri untuk periode kedua untuk masa bakti 2018-2023. Pertemuan tersebut berlangsung di rumah Dinas Kepala BIN (Budi Gunawan) yang difasilitasi oleh Kapolri (Tito Karnavian) dan BIN Daerah Papua (Brigjen Napoleon). Dalam pertemuan itu, Budi Gunawan menyodorkan surat pernyataan yang berisi 6 kesepakatan, antara lain: “Sepakat menerima Irjend Paulus Waterpauw sebagai wakil Gubernur untuk mendampingi Lukas Enembe didalam kontestasi Pilkada 2018” (Vide: Elpius Hugi, Jatuh Bangun Lukas Enembe, Merakit Kisah Ancaman Kriminalisasi, Membongkar Fakta Gubernur Papua, 2020, Halaman 137).

Akhirnya, Paulus Waterpauw gagal menjadi calon Wakil Gubernur mendampingi Lukas Enembe dikarenakan yang bersangkutan tidak mendapatkan dukungan partai politik. Karena koalisi partai pada waktu itu menginginkan Lukas Enembe dan Klemen Tinal melanjutkan kepemimpinan Papua pada periode 2018-2023.

Peristiwa kedua adalah upaya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Gubernur Enembe pada hari Sabtu (2/2 2019) di Hotel Borobudur Jakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua dan Kementerian Dalam Negeri. Materi pertemuan adalah menjelaskan substansi hasil eveluasi dari Direktorat Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan konsultasi antara Kementerian Dalam Negeri dengan Pemrov Papua. Dalam pertemuan tersebut salah seorang peserta pertemuan membawa “tas ransel hitam” yang dicurigai KPK seolah-olah dalam “tas ransel hitam” tersebut berisi sejumlah uang untuk menyuap pejabat Kemendagri yang hadir pada waktu itu.

Hal tersebut dilakukan oleh anggota tim OTT KPK yang bernama Muhammad Gilang Wicaksono yang melakukan pemotretan terhadap kegiatan Gubernur Enembe di Hotel Borubudur. Karena staf yang membawa “tas ransel hitam” sebagai fokus untuk OTT, maka secara spontan perserta itu mendatangi pegawai KPK dan mempelihatkan isi “tas ransel hitam” yang ternyata hanya berisi dokumen-dokumen berupa kertas dan tidak terdapat uang di dalamnya. Lagi-lagi, institusi penegak hukum (KPK) berusaha mencari-cari kesalahan Gubenur LE, namun lagi-lagi tidak berhasil. (Vide: Elpius Hugi, Jatuh Bangun Lukas Enembe, Merakit Kisah Ancaman Kriminalisasi, Membongkar Fakta Gubernur Papua, 2020, Halaman 201-203).

Peristiwa ketiga adalah upaya mengisi kekosongan jabatan pasca meninggalnya Wakil Gubernur Klemen Tinal.  Ada upaya Jenderal Pol (Purn) Tito Karnavian (Mendagri) untuk memaksakan agar Komjel Pol Paulus Waterpauw. Peristiwa tersebut terjadi pada 10 Desember 2021 di Hotel Suni Abepura. Jenderal Pol (Purn) Tito Karnavian (Mendagri) dan Bahlil Lahadalia (Menteri Insvestasi/Kepala BKPM) datang khusus menemui Gubernur Papua Lukas Enembe di Jayapura, dengan agenda meminta secara khusus agar Gubernur Enembe dapat menerima Paulus Waterpauw menjadi Wakil Gubernur Papua menggantikan almarhum Klemen Tinal.

Atas permintaan itu, Gubernur Enembe menyarankan kepada Jenderal Polisi Tito Karnavian agar menyampaikan kepada Komjend Pol (Purn) Paulus Waterpauw untuk mengurus rekomendasi dari koalisi partai pengusung. Namun sampai dengan habisnya waktu masa penggantian Wakil Gubernur menurut Undang-Undang, Komjen Pol (Purn) Paulus Waterpauw ternyata tidak mendapatkan dukungan 9 partai politik pengusung Gubernur Lukas Enembe.

