Oleh Erol Ohoduan, Pr
Pastor Paroki Santo Tomas Rasul Taliabu, Keuskupan Amboina
PAGI ini saya langsung tertarik untuk menulis sesuatu, ketika melihat postingan di grup WhatsApp Paroki Taliabu. Di grup itu, ketua dewan paroki terpilih, meneruskan berita tentang Paus Fransiskus yang enggan menginap di hotel mewah. Paus lebih memilih tinggal di Kedutaan Besar Vatikan selama kunjungan apostolik di Indonesia dari Selasa-Jumat (3-6/9).
Bahkan dalam berita itu juga disebutkan, Sri Paus hanya ingin menggunakan mobil yang umumnya dipakai banyak orang. Ketua dewan terpilih yang sering disapa Pa Stevi menambahkan caption: ‘sama seperti Bapa Uskup (Uskup Keuskupan Amboina Mgr Inno Ngutra) yang mau tinggal di pastoran saat kunjungan’.
Saya kemudian ingat kejadian dua tahun lalu, ketika masih bertugas di Paroki Sanana dan mendampingi Bapa Uskup dalam kunjungan Kanonik ke Paroki Taliabu. Saat itu saya menyaksikan sendiri kesederhanaan dari Bapa Uskup. Di setiap stasi yang dikunjungi, beliau selalu memilih untuk tidur di pastoran meskipun telah disiapkan beberapa rumah umat yang layak huni.
Padahal di beberapa stasi, misalnya Ufung dan Balohang, pastoran itu dindingnya hanya papan, tidak ada tempat tidur sehingga kasurnya dibentangkan di atas lantai. Bahkan ketika di pusat paroki, Bapa Uskup lebih menganjurkan kepada pastor Tomas saat itu bahwa “lebih baik buka tikar di lantai saja lalu kita tidur rame-rame, dari pada harus di penginapan.”
Meskipun saya tau saat itu pastor dan semua umat pusat Paroki Taliabu tidak menginginkan gembala mereka “beralaskan tikar di lantai”. Tapi gambaran kesederhanaan dari hatinya begitu tulus dan menimbulkan kekaguman tersendiri dari saya. Bahkan beliau berpesan: ‘berikut ketika saya datang lagi, saya hanya mau tinggal di pastoran’. Ini adalah pesan yg saya ingat sampai detik ini, apalagi saya telah menjadi Pastor Paroki Taliabu.
Belum lagi dalam kunjungannya itu, beliau rela naik oto pick up atau jalan kaki berkilo-kilo meter, tapi tidak pernah bersungut. Yang ada hanya senyuman dan canda tawa sang Uskup. Ini bukan hanya di Taliabu, tapi bisa juga di semua kunjungan kanonik, teristimewa di daerah pinggiran.
Karena itu, postingan di grup WA paroki kami pagi (Selasa, 3/9) ini, membuat saya langsung ingin mengatakan bahwa “persis sama.” Kesederhanaan menjadi “opsi” Paus dan Uskup Inno saat melakukan kunjungan. Ya benar. Dalam hal ini, Bapa Paus dan Bapa Uskup sama-sama sederhana. Terkesannya berlebihan tapi itulah faktanya.
Sama-sama menghidupi spirit kesederhanaan. Kesederhanan itu bukan hanya tentang hidup apa adanya, tetapi ketika ada pilihan antara yang mewah dan sederhana, namun lebih memilih tetap sederhana. Saya jadi ingat apa yang disampaikan oleh seorang imam medior Keuskupan Amboina “untungnya bahwa bos (Bapa Uskup) ini tidak banyak menuntut. Selalu menyesuaikan dengan keadaan umat”.
Terima kasih banyak, Bapa Paus. Selamat berkunjung ke negara kami. Tetap jadi berkat untuk banyak orang. Terima kasih juga kepada Bapa Uskup untuk teladan kesederhanannya. Hal yang juga masih saya temukan dalam diri beberapa imam senior di keuskupan ini.
Tetaplah menjadi gembala yang baik bagi kami semua. Semoga teladan kesederhanaan ini, selalu menjadi spirit bagi kami imam muda, teristimewa saya secara pribadi dalam karya pelayanan dimanapun saya diutus. Salam.