Menjadi pertanyaan bagi publik, mengapa Mendagri Tito Karnavian dan Menteri Bahlil terlibat langsung dalam mengisi jabatan Wakil Gubenur Papua yang merupakan menjadi tugas pokoknya sebagai Menteri. Apakah ini bukan merupakan keterlibatan Mendagri dan Menteri Investasi mengintervensi Gubernur Papua dengan target-target tertentu. Apakah Mendagri Tito Karnavian sedang menjalankan agenda politik oknum-oknum tertentu, termasuk partai politik tertentu yang sedang berkuasa dalam rezim Presiden Jokowi?

Atau apakah ini sebagai cara-cara oknum-oknum di pemerintahan Presiden Jokowi untuk merebut kekuasaan Gubernur Papua tanpa melalui proses demokrasi melainkan dengan mempergunakan instiusi penegak hukum (KPK) sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik tanpa melalui Pemilu? Tujuan akhir dari itu, tentu ada upaya sistimatis untuk menguasai sumber-sumber kekayaan alam Papua untuk kepentingan oknum-oknum di pemerintahan Presiden Jokowi.

Kesimpulan

Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, Gubernur Lukas Enembe telah mengalami upaya politisasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh KPK terhadap Gubernur Lukas Enembe sebagai berikut. Pertama, Menteri Dalam Negeri (Jenderal Polisi Tito Karnavian) terlibat konspirasi dengan Ketua KPK (Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri) di mana ada dugaan upaya membocorkan surat permohonan izin berobat Gubernur Papua yang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri pada tanggal 31 Agustus 2022. (Surat Nomor: 098/10412/SET, tanggal 31 Agustus 2022).

Kedua, penetapan tersangka terhaap Gubenur Papua prematur. Oleh karena dengan adanya informasi Gubernur Enembe akan berobat (general check up) tiba-tiba saja KPK menerbitkan adanya Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor: LKTPK-36/Lid.02.00/22/09/2022 tanggal 1 September 2022. Selama proses penyelidikan yang hanya berlangsung selama empat hari, Gubernur Enembe sama sekali tidak pernah dimintai keterangan untuk melakukan klarifikasi atas dugaan tindak pidana korupsi penerimaan gratifikasi melalui transfer rekening sebesar Rp. 1 miliar. Ada apa dengan penyelidik KPK tidak meminta keterangan terlebih dalam proses penyelidikan terhadap Gubenur Papua?

Ketiga, KPK tanpa melakukan pemeriksaan terlebih kepada Gubernur Papua pada tingkat penyidikan telah menetapkan tersangka Gubernur Papua. (Vide:  Surat Nomor: B/536/DIK.00/23/09/2022, KPK menyampaikan pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan menyatakan Gubernur Enembe sebagai tersangka). Penetapan tersangka terhadap Gubernur Enembe oleh KPK bersamaan waktunya dengan surat perintah penyidikan oleh KPK dengan Surat Nomor: Sprin.Dik/81/DIK.00/01/09/2022 tanggal 5 September 2022. Anehnya, penetapan tersangka tanpa diberitahukan kepada publik.

Keempat, begitupun dengan pencekalan yang dilakukan oleh Dirjen Imigrasi pada tanggal 7 September 2022 tanpa juga memberitahukan kepada Gubernur Papua tentang pencekalan tersebut. Hal ini tidak lazim, karena tidak transparan dalam melakukan penyidikan dalam perkara aquo. Ada apa dengan KPK melakukan pencekalan Gubernur Papua tanpa melalui pemberitahuan kepada publik? Apakah ini bukan bagian dari jebakan terhadap Gubernur Papua? Sudah bisa diprediksi dengan akal sehat, apa yang akan terjadi dengan Gubernur Papua bila tetap berangkat berobat dengan status tersangka dari penyidik KPK? (Tangkap dan Tahan Gubernur Papua Karena Mangkir dari Penyidikan KPK).

Kelima, Mendagri Tito Karnavian memberikan izin berobat kepada Gubenur Papua pada 9 September 2022 (Vide: Surat Mendagri Nomor 857/147.e/SJ, tertanggal 9 September 2022). Perihal Persetujuan Izin Keluar Negeri dengan alasan penting. Padahal, patut diduga Mendagri mengetahui bahwa Gubernur Papua sedang dicekal pada 7 September 2022. Inilah konspirasi sistimatis dan massif dan terstruktur dengan mempergunakan Lembaga pemerintahan/Lembaga negara saudara Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian dan Komjen Polisi (Purn) Firli Bahuri melakukan kriminalisasi terhadap Gubernur Papua dengan cara berniat akan mempermalukan/pembunuhan karakter Gubernur Papua dengan cara menangkap Gubernur Papua karena mangkir dari panggilan penyidik KPK pada 12 September 2022.

Upaya itu gagal, karena atas saran tim hukum Gubernur Papua, jangan pergi dulu berobat ke luar negeri sampai dengan status hukum Gubernur dalam perkara aquo jelas. Kalau Gubernur berangkat, nanti seolah-olah dinilai mangkir dari penyidik KPK atau bahkan dapat dinilai melarikan diri ke luar negeri untuk selanjutnya ditangkap dan ditahan di bandara. Sehingga Gubernur Papua mengatakan tolong tim hukum koordinasi dengan penyidik KPK tentang surat izin berobat dari Mendagri. Tim hukum baru mengetahui Gubernur dicekal oleh KPK melalui Dirjen Imigrasi melalui media pada 12 September 2022 pukul 20.00 WIT. Lagi-lagi Gubernur Papua selamat dari upaya kriminalisasi untuk menangkap dan menahan Gubernur walalupun dengan cara melawan hukum (melangar hukum formil dan material).

Keenam, dengan adanya Surat Mendagri Nomor 857/147.e/SJ, tertanggal 9 September 2022, perihal Persetujuan Izin Keluar Negeri dengan alasan penting, pada Minggu (11/9 2022), tim hukum Gubernur Papua memberikan pendapat kepada Gubernur Papua untuk tidak berangkat dulu ke luar negeri karena Gubernur Papua sudah ditetapkan sebagai tersangka. Demi keamanan. keselamatan dan kesehatan Gubernur Papua, kita tunggu sampai dengan status hukum mendapat kejelasan. Kemudian Gubernur menerima pendapat tim hukum dan meminta tim hukum bertemu penyidik KPK untuk memberitahukan bahwa Gubernur sedang sakit dan belum bisa dimintai keterangannya hari ini.

Ketujuh, upaya ini (politisasi dan kriminalisasi) sudah lama dilakukan oleh Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan bersama-sama dengan Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian dan Komjen Polisi (Purn) Firli Bahuri (2017-2022) melakukan konspirasi untuk menangkap Gubernur Papua. Kegagalan mereka menyakinkan calonnya untuk menjadi Wakil Gurbenur Papua. Untuk itu, mereka mengintervensi lembaga penegak hukum (Polri dan KPK) untuk melengserkan Gubernur Enembe dari jabatannya dengan cara menetapkan sebagai tersangka.

Lagi-lagi upaya kriminalisasi megalami jalan buntuh. Oleh karena itu, rakyat Papua di manapun berada harus bersatu padu melindungi Gubernur Enembe dari ancaman kriminalisasi. Untuk itu, perlu mendesak Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan permasalahan ini karena keterlibatan Kepala BIN, Mendagri, dan Ketua KPK baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam permasalahan ini. Tanpa itu, dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Kedelapan, untuk itu, tim hukum juga sedang mempersiapkan strategi advokasi hukum dengan melibatkan sebanyak mungkin advokat yang akan bergabung membela hak-hak hukum Gubernur Papua baik advokat yang berada di tanah Papua maupun advokat-advokat nasional yang merasa prihatin dengan kondisi yang dialami oleh Gubernur Papua. Mengingat persoalan ini bukan merupakan kasus kirminal murni melainkan politisasi dan kriminalisasi terhadap Gubernur Papua yang bertujuan untuk merebut kekuasaan dari tangan Lukas Enembe tanpa melalui proses demokrasi melainkan mempergunakan institusi KPK untuk berkuasa dan menguasai sumber-sumber kekayaan Papua. Memprihatinkan.

Tinggalkan Komentar Anda :